Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada yang Terputus Antara Ahok dan FPI

16 November 2014   16:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Revolusi Bintang Negeri*)

Seharusnya kita banyak-banyak belajar dari kejadian-kejadian, karena kejadian tidak bisa lepas dari proses masa sebelumnya. Kaki-kaki sebab tak ubahnya bagai rangkaian data untuk sesegera mungkin disikapi dengan mengacu pada hasil yang pernah tercapai. Sayangnya, kesalahan selalu terulang, lebih gairah mencipta hasil dari pada memproses untuk tercapainya target. Melihat Ahok sebagai satu irisan, sementara di bagian lain teriris pula FPI, merupakan kewajaran dalam melihat setiap masalah. Tetapi terasa hampa dan terputus ketika harus membagi dua bagian itu dengan kaki-kaki sebab yang pernah ada. Siraman teh panas akan tetap panas dan semakin panas, karena kaki sebab lampau terlanjur (selalu) meninggalkan pendinginan proses. Menatap yang menyiram telah melakukan salah, (memang) begitu kebenaran yang ada, tetapi harus berangkat dari toleransi ukuran norma yang berlaku. Membenarkan Ahok lantang untuk membubarkan selama belum ada proses dialogis, sama dengan menutup mata kelancaran hidup Ahok sebagai salah satu bibit pemimpin bangsa. Dua paragraf terakhir bisa terfahami jika berani melambungkan pikir untuk mencari kaki-kaki sebab dari kejadian-kejadian sebelumnya.

Banyak yang bisa dibaca sebagai referensi kita memilih sikap. Adalah bagian yang mudah ketika harus mencerna sesuatu dari analisis data yang tertulis. Tetapi kegersangan selalu menyapa ketika simpulan tertemukan. Keberanian menanggalkan hasil akhir sejenak telah mengelabui fokus simpulan yang ada, tragis, proses akan selalu terkontaminasi kegaduhan, lebihgaduh lagi karena ada bumbu liar untuk membarakan.

Ahok dan FPI hanyalah selilit masalah bagi negeri ini. Tipologi selilit yang selalu menyedakkan tenggorokan bangsa untuk menelan asupan gizi bagi perjalanan negeri. Memang baik bagi ambisi euphoria, tetapi luruh untuk menuntaskan kegaduhan yang berpotensi akan terjadi. Ada yang terlupakan, jangan sampai Ahok dan FPI adalah simbol entitas suatu sebab yang memicu sebab laten selanjutnya.

Ini bukanlah tulisan yang serius, karena esensi jabaran sejatinya sudah bersemayam dalam masing-masing benak. Ahok dan FPI pun bukan masalah serius, karena keduanya telah bergerak. Sekecil apapun, mereka adalah bagian yang harus ditampung dengan ramah dalam layanan norma.

Bagian penting dari tulisan ini adalah mengajak diri dan yang berhasrat untuk menajamkan bidikan agar tidak ada yang tertinggal dari berserakannya kaki-kaki sebab untuk dicerna. Kaki-kaki sebab yang tidak hanya untuk keduanya, tetapi kaki sebab yang nanti bisa menjadi amunisi menggambar wajah bangsa agar bisa disuguhkan dengan manis di akhir masa.

Konstelasi masalah bangsa bukan pada figur, bukan pula pada hentakan sebagian elemen yang ada. Menggiring pada figur, mengajak dan memaksakan simbol, itulah PR yang seyogyanya perlu diluruskan. Tidakkah terasa aneh ketika ada yang meninggikan NU-Muhammadiyah agar terjadi kontradiksi dengan FPI. Selaras dengan itu pula, ketika selalu merasa tidak berkenan bicara “etnis” tetapi selalu mengibarkan klaim seakan ada i’tikad bibit diskriminasi. Dinamika norma bangsa terlemahkan, seakan cakupan penyelesaian (hanya bisa) selalu berakhir pada lingkar masing-masing.

Agaknya perlu revolusi bintang, simbolisme kehendak yang memang harus keluar jauh dari maksud dan hasrat, lebih fokus pada pencerahan yang abadi. Revolusi untuk membenamkan figur-figur dari resistensi pencitraan dan penghancuran karakter. Revolusi yang senyap mendiskusikan senyawa dialektika keyakinan (sebagai kebenaran absolute), tetapi menghingarkan keberpihakan pada kecerahan. Untuk membagi habis kaki-kaki sebab sebagai bagian kesadaran diri jika “dosa” tidak berdiri sendiri. Dan negeri bisa berjalan dalam orbit kehidupan!

Kertonegoro,16 Nopember 2014

·Ini hanyalah catatan penulis yang berhasrat membumikan potensi bibit pahlawan bangsa

Ilustrasi :kupang.tribunnews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun