Mohon tunggu...
Tienuk Suyanto
Tienuk Suyanto Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Belajar pada apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kenapa Harus Ruwet?

22 April 2013   13:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:48 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujian Nasional saat ini menjadi TOP News di berbagai tempat. Hampir semua orang membicarakan Ujian Nasional dengan segala "keruwetannya". Sehingga sayapun latah dan gatal kepengin mengutarakan uneg-uneg saya tentang ujian nasional.

Secara teori, ujian memang salah satu cara menentukan tolok ukur keberhasilan suatu pencapaian. "Kalau tidak diuji, trus indikasinya kalau berhasil apa?" begitu kira-kira jargonnya. Untuk naik kelas harus mengikuti ujian, naik pangkat/jabatan juga harus mengikuti serentetan ujian, dan kelulusan jenjang pendidikan dari TK sampai perguruan Tinggi semua diukur melalui ujian.

Masalah otomatis hadir tanpa diundang manakala ada kesenjangan antara teori dan kenyataan di lapangan. Dulu, jaman saya sekolah juga mengikuti ujian untuk menentukan kelulusan, dan alhamdulilah saya berhasil lulus dengan nilai yang  tidak jelek-jelek amat.  Padahal jaman dulu mata pelajaran yang diujikan lebih banyak dibanding sekarang. Saya merasa biasa-biasa saja menghadapinya. Saya juga tak harus ikut les tambahan setiap saat setiap waktu siang sore dan malam. Intinya belajar tanpa beban, tidak ngoyo dan sakmadyo saja, sehingga saya masih bisa menikmati  waktu saya tidak hanya untuk belajar materi ujian. Tapi itu kan duluuu...

Sekarang?
Setiap anak sekolah yang memasuki jenjang pendidikan SD kelas 6, SMP kelas 9, dan SMA kelas 12, sejak awal tahun pelajaran baru sudah mulai start untuk konsentrasi belajar sampai menjelang UN.  Di sekolah mereka dijejali  soal-soal untuk persiapan ujian. pulang sekolah Les, malam hari masih harus mengerjakan PR. Sekolah, Guru, Orangtua pontang-panting bagaimana caranya agar siswa dan anak-anak mereka lulus ujian. Sebenernya dulu juga begitu, tapi juga gak gitu-gitu amat...hehehe

Belum lagi pembatasan materi yang diujikan juga membuat saya tersenyum nyiyir. Di Sekolah mereka mempelajari bermacam- macam mata pelajaran tapi yang diujikan sebagai standar kelulusan hanya 3 atau 4 mata pelajaran saja. Bukankah itu lebih meringankan? Iya kalau meringankan kenapa dalam proses belajar mengajar mereka harus memikirkan mata pelajaran selain yang tidak menjadi penentu kelulusan? Bukankah itu merupakan bentuk kemubadziran? Mereka capek-capek mengerjakan tugas dari guru mapel non-nas, tapi "seolah-olah" tak ada gunanya. Kondisi ini secara tidak langsung mengotak-ngotakkan mapel. Ada golongan mapel "Emas" yaitu mapel yang digunakan untuk ujian nasional  dan golongan mapel "gembreng" yaitu mapel yang tidak diujikan dalam ujian nasional.

Penggolongan inipun juga terasa tidak adil karena kemampuan setiap anak berbeda-beda. Ada anak yang tidak mahir matematika tetapi piawai dalam hal olah kata. Atau ada juga anak yang lelah di bidang akademis tetapi lukisannya indah. Prestasinya di bidang olahraga bagus, dan mampu mengharumkan sekolah.  Bahkan dulu ada kasus seorang pemenang olimpiade fisika tingkat dunia tidak lulus karena nilai BI nya di bawah standar.

Belum lagi sistem penilaian yang terkesan tidak transparan. Ujian Nasional menjadi horor karena hasilnya tidak bisa diprediksi. Sekolah dan Guru berusaha mati-matian untuk mencerdaskan  siswa-siswanya. tapi mereka tidak berhak menentukan hasilnya. Anak-anak sendiri banyak yang stres dan berusaha berbagai cara agar lulus ujian. Bahkan cara-cara yang tidak sportif dan tidak masuk akal mereka tempuh, seperti mem beli kunci jawaban sampai lari ke dukun. Guru mengawal anak didiknya selama 3 tahun tapi ketika anak didiknya tidak lulus mereka orang pertama yang disalahkan. Makanya jangan heran jika ada oknum guru  yang menjadi takut dicap gagal, sehingga melakukan kecurangan, membiarkan peserta saling tanya saat ujian ( tapi ini oknum looo.. )

Jika belajar adalah sebuah proses, mengapa indikator kelulusannya ditentukan hanya dalam waktu 4 hari? Kenapa saat mereka belajar harian selama 3 tahun tidak dimasukkan dalam hitungan? Adalah sangat tidak lucu apabila ada seorang anak yang pandai, hariannya bagus, rajin, nilai-nilai ulangan juga bagus, tetapi tidak lulus ujian karena saat hari H dia masuk angin sehingga tidak dapat konsentrasi mengerjakan soal.

Tapi karena setiap kebijakan atasan memang wajib diikuti,, apapun dan bagaimanapun ruwetnya ya harus diikuti. Kalau tidak mau ikut ya tidak usah sekolah sajja.... hehehe

# ungkapan diatas hanya pendapat pribadi saya,,,,

bagaimana pendapat anda?????

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun