Banyak peristiwa menandai jejak Islam di tanah air. Perjuangan Islam melawan kolonialisme adalah salah satu sejarah Islam yang paling menarik di nusantara. Ummat Islam Indonesia memiliki peran penting dalam hukum Islam dan haji dalam hal ini. Semua ini bermula ketika VOC tiba di kepulauan ini dan membangun dominasinya. Kekuasaan dan ambisi ekonomi yang dibawa oleh kolonialisme membawa dinamisme baru ke daerah tersebut. Berkumpulnya dua kekuatan ini menyebabkan berbagai reaksi, mulai dari adaptasi hingga konflik, dan meninggalkan dampak yang signifikan pada sejarah negara ini.
Islam Dalam Pengendalian VOC
Tujuan utama datangnya kolonial Belanda ke Nusantara adalah untuk sebuah perdagangan, mengingat bagaimana suburnya tanah Nusantara itu. Namun, seakan berjalannya waktu, kolonial Belanda menyadari bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki, mereka dapat memanfaatkan hal lebih banyak dari pribumi termasuk ummat muslim. Seperti kodifikasi hukum Islam yang berlaku terutama yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, dan warisan adalah salah satu langkah strategisnya.
Dengan begitu, kolonial Belanda membangun landraad (pengadilan bentukan Belanda)Â sebagai salah satu trategi mereka. Dimana peran penghulu pribumi disini sebagai penasihat untuk masalah hukum yang berkaitan dengan muslim Nusantara. Ini merupakan bentuk hormat dari kolonial Belanda meskipun disisi lain kolonial Belanda masih terus mengusahakan hal-hal untuk mengendalikan masyarakat Nusantara demi kepentingan mereka.
Pada tahun 1760, sebuah dokumen terkait dengan hukum Islam berupa perkawinan, perceraian dan warisan telah di terbitkan oleh kolonial Belanda. Dimana dalam penyusunan dokumen ini melibatkan sejumlah ulama dan penghulu Nusantara, sehingga isinya merupakan hukum asli yang berasal dari masyarakat Nusatara. Hal ini menciptakan dua dampak sekaligus, bagaimana di satu sisi ikatan masayarakat muslim menjadi lebih kuat terhadap agamanya, sedang di sisi lain kekuasaan kolonial Belanda juga menjadi lebih tertancap atas pengendalian terhadap masyarakat Nusantara.
Ibadah Haji: Simbol Perlawanan
Salah satu hal yang menarik dari pergulatan Islam dan kolonial Belanda adalah Ibadah Haji. Dalam sejarah ini, Ibadah Haji bukan hanya sekadar simbol Ibadah ummat Islam untuk menyempurnakan keislaman mereka, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda yang merajalela. Ibadah Haji menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan bagi kolonial Belanda, karena mereka berfikir bahwa akan ada ide-ide yang dapat memicu pemberontakan melawan kekuasaan kolonial.Â
Dengan begitu, berbagai macam cara dilakukan oleh kolonial Belanda. Seperti memperketat dan membatasi calon jamaah Haji Nusantara dalam pemberangkatan. Selain itu, aturan tambahan juga di siapkan, bagaimana calon jamaah Haji harus dari bupati dan mengikuti ujian sekembalinya dari Mekah. Walaupun begitu, bukan sebuah halangan bagi calon jamaah Haji. Terutama setelah Terusan Suez dibuka pada 1869 yang mempersingkat perjalanan ke Mekkah.
Komunitas Jawi di Mekkah.
Dengan perjalanan yang ditempuh untuk berangkat Haji, selain memperkuat iman muslim Nusantara, manfaat yang dapat diambil juga adalah memperkuat jaringan Islam internasional. Karena para jamaah Haji tidak hanya menuntut ilmu disana, tetapi juga menjalin hubungan untuk mendakwahkan Islam yang akan mengahsilkan penyebaran ajaran Islam ke berbagai wilayah lain. Disana para jamaah juga sering kali mengikuti halaqah (lingkaran pengajian) yang dipimpin oleh ulama-ulama besar di Masjidil Haram. Mereka mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam seperti fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Mahfudz Termas menjadi tokoh penting yang menghubungkan Mekkah dengan pesantren-pesantren di Indonesia.
Syekh Nawawi memiliki keistimewaan dalam intelektual dan jaringannya dengan ulama. Bagaimana karya-karya begitu banyak yang terkenal dan masih di pelajari dibeberapa pesantren hingga kini. Begitupun dengan Mahfuz Termas, seorang ahli hadis  juga turut andil dalam membangun landasan intelektual pesantren. Pondok pesantren yang didirikan para santri menjadi pusat pembelajaran Islam dan basis perlawanan terhadap kolonialisme. Syekh Nawawi dan Mahfuz Termas jugalah yang menggabungkan para jamaah Haji mekkah sehingga komunitas tersebut dijuluki ulama Jawi.