Beberapa kali kita harus melampaui masa sulit sebagai bangsa. Masa sulit itu terjadi malah ketika kita sedang berpesta alias pesta demokrasi baik Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Dalam satu dekade ini setidaknya ada dua kontestasi Pilpres dan beberapa kontestasi Pilkada dan seluruhnya menakutkan karena masing-masing menggunakan narasi-narasi yang kelewat batas untuk membela maing-masing calonnya.Â
Mereka menggunakan banyak platform untuk melancarkan aksinya, baik itu facebook, twitter, telegram, maupun instagram. Tak jarang mereka sengaja membuat meme-meme yang bersifat memojokkan bahkan menghina pihak lain.
Kadang mereka juga menyebar fitnah yang sangat tidak berdasar. Seseorang menerima informasi soal beberapa kontainer barang dari China bersandar ke pelabuhan, kemudian dia menyebarkan informasi bahwa  kontainer-kontainer dari China itu berisi surat suara yang sudah tercoblos pasangat tertentu, padahal pilpres belum dimulai.Â
Informasi yang tersebar melalui dunia maya ini bersifat fitnah tidak saja menyasar salah satu capres tapi juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia. Sebagai intitusi terhormat, KPU akan kehilangan muka jika hal-itu memang benar-benar terjadi.
Karena itu KPU mengambil langka tepat yaitu melaporkannya kepada polisi untuk diusut. Dari penyelidikannya, polisi menemukan bahwa hal itu fitnah belaka karena tidak ditemukan kontainer seperti yang diungkapkan.Â
Tak lama kemudian, polisi menemukan sang provokator sekaligus penyebar dan menangkapnya. Saat Pilpres dan Pilkada sepertinya saat yang dipilih provokator untuk menyebarkan fitnah.
Dari penyelidikan polisi didapat bahwa kabar itu adalah bohong dan sengaja disebar oleh salah satu pengagum salah satu kandidat capres. Dia diketahui berulang kali melakukan ujaran kebencian namun kali ini dia bisa dijerat dengan pasal hukum.
Versi lain dari ujaran kebencian saat pilpres dan pilkada sangat banyak dan banyak dilakukan berbagai kalangan. Entah itu yang berprofesi sebagai pelajar, mahaiswa, atau guru yang notabene harus memberikan contoh baik kepada murid-muridnya.Â
Jua ada dokter, ibu rumah tangga atau profeional lainnya. Mereka terjebak pada narai-narai yang kelewat batas dalam mengungkapkan kebencian.
Contoh paling nyata dalam kasus ini adalah pilkada Jakarta. Pilkada ini penuh diselubungi oleh hujatan dan ujaran kebencian yang nyaris sampai di ubun-ubun pelakunya.Â