Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sri Mati

12 Desember 2014   21:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:26 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14183696872027534382

TersiarKabar dari negeri seberang, nyawa melayang

Terbujur menyendiri tanpa ditemani do’a-do’a sanak famili

Terhampar karpet merah menyambut jenazah di bandara duka

Untuk bersembunyi dari gulungan salah tatap mengurai masalah

Burung kematian mencengkeram kafan

Menjilati langit merah, halimun berarak marah

Sri mati, bersama waktu yang tak pernah ketemu ujung solusi

Sri mati, bukan meninggal!

Layu wajah negeri semakin mengkhayal

Sri mati menggenggam senyum atas hidup tak sepadan

Menjalarnya tumpukan beban kedunguan uluran ramah jaman

Tersiar kabar dari balik meja

Nafas terhenti, sibuk membanting salah

Berita wajar dari tanah syurgawi bertabur ironi

Sri mati, visa pasport tiket pesawat, gratis tersaji

Dikerubungi adegan dinasti bela sungkawa berharap suci

Berkerut dahi mengucur keringat membolak-balik asumsi-asumsi

Tanah jingga teruruk gundukan, tidak pernah menjanjikan penyelesaian

Do’a bersama :

“Semoga terhenti dengan postur tata atur yang lebih menusiawi”

Tapi  Sri telah mati, untuk yang kesekian kali

Dengan prosedur yang semakin rapi

Bertabur bunga-bunga dan wewangian

Mengiring jasad menuju keabadian

Robek sang saka menahan do’a

Beriring tetesan peziarah air mata lelah

Lenyap meresap di sela-lala tanah pertiwi

Taman terakhir setelah beban benar-benar mati

Jarang berkibar bendera mengaku salah

Padahal khilaf-khilaf bersembunyi di ketiak duka!

Jarang terdengar “Satu nyawa adalah kehancuran diri”.

Padahal guratan hati tidak pernah lusuh memoles wajah pertiwi



Sri mati, mencipta wajah instan sok perindu rembulan

Dari ganasnya kalkulasi kuasa, lupa jika ada satu masalah

Seakan Sri mati, tertalu dangkal bagi kuburan waktu memoles negeri

Catatan :

Untuk yang berduka, (sungguh) sabar anda menjadi kepastian membangun syurga di sana. Untuk yang lelah memikirkannya, anda masih setengah hati! Untuk yang mengaku berkuasa, jadikan puisi ini menghanguskan kepentingan yang menyuburkan kedunguan diri. Untuk Indonesia, jangan merana, karena belum ada jeda!

Aku tulis puisi ini untuk mengenang kematian, atas jiwa-jiwa yang tak pernah kecewa menelan beban.

Kertonegoro, 12 Desember 2014

Ilustrasi : www.kaskus.co.id (dengan sedikit editan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun