Mohon tunggu...
Azizah PutriLathifah
Azizah PutriLathifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/UIN Raden Mas Said Surakarta

saya menyukai hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Islam di Indonesia, Karya Dr. H.A. Sukris Sarmadi, S.S.Ag. MH

14 Maret 2023   16:09 Diperbarui: 14 Maret 2023   16:13 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BOOK REVIEW 

Judul               : HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

Penulis             : Dr. H.A.Sukris Sarmadi, S.Ag.MH

Penerbit           : Aswaja Pressindo

Terbit               : 2013

Buku tulisan Dr. H.A.Sukris Sarmadi, S.Ag.MH yang berjudul "Hukum Waris Islam Di Indonesia" sangat cocok untuk peminat hukum waris, praktisi hukum, praktisi KUA, pengadian agama, penyuluh hukum islam, hingga mahasiswa. Buku ini mendeskripsikan secara lengkap dan rinci tentang Hukum Waris Islam di Indonesia. 

Pada awalnya buku ini merupakan catatan-catatan penulis atas diskursus menyangkut hukum waris Islam di Indonesia dan perkembangannya. Dan setelah itu baru terpikir untuk disajikan secara khusus kepada pembaca berupa buku. Buku ini memiliki karakter berupa penjelasan secara deskriptif berisi penjelasan-penjelasan dan untuk menjelaskan kenyataan yang ada atas suatu pemahaman dan penafsiran hukum Islam yang ada di Indonesia. 

Juga dalam buku ini dipaparkan ilustrasi tentang bagan keluarga pewaris yang memudahkan dalam perhitungan waris dan memuat cara-cara dalam menghitung waris. Kekurangan buku ini hanya saja buku ini masih terasa kaku mungkin karena bahasa yang digunakan terlalu formal, hal tersebut kurang memanjakan pembaca dalam membaca buku ini.

Buku ini tampil dengan fokus kajian yang berbeda untuk melihat hukum waris Islam di Indonesia dalam perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni. Dengan buku ini penulis berharap upaya penulisan ini menjadi langkah awal untuk penyempurnaan studi-studi bidang hukum perdata Islam di Indonesia khususnya tentang kewarisan Islam. 

Mengingat persoalan ini tidak dapat diabaikan dan cukup serius maka diharapkan pula buku ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca supaya dapat memperkaya dan memperdalam keilmuan mengenai hukum waris Islam dan juga memperoleh hak keilmuan disisi-Nya. 

Tolak ukur penafsiran terhadap konten Kompilasi Hukum Islam bidang kewarisan banyak disajikan dalam formulasi keyakinan atas hukum-hukum atau fiqh klasik sunni. Satu sisi memberi latar dasar hukum normative dalam studi teks al-Qur'an dan al-Hadis, dan sisi lain KHI sebagai persoalan baru dalam kewarisan. Buku ini berisi 163 halaman yang memuat kata pengantar, daftar isi, dan 21 bahasan yang dituangkan dalam beberapa bagian.

Pada Bab I, penulis menyampaikan tiga poin pembahasan mengenai pengantar waris yaitu, yang pertama tentang studi hukum waris islam sebagai kajian normative agama, kedua tentang historistik dan praktik pembagian waris islam di pengadilan agama, ketiga tentang materi hukum waris islam di Indonesia. Penulis menyampaikan hukum waris islam sebagai kajian normative agama sebenarnya dikarenakan studi hukum waris amat berkait dengan studi pada teks-teks normative berupa al-Qur'an dan al-Sunnah serta bagaimana mengaplikasikannya secara benar sesuai dengan tuntunan tersebut. Sebelum itu penulis memaparkan istilah kewarisan yang berasal dari bahasa arab dengan bentuk masdar al-irts dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Makna dasarnya adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka. Dalam penyebutan istilah hukum kewarisan berbeda beda, menurut fiqh klasik segala yang berkaitan dengan hukum kewarisan disebutnya dengan hukum faraid jamak dari kata "faridah". Terkadang para yuris Islam menamainya dengan sebutan fiqh mawaris dalam bentuk jamaknya adalah mirats. Sedangkan ahli hukum sendiri di Indonesia menyebutnya dengan hukum warisan.

Kalangan penulis Islam secara umum memberi definisi hukum kewarisan sebagai seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasar kepada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. Setelah penulis memaparkan hukum waris islam sebagai kajian normative agama kemudian penulis memaparkan historistik dan praktik pembagian waris islam di pengadilan agama. Hukum waris Islam termasuk kedalam bagian dari hukum keluarga dalam hukum Islam. Sebagaimana pada ranah kajian hukum keperdataan di Indonesia, hukum waris dikaitkan degan hukum keluarga. Hukum waris Islam masuk bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Pada masa pemerintahan VOC sendiri pernah memerintahkan kepada D.W. Freijer untuk menyusun Conpendium yang memuat hukum perkawinan Islam dan kewarisan Islam dengan diperbaiki dan disempurnakan oleh tokoh yuris Islam pada masa itu. Dengan pengakuan hukum Islam di zaman Belanda berakibat lahirnya teori Receptio in complex bahwa hukum Islam berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam yang dijadikan standard politik hukum Belanda.

Sebelum munculnya UU No. 7 Tahun 1989 (disempurnakan dengan UU No. 3 tahun 2006) tentang Peradilan Agama, setiap keputusan lembaga Peradilan Agama yang berkaitan dengan sengketa waris harus selalu dikukuhkan ditetapkan secara yuridis oleh pengadilan umum. Kemudian disempurnakan dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Selanjutnya diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2006, menjadikan kompetensi peradilan agama menjadi semakin luas dan bersifat obsolut dalam bidang keagamaan. UU N0. 7 Tahun 1989 dan UU No. 3 Tahun 2006 maupun UU No. 50 Tahun 2009 kesemuanya merupakan hukum formil. Sementara hukum materil tentang kewarisan Islam bagi umat Islam di Indonesia belum diundangkan. Ini diartikan pula bahwa hukum waris Islam yang selama ini diyakini mayoritas umat di Indonesia yang tersebar dalam kitab-kitab klasik diberlakukan sebagai hukum materil. Kemudian untuk mengkodifikasikan dibuat suatu pedoman yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil para yuris Islam Indonesia yang dituangkan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 merupakan fakta keberadaan fiqh madzhab Sunni versi Syafi'i.

Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) memudahkan bagi hakim-hakim pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa waris bagi umat Islam. Meski rujukan langsung pada KHI bukan merupakan kewajiban langsung bagi para hakim namun setidaknya telah dijadikan pedoman yustisia sebagai hukum materil umat Islam bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa waris.

Pada Bab II, penulis menyampaikan tujuh poin pembahasan yang membahas fokus kepada konsep dasar hukum kewarisan Islam di Indonesia. Ketujuh poin tersebut yaitu yang pertama pengertian dan ruang lingkup bahasan hukum waris Islam di Indonesia, yang kedua ahli waris Furud al-Muqaddarah, yang ketiga kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan, yang keempat perdamaian pembagian saham, yang kelima konsep asasi dan sebab-sebab beroleh kewarisan, yang keenam penghalang memperoleh warisan, yang ketujuh hijab hirman dan nuqsan. Menurut Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam bahasan menyangkut pengertian hukum warisan, ruang lingkup kewarisan serta segala istilah terhadapnya disebutkan sebagai berikut:

  • Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindaan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
  • Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan Pengadilan Agama Islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
  • Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
  • Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
  • Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
  • Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain tanpa lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
  • Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
  • Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
  • Baitul Mal adalah balai harta keagamaan.

Dalam buku ini penulis menjabarkan tentang pasal KHI yang membahas tentang waris dimulai dari apa saja yang berkaitan dengan waris, dana yang dikeluarkan untuk pewaris yang meninggal, penetapan ahli waris, warisan anak angkat, dan masih banyak hal lainnya menyangkut waris. Hukum waris Islam menetapkan para ahli waris diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi hubungan hukum yaitu hubungan darah, hubungan perkawinan dan perwalian. Perwalian yang dimaksud adalah orang yang memerdekakan budak. Dua klasifikasi sebab memperoleh kewarisan yaitu nasabiyah dan sababiyah. Nasabiyah atau kekerabatan (hubungan darah) terbagi dalam tiga kategori yaitu hubungan furu'iyah (lurus ke bawah), ushuliyah (hubungan lurus ke atas) dan hawasyiah (menyamping). Sedangkan sababiyah (sebab perkawinan) adalah suami dan istri. KHI mengkonfirmasikan lagi bahwa ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris digantikan oleh anaknya dimana bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Secara umum rangkaian hukum Islam yang diatur dalam KHI memiliki persamaan dengan hukum waris yang diatur dalam fiqh Islam sunni, khususnya dalam pasal 174 KHI. Pengecualian terjadi terhadap Pasal 185 adanya pergantian ahli waris dari orang tua kepada anaknya walaupun orang tua tersebut telah meninggal dunia lebih dahulu. Akan tetapi dalam fiqh Islam sunni tidak ada istilah pergantian, bagian mereka masuk dalam bahasan bagian masalah cucu dengan system pembagian tersendiri. Cucu berhak memperoleh hak waris dengan ketentuan khusus. Teapi pada dasarnya aturan hukum yang terdapat dalam KHI tidak jauh berbeda dengan fiqh Islam sunni. Pada praktknya di Pengadilan Agama, kewarisan Islam yang diberlakukan dalam penyelesaian sengketa kewarisan masih mengacu kepada ketentuan waris. Pengklasifikasian tentang para ahli waris pada Pasal 174 KHI walaupun secara singkat sebenarnya tidak berbeda dengan fiqh Islam sunni dimana masih memprioritaskan garis kelelakian. Pasal-pasal lain KHI merincikan bagian masing-masing para ahli waris dimana membahas secara khusus. Dalam buku "Hukum Waris Islam Di Indonesia" telah menjabarkan jumlah-jumlah perbagian yang akan diperoleh para ahli waris.

Menurut pemahaman terhadap Pasal 175 KHI yang menjadi prioritas utama adalah mengurus dan menyelesaikan pemakaman jenazah, sebagaimana hal tersebut juga disepakati dalam fiqh Islam sunni. Akan tetapi biaya untuk melakukan penyelenggaraan jenazah tersebut masih menjadi hal yang dipersoalkan, dalam hal ini KHI Pasal 171 huruf (e) biaya yang dimaksud diambilkan dari harta peninggalan mayit, termasuk biaya rawat dan perobatan yang dilakukan untuk mayit sebelum meninggal. Pasal 175 ayat (2) menegaskan bahwa jika harta mayit tidak mencukupi untuk membayar utang-utang yang ditinggalkan maka mustahab bagi ahli waris atau kerabat lain untuk membayarkan. Tidak berbeda dengan masalah wasiat, ia membayarkan sebesar peninggalan harta mayit yang tersisa apabila untuk membayarkan wasiat tidak mencukupi setelah dilunasi utang-utang mayit kepada orang lain. Pada akhirnya apabila harta masih tersisa setelah dilunaskan segala utang dan wasiat, para ahli waris berhak untuk mewarisi seluruh harta yang tersisa dari harta mayit (pewaris).

Melihat Pasal 183 KHI bahwa perdamaian harus didasarkan kepada kesadaran para ahli waris dimana mereka telah mengetahui bagian saham mereka masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum islam. hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kerugian pada salah satu pihak dari ahli waris tanpa disadari atau tidak dalam pengetahuannya. Dengan demikian, ketika ia menyepakati dari suatu pembagian saham berdasarkan perdamaian, pihak-pihak dapat memperhitungkan kerugian ataupun sebaliknya berupa keuntungan dari pembagian berdasarkan perdamaian tersebut, kerelaan para pihak yang terkait yang telah sepakat dalam pembagian tersebut. Terdapat lima prinsip filosofis hukum kewarisan Islam yang telah disepakati para ahli hukum Islam sehingga dijadikan sebagai asas hukum waris, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas peristiwa kematian. Dalam buku dijabarkan secara rinci atas asas-asas tersebut, setelah membahas asas buku ini membahas tentang penghalang memperoleh warisan. Gugurnya hak seseorang ahli waris untuk memperoleh harta warisan karena adanya sebab-sebab khusus yang menjadi penyebab terhalangnya memperoleh kewarisan.

Teks-teks dalam al-Qur'an tentang masalah kewarisan selalu mengisyaratkan tentang adanya hijab dalam pembagian warisan. Hijab merupakan keadaan tertentu yang mengakibatkan seseorang terhalang untuk mewarisi, bisa mengakibatkan tidak memperoleh sama sekali atau hanya mengurangi bagian perolehan harta warisan. System kewarisan mana pun sebagaimana dalam berbagai madzhab hukum dalam Islam, adanya hijab merupakan bagian yang sanagat penting dalam perhitungan warisan. Dalam konsep demikian, tidak ada satupun madzhab hukum yang meniadakan adanya hijab. Hanya saja, dalam sub bahasan permasalahan tertentu di antara mereka berbeda pendapat tentang orang-orang tertentu, apakah mereka menghijab orang lain atau secara bersama-sama tidak terhijab. Menurut KHI bahwa para ahli waris yang dapat terhijab hirman dan dapat pula terhijab nuqsan adalah saudari seayah. Sedangkan ahli waris yang hanya mungkin terhijab hirman tetapi tidak terhijab nuqsan adalah para cucu ketika ada orang tua mereka.

Pada Bab III, penulis menyampaikan sembilan poin pembahasan yang membahas praktik pembagian warisan para ahli waris, dimulai dari bahasan yang pertama anak laki-laki, yang kedua anak perempuan, yang ketiga ayah, yang keempat ibu, yang kelima suami (duda) dan istri (janda), yang keenam para cucu pancar laki-laki dan perempuan dan ahli waris pengganti, yang ketujuh para saudari-saudari, yang kedelapan kakek dan nenek, yang kesembilan penyelesaian auld an radd. Pada Bab III ini sudah memasuki praktik dalam pembagian waris, yang dimana di dalam buku dijelaskan dari mulai pengertian, asal-usul hukumnya, hingga berapa bagian yang didapatkan dalam pembagian waris. Ketentuan-ketentuan yang dipaparkan cukup runtut dan urut memudahkan pembaca memahami apa yang disajikan. Misalnya poin A yaitu anak laki-laki. Disini dijelaskan anak laki-laki merupakan ahli waris 'ashobah yaitu yang berhak menghabiskan sisa harta waris setelah diberikan kepada ashabu al-furud yang lain.

Perhitungan berdua anak perempuan mendapat bagian 2/3 jika tidak ada anak perempuan berarti masing-masing mereka memperoleh 1/3. Sedangkan anak laki-laki memperoleh bagian sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Mendudukkan anak laki-laki sebagai ashobah bertujuan agar ia selalu memperoleh bagian yang lebih banyak dari pada ahli waris yang lainnya bahkan lebih banyak dari saudaranya sendiri yaitu anak perempuan. Anak laki-laki tidak dapat dihijab oleh siapa pun dari para ahli waris nasabiyah maupun sababiyah. Anak perempuan merupakan ahli waris dari kelompok nasabiyah yang memiliki nilai saham tertentu (furud al-muqaddarah). Anak perempuan dapat memperoleh 1/2 bagian warisan apabila ia tunggal tanpa memiliki saudara sekandung. Anak perempuan memperoleh 2/3 bagian apabila ia berjumlah dua orang atau lebih tanpa adanya anak laki-laki. Dan anak perempuan dapat memperoleh bagian ushubah (menghabisi sisa), baik sendirian atau terbilang ketika ada anak laki-laki yang menjadikannya untuk bersama-sama menghabisi sisa harta. Khusus mengenai perolehan dengan jalan ushubah bersama dengan anak laki-laki dapat dipahami bagian anak lelaki sama dengan dua anak perempuan, perolehan anak perempuan tidak boleh sama atau lebih dari anak laki-laki.

Dalam Pasal 177 KHI menyebutkan "ayah mendapat 1/3 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila terdapat anak, ayah mendapat 1/6 bagian". Sebagai ahli waris ashabul furuddhin Nasabiyah ayah merupakan leluhur langsung dari pewaris. Pasal KHI tidak ada menyebutkan ayah akan memperoleh bagian 'ushubah, sebaliknya tidak ada pula keterangan utnuk menyelesaikan perkara ketika para ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan anak perempuan atau ketika ahli waris terdiri dari ayah dan istri atau ketika ada ayah, istri dan anak perempuan atau ketika ada ayah dan suami. Kesemuanya apabila dibagi pasti ada sisa harta. Dalam sistem kewarisan madzhab sunni, ayah akan meperoleh bagian ushubah sehingga harta dapat dihabiskan karena ia akan menghabiskan sisa harta. Penghabisan sisa harta juga dapat dengan cara melakukan radd. Dua cara penafsiran tersebut akan mungkin terjadi dalam menafsirkan Pasal-Pasal KHI mengenai bagian saham ayah. Boleh jadi seperti madzhab Sunni atau dengan cara meraddkanya kepada semua ahli waris yang ada. Dalam fiqh sunni masalah gharawain hasilnya sama dengan KHI, hanya istilah untuk ayah adalah ushubah.

Ibu dapat berkurang dari bagian 1/3 menjadi 1/6 dan 1/3 sisa karena keadaan tertentu. Khusus mengenai bagian 1/3 sisa dalam fiqh, ulama fardhiyun mengistilahkannya dengan masalah ghawarain yang bertujuan agar bagian antara ibu dengan ayah ketika mereka bersama-sama sebagai ahli waris sababiyah yakni suami atau istri lebih banyak. Ibu dapat menghijab hirman terhadap ibunya nenek dan ibunya ayah dan seterusnya dengan dasar hukum ijtihad. Suami (duda) dan istri (janda) merupakan kelompok ahli waris sababiyah dan termasuk kelompok ashab al-furud yang memiliki bagian fard tertentu. Fard suami memperoleh 1/2 bagian apabila tidak meninggalkan anak dan memperoleh 1/4 bagian apabila meninggalkan anak. Fard istri memperoleh 1/4 bagian apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan memperoleh 1/8 bagian apabila pewaris meninggalkan anak. Suami dan istri tidak dapat menghijab para ahli waris manapun baik secara hirman maupun nuqsan. Demikian pula ia tidak dapat dihijab oleh siapa pun secara hriman kecuali secara nuqsan.

Berdasarkan Pasal 185 KHI kedudukan para cucu pancar laki-laki dan perempuan dan ahli waris pengganti kedudukan mereka ahli waris pengganti sesuai dengan kedudukan orang tua mereka masing-masing. Para saudara terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan sekandung, seayah atau seibu mereka termasuk kelompok ashabu al-furudh yang memiliki bagian tertentu dan merupakan ahli waris nasabiyah menyamping. Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah kakek dan nenek tidak dijelaskan secara rinci menyebutnya sebagai orang yang memiliki peluang menjadi ahli waris.

Dalam penyelesaian perhitungan wris dari saham / fard para ahli waris berupa bilangan pecahan seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dn 2/3 terkadang saham-saham tersebut apabila di jumlahkan akan melebihi dari harta-harta yang akan dibagi. fiqh menyebutnya dengan masalah aul yaitu adanya kelebihan saham para ahli waris yang berakibat harta yang dibagi tidak mencukupi. Dalam perhitungan bilangan pecahan dapat diketahui cirinya angka pembilang lebih besar dari angka penyebutnya atau melebihi jumlah asal masalahnya. Dalam pasal 192 Kompilasi disebutkan sbb:"Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzwil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang". Menetapkan cara aul berarti menetapkan apa adanya sesuai dengan saham- saham para ahli waris dimana ketika harta tidak mencukupi maka saham-saham tersebut dikurangi secara imbang agar harta dapat dibagi dan mencukupi. Adapun mengenai radd justru sebaliknya dari aul. Dalam tradisi fiqh mawaris, radd berarti harta yang dibagi masih tersisa. Dengan kata lain, setelah saham-saham ahli waris dijumlahkan ternyata tidak dapat menghabisi seluruh harta yang ada. Ciri masalah radd ini adalah jika nilai saham (pembilang) lebih kecil dari asal masalahnya (penyebut).

Pada Bab IV, penulis hanya menyampaikan dua poin pembahasan yang membahas tentang wasiat dan hibah. Bab ini merupakan bab terakhir dari buku ini. Menjelaskan tentang wasiat dimulai dari pengertian, syarat, batal wasiat dan pencabutannya. Begitu pun dengan pembahasan tentang hibah dimulai dari pengertian, hubungannya dengan warisan dan penarikannya. Pasal 171 huruf (f) menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Rukun dan syarat wasiat yaitu adanya pewasiat, adanya orang yang menerima wasiat dengan syarat orang tersebut bukan ahli warisnya, adanya sesuatu yang diwasiatkan, adanya lafadz perwasiatan atau bukti terjadi perwasiatan. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

  • Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya pewasiat
  • Dipersalahkan memfitnah
  • Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat
  • Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

Pasal 197 ayat (2) menegaskan pula bahwa wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

  • Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
  • Mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi ia menolak untuk menerimanya.
  • Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggal pewasiat.

Pasal 171 huruf g mendefinisikan hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah merupakan pemberian dan bukan pinjaman seperti orang yang mengizinkan untuk mempergunakan atau memanfaatkan suatu benda tertentu. Dijelaskan rukun hibah yaitu adanya penghibah dengan syarat berumur minimal 21 tahun berakal sehat dan tanpa ada paksaan dari orang lain, adanya penerima hibah dengan syarat ia dapat memilikinya, adanya harta yang dihibahkan dengan syarat harta yang bernilai sehingga memberi kebaikan dan manfaat kepada orang lain serta harta benda yang akan dihibahkan merupakan harta milik si penghibah, adanya lafadz yang menyatakan penghibahannya dengan disaksikan dua orang saksi. Pasal 212 menyatakan hibah tidak bisa ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hibah terhadap anak dinggap warisan karena hal tersebut dimaksudkan agar tidak adanya sikap orang tua melebihkan anak kesayangannya dengan anaknya yang lain sehingga terhindar dari munculnya sikap iri hati bagi anaknya yang lain dan tercipta keadilan.

Sekian yang dapat saya riview dari buku tulisan Dr. H.A.Sukris Sarmadi, S.Ag.MH yang berjudul "Hukum Waris Islam Di Indonesia". Untuk lebih dapat memahami isi dari apa yang saya paparkan bisa langsung membaca bukunya, buku "Hukum Waris Islam Di Indonesia" ada yang berbentuk buku fisik yang bisa dibawa kemana-mana dan juga sudah tersedia dalam bentuk buku digital (e-book). Pada buku ini banyak contoh perhitungan waris disertai dengan bagan ilustrasi yang tidak saya cantumkan dalam review ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun