Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Demokrasi Sambal Istri

26 September 2014   22:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:22 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pedas, terengah-engah

Kadang hambar, sesekali lupa terasi

Jangan! Apalagi sampai tanpa garam

Melotot

Sebaiknya tersenyum sembari mencubit

Yang mana?

Yang diperbolehkan agama

Dan negara!

18 tahun serumah -untunglah- hanya sesekali saja terbelalak mata. Yang banyak adalah ngomel sambil sok berwacana, seakan sambal adalah keahliannya, ya saya!

Demokrasi sambal! Meski menempel hanya di pinggiran cobek, suaranya membahana sampai ke kolong meja kerja. Jika lagi apes, di alam kubur pun (bisa-bisa, kata lelucon yangpernah ada) menjadi diskusi tersendiri. Pedas, karena itulah filosofinya sambal. Tetapi harus diingat, tidak selalu sedap, apalagi emosi sedang bergairah –dus- hati sedang lupa jika dipunya.

Sambal istri, demokrasi negeri! Tidak akan pernah menghasilkan bubrahnya rumah tangga. Kecuali, jika sambal itu menjadi momen yang tepat untuk menjadi alasan mendua! Cobek bisa melayang, logikapun sering dibuang.

Dalam demokrasi sambal ala istri, semua diperbolehkan. Jika lagi menipis anggaran, cukup sejimpit saja dibuat, untuk semua penghuni. Kurang asin, bisa diberi alibi jika lupa membeli (garam). Kurang pedas, salahkan saja petaninya, atau malah negara, yang sesukanya menaikkan harga tanpa berpikir bagaimana jelata. Sekalian saja sok berbicara ala pejabat negara.

Pedas demokrasi ini ala sambal istri. Bergumul disembarang tempat dan waktu. Menarik kisah masa lalu dan berkuliah wacana di masa mendatang. Dulu hanya berdinding bambu, besok terjanjikan apartemen, walau di tengah jurang. Membeberkan yang terdalam, sampai mencitrakan rumah tetangga seberang. Nyatanya, sambal tetap sambal! Alangkah bijaknya jika hanya berharap sang istri saja yang terus menyajikan.

Sambal bajak kesukaanku

Dibuat ketika wajah tampak ayu

Salah!

Bukan bajaknya

Apalagi tampak ayu

Salah!

Sambal memang bukan intinya

Peluh di sela-sela gemulai tanganlah

Sambal itu lumat bermakna

Demokrasi negeri ini sering terlihat pedas, selalu menarik rakyat sebagai kekuatan intinya. Padahal tahunya dari lidah, sambal itu sedap dan campa! Lantas dimana letak dinamika sinergitas demokrasi yang terus menyeret rakyat seakan harus ikut berdiplomasi? Sementara lidah tidak akan pernah berontak jika hati sudah sepakat menanamkan cinta?

Kalau sekarang aurora negara seakan meriang, berarti belum tuntas bahasan rumah tangga yang dulu terijabkan di depan wali negara! Subtansi demokrasi teramat mahal kalau harus sering-sering dijual dengan atas nama. Demokrasi absolute dalam kedemokrasiaanya, bias mewacanakan tidak harus menyeret demokrasi itu turun tahta.

Sehari lalu anak saya mencret, istri yang menjadi sumber tanya, mengapa?! Menampar wajah istri dengan dalih bersalah sungguh alasan yang nista. Mengobati sebab sakit dengan mengistirahat emosi ternyata lebih memanggil hati untuk mengakui jika kita adalah hamba. Tidak bisa apa-apa.

Malam sebelumnya, tetangga tepat sebelah rumah dipanggil sang kuasa. Hari ini, ibu teman sekerja juga dipanggil Dia! Do’a tulus dipanjatkan sebagai bentuk ketuntasan hati meyakini takdir. Bela sungkawa memang seharusnya ada, mutlak tertampakkan jika ingin berada dalam kosmis hubungan manusia.

Sakitkah ibu pertiwi? Akan meninggalkah demokrasi atas nama? Atau harus mengumpat sejadinya? Atau malah melirik gadis tetangga!? Dan terpanggil ingin mendua?

Ini sambal istri. Jangan sampai pedasnya sambal lebih menarik untuk dipuja dari pada sosok sang istri itu sendiri (yang konon kata sebagian pujangga, lebih sering ikut merana). Sambal ada karena ketulusan istri. Istri tulus karena paham siapa suaminya. Pedas adalah esensinya, tetapi kalau sedikit menggetirkan jangan robek cinta rumah tangga.

Ini demokrasi, masak harus kalah dengan sambal istri!

Temaram berselimut awan

Tataplah hanya sebagai fenomena penggalan

Bukan titik

Apalagi tanda seru

Aku tidak peduli dengan demokrasi

Cukup ada sambal

Berarti masih ada istri

Kertonegoro, 26 September 2014

Catatan :

Dimanakah posisi penulis menatap demokrasi negeri? Rasakan sambal yang sedang anda cicipi. Asal sambal itu buatan istri sendiri, bukan membeli, apalagi dari mencuri! Disitulah ada sebagian sisa tatap demokrasi saya.

Ilustrasi : arsip pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun