"Salahnya dia menggoda orang," begitulah komentar netizen yang sering dijumpai di berbagai unggahan terkait kasus pemerkosaan. Penggunaan kata "menggoda" digunakan oleh netizen untuk merujuk pada pakaian, gerakan tubuh, dan/atau sekedar rupa dari korban, dengan tujuan menyalahkan tindakan pemerkosaan pada yang diperkosa---bukan yang memperkosa.Â
Sangat disayangkan bahwa Jawa Timur, daerah kelahiran saya, dipenuhi dengan individu yang masih mempunyai pemikiran terbelakang saat menanggapi kasus pemerkosaan.Â
Padahal, seorang wanita bergerak, berpakaian, dan sederhananya---hidup, bukan untuk para pria atau tatapan mereka. Tapi untuk diri sendiri. Lebih marak lagi, anak-anak merupakan korban mayoritas dari tindakan asusila itu. Berita online dari Detik Jatim mencatat sepanjang 2022, terdapat 1.362 kasus pelecahan seksual pada anak-anak di Jawa Timur (Azmi, 2023).Â
Selain itu, catatan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa selama periode 2023, terdapat setidaknya 3.000 kasus kekerasan pada anak di Jawa Timur, dan dari 3.000 kasus itu, dilaporkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak paling dominan terjadi (BBC News Indonesia, 2024). Berdasarkan hal ini, sangatlah tidak masuk akal bahwa korban pemerkosaan yang dituding memicu tindakan tidak senonoh itu. Sebab, individu rasional mana yang mempercayai bahwa seorang anak mampu menggoda lelaki dewasa?
Pemikiran terbelakang yang dimaksudpun bukan hanya ditunjukkan dari perkataan netizen, tetapi juga diperagakkan oleh lelaki dewasa. Lelaki dewasa yang dimaksud tidak hanya sebatas orang asing (orang yang tidak dikenal oleh korban), tetapi juga lelaki dari keluarga korban sendiri. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat bahwa setidaknya 70% korban kekerasan seksual kenal dengan pelaku (Media Indonesia, 2023).Â
Salah satu kasus yang membuktikan pernyataan tersebut terjadi pada 2 Januari 2024 atau lebih tepatnya saat sang korban baru berani melaporkan ke ibunya tentang aksi pemerkosaan yang ia alami dari sang ayah kandung berinisial ME (43), kakak kandung MNA (17), dan dua pamannya I (43) dan MR (49).Â
Korban sendiri merupakan seorang anak perempuan berusia 13 tahun di Surabaya (Widiyana, 2024). Laporan lebih lanjut menyatakan bahwa korban sebenarnya sudah dicabuli dari tahun 2020 oleh keempat anggota keluarganya (Hanna, 2024). Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Hendro Sukmono mengatakan bahwa meski tidak ada ancaman dari para pelaku, korban tetap takut untuk bercerita karena yang melakukan adalah keluarga sendiri, Selasa (23/1/2024).Â
Merujuk pada kasus yang dijelaskan sebelumnya, perilaku yang ditunjukkan merupakan perilaku individu yang kurang pendidikan. Jika diperhatikan dengan seksama, terjadinya pemerkosaan incest seperti kasus sebelumnya seringkali terlihat pada keluarga kelas bawah.
 Keadaan ekonomi yang terbatas menimbulkan kesulitan untuk mengakses pendidikan dasar yang berkualitas dan menurut Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), hal ini akan mempengaruhi yang bersangkutan untuk mudah melakukan praktek kejahatan tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya (Zalzabella, 2020).Â
Salah satunya adalah tindakan yang menyimpang dari norma hukum seperti pemerkosaan dan/atau pemerkosaan secara incest. Memang benar bahwa terdapat faktor lain yang mendorong perilaku menyimpang tersebut, seperti pedofilia.Â
Tetapi, perhatikan negara-negara asing dengan tingkat pendidikan yang rendah, seperti beberapa kota kumuh di India (Delhi: tiga kasus pemerkosaan setiap hari di tahun 2022) atau negara Afrika Selatan (41.739 kasus pemerkosaan dari April 2021 hingga Maret 2022), kasus pemerkosaan rentan terjadi. Sebagai orang yang berpendidikan, kita jelas menganggap tindakan cabul yang dilakukan pelaku sangatlah menjijikkan karena pada dasarnya, pendidikan telah mengimplementasikan norma beradab pada kita, yang terpelajar, sejak kecil.Â