Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membaca Tahun

27 Desember 2014   05:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:23 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 1



Kultivasi jiwa seharusnya menjadi deret hitung dari milyaran knops hasrat. 365 hari hanyalah prakiraan waktu untuk meraup beban, sejatinya yang terjangkau tak lebih dari sekali nafas panjang kelegaan. Bukan senyum diri yang semestinya dipuja sebagai prestasi, tetapi ekspresi wajah-wajah sekitar kita, seperti apa bentuk rupanya.

Membangun niat, seperti halnya menyulut sumbu hulu ledak. Kemana moncong picu akan diarahkan. “Hai semua jiwa, lihat lekuk biji bola mata ini. Adakah ada disebagiannya yang merindukanmu? Kalau ternyata harus menguras derai air mata, bantu aku untuk mengangkat moncong itu agar mengarah tepat di pelipis hati sendiri!”. Sayangnya, teramat jarang dialog niat itu terlaksana dalam mengurai gelisah. Mengulum nikmat hasil membutakan kepekaan yang dimiliki.

Membaca tahun seperti mengurai jumpalitannya nadi gairah. Ada yang tercecer, ada yang terlalu jauh melangkah, ada yang sekadar bersimpuh di sudut pengharapan. Jangan pernah bergembira atas bangunan yang baru ditegakkan. Lihat jarak limbah pembuangan dari batas dinding tetangga. Semakin berani mengakui besaran eksesnya, menampakkan kematangan niat untuk menjaga wibawa bangunan kita. Bukan berapa banyak sumpah serapah teriakan tetangga yang menjadi sebab kebisingan hati, tetapi seberapa sering kita menahan tangis atas khilaf diri.

Enam hari lagi kita akan melihat tahun berganti. Rupa-rupa sejarah cerita akan terkuak sepintas untuk diambil makna. Bukan lengkingan terompet yang harus dibeli, karena dalam membaca tahun yang terpenting adalah “sebaiknya”, bukan “andaikata”. Diri, bagian terkecil dari unsur yang mesti terbaca, lebur dalam besarnya faedah yang pernah direka!

Membaca tahun tidak harus di akhir bulan terakhir, karena ajal tidak mengenal tanggal. Dan, teriakan tetangga tidak saja karena kita salah! Tetapi, agar kita tidak terlalu sering terperangah jika mereka ada, bersama kita. Membaca tahun, sejatinyakeisengan menunggu ajal!

Kertonegoro, 26 Desember 2014

Ilustrasi : blog.republika.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun