Dua bulan lalu, wali murid saya, tetangga desa, meninggalkan jerigen bensin dan speda motornya tepat di depan pegawai POM bensin. Tiba-tiba sesak nafas, memegang dada, dan berpulang keharibaan Robbi. Suami teman pengajian istri saya, sebulan yang lalu, baru 30 detik menikmati istirahat di set pertama latihan rutin badminton, berpulang juga. Tak terbilang berapa orang yang bertumpuk-tumpuk kekayaan, tetapi makannya harus ditakar dan harus diseleksi “efek”nya bagi organ-organ vital yang dipunya. Semoga tidak ada yang harus menyisakan beberapa kalimat dari tulisan karena terlanjur “dijemput” dahulu.
Andai wali murid saya masih bisa tertolong, tetap, bukanlah akhir dari masalah. Karena sehari menginap di rumah sakit, kini, melampau menginap di hotel berbintang. Mungkin berapapun ongkos tidak jadi masalah, karena nyawa memang tidak ternilai harganya. Bagaimana dengan mereka yang berbantalkan kekayaan tetapi harus pasrah dengan asupan makan kesehariannya?
Semoga tidak ada yang “nakal” menterjemahkan cerita di atas dengan kepongahan pikir, “Lebih mengenaskan lagi bro bagi mereka yang sudah susah tetapi terserang penyakit pula...”. Padahal, cerita yang saya sampaikan itu bukan untuk mengajak berhitung perbandingan. Bukan ingin menjustifikasi kelebihan dan kekurangan, bukan melemparkan kabar mengenaskan, bukan pula untuk menimbulkan kekhawatiran!
Lain lagi cerita teman sekantor, hampir lima tahun dia harus menunggu panggilan untuk diangkat jadi kepala sekolah. Predikat lolos seleksi “cakep” sudah diraihnya, ternyata belum juga takdir memanggil diri untuk bisa menjabat. Haruskah menggerutu?Nyatanya yang belum berkesempatan ikut seleksi saja luar biasa banyaknya. Lebih nyata lagi, yang ingin diangkat jadi guru PNS sebegitu gelisahnya!
Mata memandang acapkali terhalang kabut hasrat sesaat. Sebuah fenomena yang umum menggejala di sebagian besar emosi manusia. Lebih disibukkan hitung-hitungan keyakinan diri ke depan dari pada melongok kiri-kanan. Optimisme memang perlu untuk menjaga stamina langkah, tetapi, kendali lajunya optimis yang dimiliki lebih diperlukan lagi.
Sehat dan berkesempatan, itulah inti uraian ini. Dua kondisi yang sering terlupakan hati ketika emosi (dalam arti luas) mendengus-dengus. Simpulannya adalah bersyukur. Jalur untuk menumbuhkan syukur itu adalah instropeksi, membaca diri dan ruang sekitar.
Mengapa harus begitu bergairah menggencet rekan, teman, kawan sejawat. Besar kemungkinan kondisi kita lebih nikmat dari mereka. Mengapa harus ramai-ramai menghakimi, padahal bisa jadi sehat dan kesempatan yang kita miliki seharusnya untuk dibagi. Yah, bersyukur intinya, untuk memanggil rasa empati, kebaika, dan optimisme yang lebih lagi. Senyampang sehat dan kesempatan untuk melakukan itu masih kita miliki!
Aku berdo’a semoga aku bisa menuntaskan tulisan ini sampai pada huruf terakhir. Maka menjadi kewajibanku untuk menelaah kembali kalimat per kalimat agar selalu ada kebermanfaatan. Apa jadinya, jika kondisiku yang begitu sehat dan berkesempatan menulis ini dimiliki, ternyata nilai tulisan menjadi “kayu bakar” bagi buramnya sejarah. Apa jadinya pula, ketika usai menuliskan kata terakhir dari kayu bakar itu, ternyata nyawa harus kembali kepangkuan Illahi Robbi. Summa na’udzubillah!
Alhamdulillah, aku bisa menuntas tulisan ini, berharap sekali ada nilai kebermanfaatannya... Amin.
Kertonegoro, 25 Desember 2014
Ilustrasi : mutiarapublic.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H