Mohon tunggu...
Tifany Azahra
Tifany Azahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Universitas Siber Asia_200501010048

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Eksistensi Self Diagnosis di Media sosial

24 Mei 2022   23:10 Diperbarui: 24 Mei 2022   23:35 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, mental illnes sedari dulu sering jadi gunjingan banyak orang dikarenakan tidak adanya edukasi dalam memahami gangguan tersebut. Mental illnes juga sering di cap sebagai ' gangguan jiwa ' karena tidak bisa menjaga kesehatan secara batin.

Menurut UU RI NO.18 Tahun 2014 menjelaskan bahwa mental illnes merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi diri sebagai manusia.

Menurut data survei Global Health Data Exchange di tahun 2017, sebanyak 27,3 juta orang di Indonesia mengalami masalah kesehataan kejiwaan. Artinya, satu dari sepuluh orang disini mengidap gangguan kesehatan jiwa. Bisa dilihat dari data kesehatan mental remaja di Indonesia sendiri tahun 2018, terdapat sebanyak 9,8% merupakan prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala depresi dan kecemasan untuk remaja berumur kurang dari 15 tahun, meningkat dibandingkan pada 2013, hanya 6% untuk prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala depresi dan kecemasan untuk remaja berumur > 15 tahun. Sedangkan untuk prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia pada 2013 mencapai 1,2 per seribu orang penduduk.

Tapi, pandangan tersebut seketika berubah dan menjadi hal yang ' trendi ' sejak mencuatnya wabah kasus covid - 19 yang mengakibatkan terbatasnya pergerakan sosial hingga menimbulkan rasa jenuh, bosan, mulai kesepian, stress hingga depresi. Terlebih, hal ini banyak dialami oleh para remaja yang masih mencari jati dirinya namun terganggu dengan permasalahan baru yaitu timbulnya beban dari segi ekonomi, terjadi kekerasan, konflik interpersonal dan permasalahan lainnya.

Untuk mengubah rasa kesepian dan jenuh di rumah, publik banyak beralih ke media sosial. Seperti yang kita sadari, sejak teknologi mulai berkembang, banyak akhirnya terpaku dengan media baru sebagai pengganti sosialisasi, seperti Instagram, Twitter serta baru - baru ini yaitu Tiktok. Dari beragamnya kelebihan aplikasi ini, dibelakang itu semua tak jarang kita mendapatkan efek sampingnya. Kini, sering sekali lewat di beranda kita tentang video viral mengenai 'self – diagnosis' mental seseorang yang membuat publik ikut 'latah', seakan-akan hal tersebut keren untuk dicoba trend tersebut ( fomo ).

Self - diagnosis merupakan aktivitas mendiagnosis diri sendiri secara otodidak yang memunculkan asumsi bahwa dirinya mengidap suatu penyakit tertentu, yang berdasarkan pengetahuan dan informasi yang diperoleh secara mandiri melalui internet dan media lainnya, tanpa dibantu orang yang profesional di bidangnya.

Jika kita menelaah lagi kebelakang, perilaku negatif ini didasarkan dari anggapan bahwa dirinya menjadi depresi, bipolar, eating disorder, OCD karena perubahan mood, mengalami masa traumatik, bahkan perubahan sikap, padahal kita tidak bisa asal mendiagnosa diri karena beberapa kesamaan gejala dari internet. Penyakit yang dia diagnosis sendiri ini membuat beberapa orang jadi ikut – ikutan mendiagnosis dirinya sendiri yang padahal belum tentu perasaan yang ia alami benar adanya.

Bagi sebagian orang mungkin itu memang benar yang dia alami karena ia merasa penyakit ini mulai mempengaruhi hidupnya dan berkepanjangan sehingga harus konsultasi ke psikolog. Orang yang benar mengalami mental illnes tidak akan memanfaatkan mentalnya sebagai ajang cari perhatian, dan melabeli diri agar tidak terkena hujatan jika berbuat salah. Dan bagi orang yang hanya pura – pura mengalami sebagai eksistensi, diharapkan untuk bisa stop mengikuti trend tersebut karena bisa menimbulkan efek lebih buruk lagi.

Lalu, bagaimanakah cara kita mengatasi berbagai dampak buruk yang beredar di media sosial mengenai mental illnes ini? Pertama, coba untuk lebih menerima diri kita apa adanya dan jangan gampang terpengaruh apalagi mengenai mental seseorang yang dirasa sama dengan diri anda, karena tiap-tiap kepribadian seseorang pasti berbeda dan tidak bisa kita asal menyimpulkan dari 1 sisi. Kedua, lakukan konsultasi ke ahli jika ada rasa kecemasan sejak adanya wabah covid yang membuat kepribadian anda berubah drastis. Ketiga, bijaklah dalam memilih berbagai informasi yang anda dapat dan tidak rentan terhadap arus media yang berdampak buruk bagi anda. Kemudian yang terakhir, bangunlah relasi dan komunikasi yang positif agar bisa menciptakan kondisi yang positif pula. Hindari hal negatif, sayangi diri sendiri agar mental anda kembali sehat.

Sumber Referensi

http://news.unair.ac.id/2019/10/10/paradigma-kesehatan-mental/?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun