Beberapa saat lalu, satu lembaga pemerintah menyebut beberapa kampus terindikasi kegiatan radikalisme. Ini rentetan dari beberapa kejadian yang melibatkan mahasiswa dalam organisasi dan kegiatan radikalisme. Bahkan beberapa diantara mereka berencana melakukan kekerasan.
Semisal penggeledahan Gelanggang Mahasiswa Universitas Riau oleh Detasemen 88 Antiteror pada Juni lalu. Ditangkap juga tiga orang terduga teroris yang membawa empat bom siap ledak.Â
Tiga orang itu adalah alumni Universitas Riau. Aparat mengatakan bahwa mereka merakit bom saat menumpang tidur di Sekretariat Mapala Sakai Fisip Univ Riau selama sebulan.
Mereka berencana untuk meledakkan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dan DPR RI. Aparat memperkirakan bahwa daya ledak bom yang mereka rakit akan member efek hampir mirip bom Surabaya. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana jika aksi mereka berhasil karena tidak bisa dicegah.
Fenomena ini memang mengkhawatirkan. Karena terkesan kampus lalai soal pembinaan moral dan kebangsaan pada generasi muda. Padahal jika kita tarik garis sejarah, kita temukan bahwa adanya kebijakan NKK BKK Â pada tahun 1978 membuat kampus kita menghindari politik. Alasannya agar mahasiswa dan para intelektual bisa berkonsentrasi pada kegiatan akademis.
Padahal kita tahu bahwa kampus sejatinya kebutuhan untuk menyalurkan pemikiran politiknya secara dialektis. Bukan semata untuk politik praktis tapi memberi ruang bagi pemikiran dan argumentasi atas teori politik yang berkembang di lingkungan kampus. Kedua, kampu yang berisi generasi muda, sejatinya sangat memerlukan wadah untuk menyalurkan potensinya, yang tidak saja berupa kegiatan fisik tetapi juga ide-ide.
Sehingga ketika NKK BKK diterapkan banyak sekali sialektika pemikiran yang terhenti. Sebagian terbawa ke kegiatan-kegiatan agama dan diskusi-diskusi bawah tanah. Kegiatan agama dan diskusi-diskusi itu bisa jadi kerap membawa semangat intoleransi dan radikalisme. Tapi kampus tak bisa mengawasinya. Singkatnya, keputusan pemerintah yang melarang politik praktis di kampus membuat potensi kampus nyaris dikebiri.
Karena itu keputusan Menristekdikti  no 55 tahun 2018 yang berisi narasi untuk memperkuat organisasi Pancasila dalam Kampus untuk membendung Radikalisme, patus diapresiasi.Â
Keputusan itu memberikan ruang untuk berpolitik bagi para mahasiswa dalam kampus . Ini sebagai jalan keluar bagi kebutuhan berdialektika bagi para mahasiswa atau warga kampus untuk mempelajari lebih lanjut soal politik praktis.
Dengan langkah ini diharapkan kampus dapat mengembangkan pemikiran politiknya dengan baik. Mendiskusikan dan menerapkan politik pada tempatnya. Sesuai dengan apa yang dilihatnya dan dipelajari di kampus.Â
Dengan memahami proses dan dialektika dengan lebih baik, maka mahasiswa atau warga kampus akan lebih paham dan matang dalam melihat fenomena sosial maupun politik.
Dengan pemahaman yang lebih matang dan cukup baik, bisa memberikan sikap yang lebih bijak terhadap sesuatu. Intoleransi dan radikalisme bisa jadi menjadi kerdil jika dibandingkan dengan dialektika  berfikir mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H