Mimpi bunga tidur, dalam syara telah dituntunkan adabnya ketika seseorang bermimpi. Bisa bernuansa klenik jika memang ingin ditafsir dengan sudut pandang klenik. Konyol lagi kalau harus diotak-atik dengan angka-angka. Mimpi bernuansa magis, pskilogis atau sewajarnya tergantung pola pikir kita memandangnya.
Dalam sebuah keterangan, hanya sosok Roshululloh yang tidak mampu dikelabui ujudnya, walau dalam mimpi. Singkatnya, jika kita bermimpi ketemu Roshululloh maka itulah ujud asli beliau. Setan, jin, halusinasi, dan keterlarutan angan tidak akan mampu membentuk energi mimpi yang berujud Roshululloh. Benarkah? Bagi saya keterangan itu benar, mengingat Roshululloh adalah satu-satunya manusia yang terjaga dari kesalahan, manusia pilihan dari Tuhan Azza wazallah. Sangat mungkin energi apapun di bumi ini tidak akan mampu menembus ketinggian derajat yang diberikan Tuhan kepada utusanNya ini. Istilah kunonya, siapa yang berani melakukan itu, kualat jadinya.
Ada cerita, di awal reformasi keponakan saya bermimpi bersalaman dengan Amien Rais. Tidak sampai tiga bulan, sang keponakan menjabat salah satu posisi penting di sebuah organisasi kepartaian. Kebetulan keponakan saya ini ngefan betul dengan tokoh reformasi ini. Jauh sebelum itu, teman sekantor pagi-pagi bercerita telah bermimpi menyapa bung Karno, beliau tersenyum, menepuk pundak teman saya itu. Seminggu kemudian teman saya ini ikut tes cakep (calon kepala sekolah), lolos murni dengan nilai tes yang menggembirakan. Sungguh suatu gambaran mimpi yang kebetulan berefek kebaikan (mohon ketika menafsir paragraf ini dijaga ketauhidan agar tidak muncul macam ragam pengandaian. Yang ditakutkan, Tuhan dikesampingkan –pen).
Andai bermimpi (minima berharap bermimpi) ketemu bapak Jokowi, ya, bermimpi Jokowi? Yups, bapak Jokowi presiden kita, presiden RI yang ke 7. Bolehkah? Haruskah didebatkan akan bertakdir (kebetulan) jelek karena pemilu kemarin tidak memilih beliau? Haruskah akan (didebatkan juga) yakin seyakinnya pasti akan ketiban derajat karena selama ini berada dalam posisi mendukungnya (sebagai fan-nya)? Atau malah tidak boleh, karena terteguh dalam semangat “hanya saya yang boleh memimpikannya?”.
Itulah catatan kepengapan batin saya melihat masih biasnya elemen bangsa melihat figur perfigur. Semacam keterkejutan peradaban dari sebuah komunitas ketika mengadaptasi perkembangan-perkembangan. Catatan pengharapan diri, bagaimana sih caranya mengajak yang berseberangan tidak terasa telah terletakkan rasa kecintaan pada yang dipujanya. Catatan kegusaran jiwa, melihat sang tokoh (siapa saja) didekap dan dibelai hanya untuk dirinya. Ruang memasarkan dan mendialogkan ketinggian sosok terputus sebelum sempat disampaikan. Catatan do’a saya, jangan sampai ada yang memang berniat agar “tidak perlu ada tokoh” di negeri ini.
Akankah saya nanti bermimpi melihat beliau (Presiden RI) sedih, sembab air mata, karena merana melihat tidak mencair juga suasana bangsa? Sungguh, berharap sekali saya bermimpi menatap presiden saya dalam wajah ceria, puas, dan lega. Karena rakyatnya telah rukun membagi sapa. Dan, menyempatkan diri mengusap kening saya.
Jokowi adalah presiden, SBY adalah mantan presiden, Amien Rais tidak bisa dipungkiri adalah tokoh, Soekarno jelas proklamator bangsa. Banyak cerita usai bermimpi mereka derajat dan kebaikan datang kepada pemimpinya. Boleh ini dikatakan kebetulan, klenik, atau apalah. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah sudah saatnya menghentikan mengumbar penghinaan. Agar nanti, ketika bermimpi beliau-beliau, bukan malah berujung petaka. Karena nilai kebesaran ketokohannya telah terkikis kebencian!
Semoga bangsa ini selalu bermimpi yang baik, bersama seabrek tokoh bangsa yang baik. Agar ketika bangun tidur menjadikan takdir hidup yang baik. Semoga nyata adanya. Amin.
Kertonegoro, 23 Nopember 2014
Ilustrasi :thegenjring.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H