Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

“Begawan Kentut”, Di Negeri Tanpa Kaca

5 Februari 2015   05:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:48 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(episode 2)

[caption id="attachment_394971" align="aligncenter" width="300" caption=" Ilustrasi : wayangpustaka02.wordpress.com"][/caption]



Untung yang kentut adalah begawan, jadi masih ada nuansa unggah ungguhnya. Baunya pun tidak terlalu liar kemana-mana, masih pilih-pilih hidung untuk disasar. Begawan kentut, saling kentut atau memang sengaja kentut? Ini yang mesti ditelusuri lebih detil lagi.Maklum, kalau yang kentut cantrik saja kelewang hulu balang langsung bicara kok, atas nama titah pemangku kuasa. Masak sekarang cantrik hanya hahahihi saja melihat begawan kentut.

Dari mana tahunya ada kentut? Inilah menariknya! Dari penonton kah? Dari cantrik-cantrik yang sedikit tidak jelas itu? Atau, dari kentut itu sendiri yang sudah masanya untuk menampakkan diri? Perlu sedikit kejelian untuk menjawab. Siapa yang sejatinya mengumbar kentut dulu. Begawan yang mengajak ketemu di balik kaca, atau yang diajak ketemu, atau yang cukup halo halo di seberang jalan. Ada mantan begawan yang merasa heran kenapa bau kentut itu kok baru sekarang!Ada yang melihat, ini kentut ajaibnya sang paduka, agar lewat kentut itu semua “pasrah” pada titahnya.

Roti panggang sudah digelar, bukan cuma penonton yang tergerak membuka lapak, dewan terhormat pun sudah memasang tenda dagangannya. Roti panggang konstitusi nagari namanya. Media semakin riang menayangkan setiap adegan, kamera diarahkan kemana saja menurut selera pemiliknya. Tidak ada silau sedikitpun bagi sang aktor melemparkan kilatan cahaya rahasia.

Langit pangung meredup, pupil mata penonton bereaksi menerkam setiap detil adegan, utamanya yang tersembunyi. Para begawan terengah-engah mengikuti setiap instruksi sutradara. Kadang berlagak lupa, kadang berimprovisasi, kadang keluar dari skrip naskah!

Tiba-tiba pangung gelap! Tanpa suara, tanpa bebunyian nada. Hanya dengus hidung mengendus bau-bau. Berbau lagikah? Dari siapa bau itu? Bau kentut apalagi? Atau hanya sampai beginikah hembusan kentut yang ada. Jelas, penonton terlanjur tidak bisa percaya! Lebih-lebih penjual roti panggang, bakal ancur modal sekandang. Tidak! Kentut harus terus dicari, meski hanya baunya.

Ya! Kentut ini tidak boleh terputus dalam satu episode. Tidak boleh juga dicampur dengan wewangian apapun. Karena, kentut ini memang sedap rasanya, memang harus menjadi tontonan masa, dan sedang melukis sejarah. Sejarah kentut namanya.

Catatan :

Kentut bagi sebagian orang merupakan ketabuan, berkonotasi kurang baik. Meski di sebagian belahan dunia lain lebih bermartabat kentut daripada sendawa! Kentut di negeri tak berkaca ini, bagian yang tak terpisahkan dari sebuah imajinasi. Imajinasi yang sederhana, karena tidak ada lagi kosa kata yang bisa mewakilinya. Mohon dimaklumi apa adanya. Terima kasih.

Kertonegoro, 4 Februari 2015

Ilustrasi : wayangpustaka02.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun