Mohon tunggu...
Ticka Sandra dan Luluk Kurotul
Ticka Sandra dan Luluk Kurotul Mohon Tunggu... Lainnya - -

be yoursef

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Remaja Pembunuh, Apakah Dia Psikopat?

20 Maret 2020   11:05 Diperbarui: 20 Maret 2020   11:35 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini telah beredar berita bahwa terdapat remaja 15 tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat yang dengan tega telah membunuh bocah perempuan berumur 5 tahun. Berdasarkan berita yang beredar, remaja tersebut membunuhnya dengan cara menenggelamkannya di bak mandi lalu menyimpan mayatnya di lemari. 

Pelaku menyerahkan diri ke polisi dan mengakui kejahatan tersebut, namun pelaku tidak menyesali kejahatan tersebut dan justru mengatakan bahwa dirinya puas setelah menghabisi nyawa bocah tersebut. Pelaku juga mengakui bahwa dirinya terinspirasi dari film Chucky dan Slender Man yang dimana kedua film tersebut bergenre horor dan pembunuhan.

Apa yang salah pada diri remaja tersebut? Psikolog Forensik Reza Indradiri mengatakan, ada 2 hal yang menyebabkan seorang remaja bisa melakukan hal sadis seperti ini yaitu karena faktor keadaan lingkungan dan disposisi yang dialami oleh si pelaku ini dan yang kedua ialah terkait fungsi otak yang menyebabkan hilangnya rasa empati pelaku sehingga tega melakukan pembunuhan sadis.

Apakah dia dapat disebut sebagai psikopat? Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos berartikan sakit. Sakit jiwa berbeda dengan gila yang dimana ketika gila dia tidak menyadari atas apa yang dilakukannya dan jika sakit jiwa dia menyadari atas apa yang diperbuatnya. Gejala psikopat disebut psikopati dan untuk mendiagnosa apakah orang tersebut psikopat atau bukan, butuh evaluasi yang ketat dan menyeluruh. 

Menurut penelitian, hanya ada 15-20 persen psikopat yang mampu melakukan tindak kriminal. Namun, dalam kasus ini remaja tersebut masih belum dapat dikatakan psikopat karena usianya yang masih dibawah umur, sedangkan psikopat ini adalah sebuah kepribadian yang dimana kepribadian seseorang akan terbentuk saat orang tersebut sudah tumbuh dewasa.

Lalu bagaimana isi otak seorang psikopat? Seorang psikopat ini akan terlihat dari reaksi emosionalnya atas suatu kejadian, dan dimana dia kurang atau bahkan tidak memiliki reaksi emosi seperti takut, sedih atau tertekan. Namun, mereka juga seringkali bersifat manipulatif yaitu bisa berpenampilan, bersikap, dan bertutur kata sangat menyenangkan seperti orang pada umumnya. 

Psikopat juga sering disebut tidak memiliki rasa empati, tetapi sebenarnya mereka memiliki rasa empati dan hanya saja hal tersebut tidak diaktifkan oleh dirinya atau hanya diabaikan saja. Seperti pada umumnya, rasa empati ini akan muncul secara otomatis pada diri kita, tetapi tidak pada diri seorang psikopat. Mereka hanya akan berempati ketika mereka ingin saja. Setelah mereka melakukan apa yang menjadi tujuannya, bagian otak yang mengatur emosi kembali tidak aktif dan mereka akan kembali menjadi tidak punya rasa empati terhadap penderitaan orang lain.

 Maka dari itu, pembentukan karakter anak sejak dini akan menjadi sangat penting dan orangtua harus berperan aktif dalam hal tersebut. Sebab, orang terdekat bagi seorang anak tentunya adalah orangtua mereka sendiri. Ketika seorang anak melakukan kesalahan, sebagai orang tua tidaklah harus memberinya sebuah hukuman, melainkan memberikan sebuah pengertian kepada si anak mengapa hal tersebut salah dan tetap mengingatkannya agar tidak mengulanginya lagi. 

Saat seorang anak diberikan pengertian dan penjelasan, maka si anak tersebut akan mulai berfikir apa saja hal hal yang dianggap salah. Orangtua juga harus selalu mengantarkan anak pada hal-hal positif seperti hobi yang diminatinya, agar si anak tersebut selalu melakukan apa yang mereka sukai. 

Pendekatan orangtua juga sangat penting, agar orangtua selalu mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh si anak dan orangtua juga harus menjadi tempat pertama anak untuk mencurahkan isi hatinya agar sebagai orangtua kita dapat memberikan masukan yang baik dan bersikap bijak agar pola pikir anak tersebut berubah menjadi positif terhadap suatu masalah yang sedang dihadapinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun