Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru, Masihkan Anda Berkeluh Kesah?

8 Februari 2015   16:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:36 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14202986561336536966

Pagi tadi, FB saya dapat tautan berbagi dari teman SMA, inspiratif dan menjadi charge jiwa untuk merefresh semangat mengarungi profesi guru ini. Ini nukilan tautan yang dibagi itu :

Disadur dari FB teman:

Kisah inspiratif

sebagai guru profesional dan berkepribadian;

Tidak Ada Orang yang Tidak Memiliki Kompetensi

Dari kisah nyata seorang guru. Di suatu sekolah dasar, ada seorang guru yang selalu tulus mengajar dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh membuat suasana kelas yang baik untuk murid-muridnya.



Ketika guru itu menjadi wali kelas 5, seorang anak–salah satu murid di kelasnya – selalu berpakaian kotor dan acak-acakan. Anak ini malas, sering terlambat dan selalu mengantuk di kelas. Ketika semua murid yang lain mengacungkan tangan untuk menjawab kuis atau mengeluarkan pendapat, anak ini tak pernah sekalipun mengacungkan tangannya.



Guru itu mencoba berusaha, tapi ternyata tak pernah bisa menyukai anak ini. Dan entah sejak kapan, guru itu pun menjadi benci dan antipati terhadap anak ini. Di raport tengah semester, guru itu pun menulis apa adanya mengenai keburukan anak ini.



Suatu hari, tanpa disengaja, guru itu melihat catatan raport anak ini pada saat kelas 1. Di sana tertulis “Ceria, menyukai teman-temannya, ramah, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, masa depannya penuh harapan,”



“..Ini pasti salah, ini pasti catatan raport anak lain….,” pikir guru itu sambil melanjutkan melihat catatan berikutnya raport anak ini.



Di catatan raport kelas 2 tertulis, “Kadang-kadang terlambat karena harus merawat ibunya yang sakit-sakitan,”



Di kelas 3 semester awal, “Sakit ibunya nampaknya semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering mengantuk di kelas,”



Di kelas 3 semester akhir, “Ibunya meninggal, anak ini sangat sedih terpukul dan kehilangan harapan,”



Di catatan raport kelas 4 tertulis, “Ayahnya seperti kehilangan semangat hidup, kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan kepada anak ini,”

Terhentak guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan dada. Dan tanpa disadari diapun meneteskan air mata, dia mencap memberi label anak ini sebagai pemalas, padahal si anak tengah berjuang bertahan dari nestapa yang begitu dalam…


Terbukalah mata dan hati guru itu. Selesai jam sekolah, guru itu menyapa si anak:
“Bu guru kerja sampai sore di sekolah, kamu juga bagaimana kalau belajar mengejar ketinggalan, kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu ajarin,”



Untuk pertama kalinya si anak memberikan senyum di wajahnya.

Sejak saat itu, si anak belajar dengan sungguh-sungguh, prepare dan review dia lakukan dibangkunya di kelasnya.



Guru itu merasakan kebahagian yang tak terkira ketika si anak untuk pertama kalinya mengacungkan tangannya di kelas. Kepercayaan diri si anak kini mulai tumbuh lagi.



Di Kelas 6, guru itu tidak menjadi wali kelas si anak.



Ketika kelulusan tiba, guru itu mendapat selembar kartu dari si anak, di sana tertulis. “Bu guru baik sekali seperti Bunda, Bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”

....... dst. (lihat : https://www.facebook.com/filia.umiharumi/posts/10200108322747717)

Yah, Fakta tak terbantahkan jika guru adalah pilihan hidup. Yuk, "belajar terus" untuk total dalam mengarungi pilihan itu! Untuk melengkapi kegigihan fakta kebermaknaan profesi ini, saya tergerak untuk menuliskan pula pengalaman indah saya mereguk nikmatnya menjadi guru. Maka saya beri komentar dalam postingan itu, sekaligus untuk berbagi pengalaman, seperti ini :

Share kisah juga ya :

Tanggal tua, sekira duapuluhan di akhir bulan, uang tinggal 30 ribu. Anak minta jalan-jalan, sementara bensin tinggal untuk beberapa kilometer saja. Demi menghargai keinginan anak, maka berangkatlah jalan-jalan dengan modal tekad. Saat itu malam minggu.

Benar saja, lima meter dari pom bensin, satu speda motor habis bensin. Berunding sebentar, disepakati 30 ribu itu hanya untuk beli bensin saja tanpa perlu mampir beli makanan. Kesepakatan tiga anak dan satu istri itu menjadi penguat hati menungu antrian di pom.

Begitu giliran mengisi, helm saya lepas, dengan sedikit bengong saya berteriak ke petugas kalau hanya mengisi dua literan untuk dua spedea motor. Yah, petugas itu mengisi penuh tanki bensin supra X saya. Dengan tenang petugas pom itu berkata, “Iya pak saya tahu...”. Semakin bengong ketika motor beat anak juga terisi penuh.

“Mas, saya tadi cuma mau beli dua literan untuk dua motor...”, kataku ke petugas pom itu, melihat jumlah yang harus dibayar tertera 48 ribu.

“Iya pak Fauzi, saya murid Bapak di SMP Y dulu...”, jawab dia ringan.

“Lho...!?”

“Yang pernah Bapak marahi habis-habisan dulu itu, gara-gara mendemo Bapak...”.

“Ya Allah, mas X ya, terus ..”.

“Iya Pak, selamat jalan pak Fauzi...”, ucapnya singkat sambil tersenyum bangga.

“Semua berapa Mas...?”, tanyaku rada gemetar pura-pura tidak tahu.

“Biar saja Pak, terima kasih pak Fauzi, saya kerja lagi ya...?”, jawab dia sambil menyuruh motor di belakang anak saya untuk maju.

Terus, larut dia dalam kesibukan kerjanya, membiarkan saya dan anak istri menduga dengan segala rasa...

Lima hari kemudian, saya sengaja mengisi bensin lagi ke pom itu, maklum, tanggal muda, sekalian untuk menebus gratisnya malam itu.

Sambil mengantri saya lirak-lirik mencari sosok murid saya, tidak terlihat. Sampai giliran saya, saya tanya ke petugas pom mana petugas yang posturnya begini dan begini.



“Ohh... itu pak X, Bapak, vice supervisor grup pom bensin ini untuk wilayah Besuki. Bapak yang malam minggu itu ya, yang sekeluarga itu ya...?”, ujar petugas pom itu, ramah sekali.

Saya hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian ngeloyor pergi. Tidak jadi mengisi, benar-benar takut gratis lagi.

Yah, saya tidak mau gratis lagi, tidak ingin semuanya habis berbalas di dunia. Sambil meninggalkan pom, lamunan jauh ke sepuluhan tahun lalu.

“Semoga saja marah saya saat itu termasuk bagian yang membentuk kehidupannya! Dan, saya tidak ingin dibalas apapun, kecuali ridho Tuhan atas tanggung jawab profesi saya...”.

Entahlah, wallahu’alam...!

Salam,

Berangkat Dari Hati Untuk Menumbuhkan Energi Positif

Maka menjadi wajar, jika gurupun harus ikut menangis ketika sebagian anak bangsa membagi aurora carut-marut langit nusantara. Bisa jadi, ada setitik noktah yang sempat menjadi modal corutnya ourora langit itu, dari salah guru dalam membina!

Semoga Allah swt. mengampuni salah kita semua. Marilah kita membagi salah untuk menumbuhkan kebenaran bersama! Guru, bagian yang tak terpisahkan untuk menumbuhkan terus kebenaran itu. Seyogyanya untuk mengakhiri segala keluh kesah, atas profesi pilihannya.

Kertonegoro, 8 Februari 2015

Ilustrasi :otaksegar.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun