(Episode 1)
Dari beberapa penggalan cerita drama cicak vs buaya, khusus untuk episode rumah kaca ini akan panjang ceritanya. Lebih menghentak alurnya! Kadang lurus, kadang sorot balik, sangat mungkin lebih banyak alur campurannya. Sudut pandang pengarangpun akan sulit ditebak, dibuat untuk orang ke berapa? Berharap sekali jangan sampai menggunakan sudut pandang orang-orangan.
Adalah AS yang ditasbihkan sebagai pembuka perkenalan konflik. Pembuka yang tidak disadari telah mencoba untuk meretas kebekuan panggung. Sebuah improvisasi yang cukup bagus dari penulis skenario untuk menghidupkan tema dasar cerita. Asal tahu saja, mengambil enggel tema turunan bukanlah pekerjaan yang mudah, minimal sutradara dan penulis cerita sudah faham dan sefaham akan akhir cerita yang dipentaskan. Tragedi atau elegi? Atau malah menjadi cerita kepahlawanan.
Bisakah episode ini menjadi kolosal? Tergantung siapa produsernya! Sekuat apa finansial yang dimiliki sang produser, dan seperti biasa, sebesar apa pundi-pundi rupiah akan kembali nantinya. Nampaknya, kekolosalan itu sudah mulai terbangun dengan sendirinya. Bendera-bendera telah berkibar, teriakan-teriakan, diskusi-diskusi senyap, gerakan desa mengepung kota. Benteng pertahanan diperkuat sampai harus menyingsingkan lengan-lengan, bukan saja lengan baju tetapi juga lengan kaki, maka hadirlah gadis-gadis semi telanjang.
Ada Syaf, tokoh figuran pembuka panggung yang masih gelap dan berantakan. Teramat disayangkan dia harus berwatak absurd, mengambang antara trita dan prota. Penonton sangat berharap ada improvisasi gerak yang berani ia lakukan, sehingga pakem cerita nantinya bisa lebih hidup dan penuh hentakan adegan tak terduga. Nafikan sejenak teriakan-teriakan yang ada di pinggir-pinggir belakang panggung. Keberanian membuka kiswah panggung itu bukanlah sebuah kebetulan, tetapi bagian penting dari panggilan jiwa untuk menjawab keterjengahan penonton yang masih setengah lena!
Rumah kaca, sebuah panggung kecil bernilai langkah sejarah bangsa ini. Tidak saja bermakna gestur catatan ke belakang tetapi juga sebagai pengukur kuatan nilai ikhlas atas sebuah perjuangan ke depan. Cerita yang akan bisa melelahkan penonton untuk memaksa sendiri mencari alurnya. Ketegasan sang sutradara melemparkan drama ini ke halusinasi penonton, itulah ketinggian nilai jual kisah ini.
Roti panggang, ide yang cukup potensial untuk segera dijadikan usaha sampingan di minggu-minggu ke depan. Hanya butuh sedikit kenakalan khayal. Baik dalam meracik bumbu-bumbunya, mensket dandanan lapak dagangan, mengatur posisi sajian. Perlu dipikirkan pula tim IT untuk mendisain propaganda iklan agar lebih meriah, apapun gestur pelaku nantinya. Siapa yang berminat?
Ingat, semakin gosong panggangan roti yang disajikan memungkinkan tingginya sorak penonton agar para pemain lebih punya gairah memerankan wataknya. Sementara sang produser sibuk memegang puluhan remote kontrol untuk menumpahkan kreasi imajiniernya agar selalu berbuah improvisasi setiap kali roti-roti itu tersajikan!
Catatan :
Untuk episode selanjutnya, tidak perlu ditunggu, karena inilah hidup!
Kertonegoro, 1 Pebruari 2015
Ilustrasi : lifeofarchieman.wordpress.com (dengan sedikit editan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H