Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Awal Kata, Badut Nyata

30 November 2014   19:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:26 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin membudaya, berharap pecah dan ada yang menderita. Selamat datang memasuki gerbang peradaban feodal modern. Semoga tidak semakin parah, semakin menggila, khawatir nanti malah berharap ada rumah tangga sebelah yang pisah, untuk dipungut sisanya!



Masak kita harus kalah dengan badut. Melupakan pengap baju kebesaran, berharap menimbun energi ketertarikan pemirsa. Pernah sekali melihat dua badut berkelahi, tetapi dasar badut, tidak ada kepanikan di tengahbabak belurnya. Sayangnya badut ada di wilayah maya, hingga sublimitas nilai hanya bisa ditangkap layaknya canda. Ada anekdot, “Bayangkan, tanpa kata saja badut sudah mampu melahirkan gelak tawa,apalagi ucapannya...”.Sayangnya, penemu badut ini diberitakan baru saja meninggal, di sebuah kota, di suatu negara (referensi dari tayangan tv swasta, beberapa bulan lalu).

Budaya tanpa beban badut-badut ciptaan, liar tanpa mau dijadikan bahan nalar. Alunan budaya yang ada lebih memilih perilaku nyata lengkap dengan hitung-hitungan angka. Angka menguntungkan atau merugikan, bukan untuk ketinggian nuansa peradaban tetapi dipilah (hanya) untuk sebagian. Kalau begitu, siapa yang lebih dewasa? Badut maya yang kaya ramah, atau perilaku nyata yang berisi konsep memecah dengan hura-hura?

Seperti peristiwa pembunuhan kemarin yang terjadi di kecamatan saya. Indikasi (dari pihak kepolisian) jika korban dibunuh karena jadi “simpanan”, lebih menggembirakan diperbincangkan dengan segala keluasan cerita yang terasa sekali ditambah-tambah. Terasa ada kebanggaan diri kala bercerita. Sementara disebelah ada yang susah, ada yang gelisah. Lupa, jika ini tragedi nyawa. Lupa, jika polisilah yang punya wewenang mengolah. Lupa juga jika bencana bukan untuk dimenukan adegan tawa. Inikah tipologi badut-badutnyata ciptaan budaya?

Menilik elastisitas berpikir, ini bukan hawa yang segar bagi perkembangan pikir diri untuk menuju syurga. Badut maya saja berharap syurga walau dibalik kepengapan bajunya. Mengapa kebesaran baju manusia malah ingin melenyapkan bau syurga. Syurga itu rimbun dengan bahasa cinta, sejuk menatap sesama, berani berkorban menutup masalah. Selalu menghampiri dengan nada rendah dan tangan terbuka. Badut maya selalu melakukan itu, karena tahu targetnya adalah syurga!

Awal kata, bisa menjadi syurga, dan jangan mau untuk mencipta neraka. Awal kata tumpuan akhir cerita. Awal kata sebisa mungkin dihindari menjadi momok langkah. Jika tidak bisa, ada baiknya untuk bercita-cita menjadi badut saja. Badut yang nyata, bukan badut maya.

Awal kata, lukisan diri merangkak di jalan peradaban. Peradaban yang akan menyeleksi siapa yang menang. Kemenangan bukanlah harta dan kuasa. Kemenangan yang nyata adalah terus gempita menjaga kebenaran, walau berdarah-darah. Badut adalah fenomena euphoria, yang tidak pernah mengenal awal kata. Badut nyata, sering lupa jika kebenaran bukan diambil dari amarah, agar berdarah darah.

Awal kata, bisa menjadi segalanya! Awali dengan cinta, sebagai kelumpuhan hati meyakini kehebatanTuhan Yang MahaKuasa.

Kertonegoro, 30 Nopember 2014

Ilustrasi :pixabay.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun