Mohon tunggu...
Vox Pop

Pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat sebagai Perdana Kesehatan di DKI Jakarta

11 Juni 2015   08:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara berkembang yang masih rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dengan hidup sehat, termasuk penduduknya di ibukota Indonesia yaitu Jakarata. Sebagai peran dan fungsi pusat pemerintah ibu kota Negara diantaranya bermacam masalah adalah salah satunya masalah kesehatan.

Berdasarkan UUD 1945 sebagai landasan hokum diantarnya adalah Negara memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Untuk itu sudah menjadi kewajiban pemerintah khususnya DKI Jakarta memberikan perlindungan kepada warganya yaitu bidang kesehatan dengan perdana kesehatan melalui  Kartu Jakarta Sehat ( KJS ) yang diluncurkan pertama November 2012 oleh  Bpk. Djoko Widodo sebagai Inovator.

Pemikiran yang “out of Box” harus diacung jempol untuk pembuat kebijakan Gubernur DKI Jakarta ini. Implementasi kebijakan KJS sesbagai perdana kesehatan, berfokus pada semua penduduk DKI-Jakarta yang tidak mampu. Sudah dirasakan warga namun kesuksesan tidak seiring dengan kesiapan fasilitas, tenaga,  kurangnya infrastruktur, koordinasi antar rumah sakit rujukan dan system pembayaran bagi Rumah Sakit.

Perancaan yang belum optimal dan kurangnya koordinasi kepada para pemangku kepentingan ( stakeholder ) dalam pelaksanaan KJS, sekilas bagi kalangan masyarakat bawah sebagai anugrah untuk berobat bebas biaya. Akan tetapi bagi tempat pelayanan kesehatan ( Puskesma & RS ) belum siap dengan membludaknya pasien KJS, berupa kurangnya informasi dalam sosialisasi, fasilitas2 lainnya dan  rawat inap klas 3 khususnya dan SDM

Hal tersebut ditunjang dari hasil penelitian menurut ( Yessica,2013 ) : kurangnya tenaga, fasilitas dan administrasi di Puskesmas. pendapat ( Lathifa & Hadi, 2014 ) : terbatasnya petugas untuk verifikasi, sosialisasi penunjang KJS kepada Masyarakat. Sehingga tampak tidak adanya fungsi koordinasi pada beberapa tahapan birokrasi didalam proses pelaksanaan KJS, hal ini diperkuat pendapat menurut ( Sudarjah & Maqin, 2014 ) dengan euphoria yang berlebihan dalam memanfaatkan KJS sebagai factor pemicu konflik antara level teknis dengan masyarakat dan Top manajer ( Puncak pimpinan ). Adanya pertentangan peraturan gubernur dengan peraturan daerah No.4 tahun 2009.`

kebijakan KJS dapat dilihat dari 4 faktor untuk menentukan keberhasilan / kegagalan dalam implementasi menurut Edward III  dalam buku Kebijakan Publik ( Soetari, 2014 ) yaitu

  1. Komunikasi : sangat penting untuk keberhasilan kebijakan public untuk disampaikan baik pada saat formulasi dan implementasi. Belum optimalnya komunikasi & Sosialisasi KJS berbagai lapisan masyarakat dan Stakeholder mencakup : Transmisi, Clarity ( kejelasan tujuan & cara ) dan konsisten.
  2. Sumber daya dimana implementasi kebijakan KJS tidak efektif berupa sumber-sumber : tenaga ( kualitas & kuantitas ), fasilitas, anggaran sumber dana, informasi dan kewenangan belum optimal
  3. Disposisi adalah sikap dan komitmen dalam pelaksanaan KJS dimana sikap kesungguhan untuk menjadi kebijakan dapat diimplementasikan ada 3 unsur utama yaitu : pemahaman, arahan & tanggapan pelaksanaan, serta intensitas respons terhadap pelaksanaan KJS, tampak adanya sikap dan komitmen pelaksanaan KJS
  4. Struktur Birokrasi, tidak efisien dalam hal ini mencakup aspek hubungan antara unit organisasi / hubunga orgnaisasi dengan organisasi luar. Dalam hal ini konflik yang ada pada level teknik dan top manajer sesuai bidang terkait bagi stakehorlder ( peraturan gubernur bertentangan dengan peraturan daerah DKI Jakarta.

Berjalannya waktu dalam pelaksanaan KJS sudah dirasakan oleh masyarakat  warga DKI-Jakarta dengan pelaksanaan  akses sesuai alur yan kes warga ber-KTP DKI Jakarta. Suatu upaya dalam factor menentukan keberhasilan kebijakan terus-menerus dalam komunikasi / sosialisasi dan informasi ( Benner, Dysplay, Brosur, Lieflet, IT / Internet ) serta disposisi kepada masyarakat, PPK 1,   Rumah Sakit kerja sama dengan UP DKI akan bertambah pemahaman tentang KJS.

Mencapai efektif pelaksanaan kebijakan KJS prioritas fasilitas sarana dan prasaran yang merata serta anggaran sumberdana ( dalam bentuk penyediaan laporan secara online ). Khususnya pada sistim inovasi mekanisme pembayaran yang dibuat efisien yang berawal berdasarkan pelayanan yang diberikan ( pay for service ) diubah menjadi paket berdasarkan penyakit/INA SBGs ( Permenkes No 27 tahun 2014 tentang junis INA CBGs ) untuk RS se-Indonesia.

Tarif klaim KJS versi baru mempunyai standar berbentuk clinical pathway, Rumah Sakit mengeluh adanya kesenjangan dengan tarif, contoh salah satu tarif dibayar 75 % dari besaran tarif tersebut. Hal ini sering menjadi keluhan RS sejak diterapkan INA-CBGs. RS dituntuk memberikan pelayanan sesuai standard an tidak mengejar profit ( bagaimana Total Revenue & Total Cost ? ). Polemik masalah selisih pembayaran klaim dimana keberadaan untuk dapat mencapai 100 %.

Perannya pemerintah dan Pemda DKI sangat diharapkan untuk penanganan tarif klaim KJS terkait struktur birokrasi yang efisien baik setingkat level teknis dan top manajer untuk membuat suatu kebijakan baru dan standarisasi dengan transparan. Terkait hal ini pada permendagri No 17 tahun 2007 tentang Pedoman teknis pengelolaan keuangan badan pelayanan umum Daerah dan Permenkes No. 12 tahun 2013 tentang pola tarif pelayanan umum RS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun