(episode 2)
[caption id="attachment_394971" align="aligncenter" width="300" caption=" Ilustrasi : wayangpustaka02.wordpress.com"][/caption]
Untung yang kentut adalah begawan, jadi masih ada nuansa unggah ungguhnya. Baunya pun tidak terlalu liar kemana-mana, masih pilih-pilih hidung untuk disasar. Begawan kentut, saling kentut atau memang sengaja kentut? Ini yang mesti ditelusuri lebih detil lagi.Maklum, kalau yang kentut cantrik saja kelewang hulu balang langsung bicara kok, atas nama titah pemangku kuasa. Masak sekarang cantrik hanya hahahihi saja melihat begawan kentut.
Dari mana tahunya ada kentut? Inilah menariknya! Dari penonton kah? Dari cantrik-cantrik yang sedikit tidak jelas itu? Atau, dari kentut itu sendiri yang sudah masanya untuk menampakkan diri? Perlu sedikit kejelian untuk menjawab. Siapa yang sejatinya mengumbar kentut dulu. Begawan yang mengajak ketemu di balik kaca, atau yang diajak ketemu, atau yang cukup halo halo di seberang jalan. Ada mantan begawan yang merasa heran kenapa bau kentut itu kok baru sekarang!Ada yang melihat, ini kentut ajaibnya sang paduka, agar lewat kentut itu semua “pasrah” pada titahnya.
Roti panggang sudah digelar, bukan cuma penonton yang tergerak membuka lapak, dewan terhormat pun sudah memasang tenda dagangannya. Roti panggang konstitusi nagari namanya. Media semakin riang menayangkan setiap adegan, kamera diarahkan kemana saja menurut selera pemiliknya. Tidak ada silau sedikitpun bagi sang aktor melemparkan kilatan cahaya rahasia.
Langit pangung meredup, pupil mata penonton bereaksi menerkam setiap detil adegan, utamanya yang tersembunyi. Para begawan terengah-engah mengikuti setiap instruksi sutradara. Kadang berlagak lupa, kadang berimprovisasi, kadang keluar dari skrip naskah!
Tiba-tiba pangung gelap! Tanpa suara, tanpa bebunyian nada. Hanya dengus hidung mengendus bau-bau. Berbau lagikah? Dari siapa bau itu? Bau kentut apalagi? Atau hanya sampai beginikah hembusan kentut yang ada. Jelas, penonton terlanjur tidak bisa percaya! Lebih-lebih penjual roti panggang, bakal ancur modal sekandang. Tidak! Kentut harus terus dicari, meski hanya baunya.
Ya! Kentut ini tidak boleh terputus dalam satu episode. Tidak boleh juga dicampur dengan wewangian apapun. Karena, kentut ini memang sedap rasanya, memang harus menjadi tontonan masa, dan sedang melukis sejarah. Sejarah kentut namanya.
Catatan :
Kentut bagi sebagian orang merupakan ketabuan, berkonotasi kurang baik. Meski di sebagian belahan dunia lain lebih bermartabat kentut daripada sendawa! Kentut di negeri tak berkaca ini, bagian yang tak terpisahkan dari sebuah imajinasi. Imajinasi yang sederhana, karena tidak ada lagi kosa kata yang bisa mewakilinya. Mohon dimaklumi apa adanya. Terima kasih.
Kertonegoro, 4 Februari 2015
Ilustrasi : wayangpustaka02.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H