Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Brilliannya Ide Kang Pepih, tetapi Itukah Solusinya?

11 Januari 2015   22:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14209633921609094528

“Kok berani-beraninya kamu menyela wacana untuk menyambut ide beliau..?”. Lama saya renungkan bisikan itu, antar membenarkan dan menangisi. Membenarkan karena siapapun di blog ini tahu siapa kang Pepih. Menangisi, mengapa saya tidak segera sekaliber dia?

“Gelar komentar”, mantab juga ini barang. Teringat dua tahun lalu di sekolah saya, ketika melihat ada penurunan semangat untuk hidup bersih. Saya, yang saat itu jadi wakil kepala, berkoordinasi dengan kesiswaan untuk memberikan hukuman ala kadarnya. Begitu disosialisasi, gaungnya hanya dua minggu kurang. Perilaku membuang sampah sembarangan tidak juga sembuh. Maka menggunakan metode ke dua, di denda. Ehhh, bukan malah reda tetapi malah saling membantu agar tidak ketahuan perilakunya. Semakin parah, kelas tidak pernah bersih, kolong meja penuh bungkus bekal jajan siswa.

Jurus terakhir dikeluarkan, didenda, hasil dendanya dibagi dua antara sekolah dan siswa yang menemukan teman yang kena denda. Lumayan, sekolah lumayan bersih tidak ada lagi sampah tercecer di mana-mana. Sip, jitu jurus terakhirnya. Maka lahirlah istilah “berlomba menjadi polisi kebersihan”. Agar tidak salah tafsir, semua jurus itu dalam koridor koordinasi dengan kepala sekolah dan komite. Maksud dan fungsinyapun jelas.

Begitu mau mengupload tulisan ini, tiga judul yang harus saya hapus dan revisi. Pertama ingin memberi judul “Kang Pepih Turun Gunung, Kasihan Dia”. Terpaksa saya hapus karena kurang etis, melihat faktanya si pemangku Kompasiana ini tidak pernah jauh-jauh dari blog ini. Saya ganti judul “Beginilah Jika Kang Pepih Marah”. Saya hapus lagi karena tidak ada kemarahan yang tampak dari ide terbarunya itu, kecuali hanya dengus nafas yang ditahan. Terakhir, saya ganti dengan judul yang sekarang ini.

Ternyata malah muncul ketidak pede-an dalam diri. Alhamdulillah, setelah terjadi perang perenungan saya beranikan diri untuk menulis judul ini, berikut ulasannya. Keberanian itu muncul setelah semakin sadar akan kadar diri. Bisikan hati berkata, “Lawan sajalah Zi, toh kamu penghuni kompasiana juga. Sedangkan dia, mau tidak mau, harus bisa menjadi Bapaknya. Lagian, ya apa mungkin bisa setara kualitas ulasannya...? Ayo, mana jargonmu yang katanya kreas dan kreasi, tunjukkan lah...”.

Dalam puncak perenungan, hadirlah memori saya tentang “jurus denda” untuk murid saya ini. Asal tahu saja, ternyata jurus denda itu melahirkan penyakit terselubung di pribadi masing-masing anak. Saling lirik, saling menguatkan, saling mengerucut dalam membagi alibi-alibi.

Wah, jangan-jangan gelar itu nanti (juga) senasib dengan jurus denda. Jika iya, bisa-bisa niatan dari kang Pepih yang cukup baik itu malah jadi “kayu bakar” atas suasana yang ada. Jadilah tulisan ini terupload, kalau toh saya harus bersitegang nantinya, toh lawan saya kang Pepih, bapak saya di Kompasiana. Kalau toh saya kalah dan salah, apa sulitnya mengakui dan meminta ridho maafnya. Maka, lanjut...!!!

Yups, sepintas, gelar komentator itu bisa memicu hasrat untuk meredam “liarnya” emosi yang diletupkan dalam komen diri. Memicu pula untuk kembali “belajar” berkomentar dengan baik. Bagi yang sadar, ini menjadi ruang yang sejuk untuk lebih meningkatkan kualitas diri sebagai “calon penulis” dan (sekarang ditambahi) sebagai “calon komentator terbaik”.

Kang Pepih, itukah masalah yang krusial di Kompasiana ini? Kayaknya tidak sesederhana itu. Hilangnya teman-teman saya (semisal, maaf saya catut namanya, sekali lagi mohon maaf, mbak Ira Oemar, om TEBE, kang Hindro, mas Samandayu, pak Farid, om Jack, dan juga beberapa penulis-penulis “bernas” yang sekarang mulai menurunkan tensi tulisannya) bukanlah unsich dari faktor komen yang ada. Hilangnya mereka seharusnya menjadi bahan kajian admin untuk menjadi ruang layanan perbaikan blog ini.

Nalar saya mengatakan, ide gelar itu hanya untuk meredam mereka-mereka yang ahli komen tetapi minim tulisan. Biasanya akun-akun yang dadakan, dari warna apa saja. Biasanya pula berkerubung di tema-tema yang bernuansa (mohon maaf) hasut dan cela. Untuk mereka-mereka yang merasa nyaman di K ini rerata komennya sudah cukup bernas.

Dari dua paragraf di atas, bisa kita telusur, ternyata pemberian gelar itu (meskipun ide ini cukup bagus) tidak akan terlalu menolong blog ini menjadi kebaikan. Ingat, ketika admin memberi terobosan “centang”, pemberian itu saja sebegitu biasnya. Sehingga sempat ramai. Akan sangat baik jika fokusnya pada “mencegah” menghilangnya teman-teman itu dan memicu gairah menulis yang bernas (bukan komen bernasnya). Apalagi jargon yang dikedepankan oleh blog ini adalah sharing dan conecting. Fokus saja ke jargon itu.

Singkat cerita, ide pemberian gelar itu tidak akan terlalu berpengaruh pada perjalanan blog ini, apalagi jika sistem pemberian itu lewat “sms ala kompasiana”. Mengukur bernaspun juga penuh variabel, apakah yang panjang, lebar, luas, dan dalam? Apakah yang mendapat banyak jempol? Atau apakah “yang berani gila”. Sementara banyak saya temukan beberapa komen yang singkat tetapi cukup simetris dengan kontens tulisan yang dikomentari.

Singkat cerita pula, saya tetap konsis dengan penekanan usulan saya agar adminlah lebih independen dalam menilai tulisan. Lebih jeli dan “bernas” dalam memilih tulisan yang layak duduk di tangga terhormat. Admin pula yang banyak-banyak instropeksi, dalam artian, telusur, apa sich dinamika yang sedang terjadi di blog ini, jangan malah terjebak dalam dinamika itu (mungkin jika terjebak lho ya).

Singkat cerita, itulah letupan ide yang terinspirasi dari ide besarnya kang Pepih. Yups, hanya cinta dan rindu yang menjadi sebab saya menulis ini. Mengingat durasi saya di blog ini masih seumur bayi. Sangat kecil kemungkinan nilai resistensi konsumsi pikir saya tersedak oleh yang aneh-aneh. InsyaAllah...

Salam mesra!

Kertonegoro, 11 Januari 2015

Ilustrasi : ngesod.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun