Kemarin, 11 Oktober 2017 adalah Hari Anak Perempuan Internasional. Saya jadi ingat pembicaraan saya dengan seorang teman di Bali beberapa minggu yang lalu. Dia orang Bali asli.
Setelah ngobrol ngalor ngidul, akhirnya sampai juga pada topik menarik. Tentang anak perempuan dan hukum waris di Bali. "Bli, kalau di Bali perempuannya dapat berapa persen warisan?" naluri feminis saya mulai jalan. Â
Dia menjelaskan panjang lebar. Singkatnya, di Bali, hanya garis keturunan laki-laki yang berhak atas harta warisan keluarga, termasuk tanah tentunya. Seperti mayoritas daerah lain di Indonesia (dan dunia), Bali juga menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau dalam bahasa Bali disebut purusa. Sistem ini menarik garis keturunan dari pihak pater atau bapak.
Implikasinya, hanya keturunan laki-laki (kapurusa) yang berhak menerima warisan. Perempuan tidak berhak, anak kandung sekalipun. Kenapa? Karena masih lekatnya anggapan bahwa perempuan tidak mampu menjalankan swadharma (kewajiban) keluarga. Bagi mereka, perempuan dianggap akan menikah, menjadi milik orang lain, dan akhirnya meninggalkan kewajibannya kepada keluarga (ninggal kedaton).
Padahal kenyataannya tidak begitu. Perempuan sudah banyak yang bekerja dan mandiri secara ekonomi. Banyak di antara mereka yang tetap menjalankan kewajibannya sebagai anak kepada orang tua dan keluarga, walaupun sudah menikah.
Saat ini sudah ada aturan-aturan yang membuat perempuan Bali bisa bernafas lega. Misalnya saja, di tahun 2010, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali telah memutuskan untuk memberikan hak waris kepada kaum perempuan. Tapi nyatanya, menurut teman saya itu, masih ada saja keluarga yang belum menerapkan aturan itu, termasuk keluarganya.
Pertanyaannya, jika di Bali perempuan tidak berhak atas harta warisan, termasuk tanah dan sebagainya, lantas bagaimana nasib mereka? Bagaimana dengan perempuan yang ditinggal mati suaminya? Jika perempuan dalam usia produktif masih bisa bekerja, bagaimana dengan mereka yang sudah tidak produktif? Bagaimana dia akan menghidupi dirinya? Bagaimana dengan anak-anaknya? Dan seterusnya.
Bukan hanya di Bali, hukum waris di manapun tempatnya memang masih banyak yang menomorduakan perempuan. Kecuali di daerah yang menganut matrilineal, seperti Padang. Aturan tentang hukum waris yang sangat bias gender ini tentu berimplikasi terhadap fakta tentang kepemilikan tanah oleh perempuan yang sampai saat ini pun masih menunjukkan ketimpangan.
Di Indonesia, ada beberapa sumber tentang kondisi kepemilikan tanah terpilah gender. Salah satunya Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Dari survei ini kita bisa melihat, hanya 12,5% perempuan yang punya tanah atas nama pribadi. Sisanya, 26,2% punya tanah dengan status kepemilikan bersama, sedangkan 2,5% lainnya atas nama pribadi dan bersama. Mayoritas perempuan atau sebesar 56,6% tidak punya tanah.
Melihat angka itu membuat saya sedih. Bagi saya, memiliki tanah terutama di zaman sekarang sudah menjadi keharusan bagi perempuan. Nyatanya, peran perempuan dalam menjamin ketersediaan pangan jauh lebih besar daripada laki-laki.
Dari zaman baheula, perempuan selalu memegang peranan penting dalam pertanian. Di zaman pra-Islam, orang Jawa memuja Dewi Sri yang diasosiasikan sebagai simbol kehidupan, kesuburan dan kemakmuran. Di masa berburu dan mengumpulkan makanan (hunting and gathering), perempuan bertugas mengumpulkan dan menanam tanaman. Para suami bertugas berburu atau beternak. Perempuan berkuasa dan punya kontrol atas tanah yang mereka olah.
Tapi itu dulu, sebelum tanah bisa menjadi barang milik pribadi. Sekarang, memiliki tanah artinya memiliki kuasa baik dari aspek ekonomi dan sosial.
Bagi perempuan, memiliki tanah bukan hanya memberikan kepastian untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonominya secara pribadi. Ketika perempuan memiliki tanah, daya tawar (bargaining power) perempuan akan naik di mata masyarakat dan laki-laki. Mereka akan lebih dihargai. Efeknya secara psikologis, kepercayaan diri mereka akan meningkat. KDRT pun bisa semakin ditekan. Karena ketika perempuan sudah mandiri secara ekonomi, maka saat mendapat perlakuan kasar dari suami, mereka tidak akan takut untuk mengambil langkah tegas.
Lebih dari itu, perempuan akan punya kekuasaan dan kebebasan untuk membuat keputusan dan menentukan pilihan. Tidak perlu mereka bergantung pada keputusan laki-laki untuk menentukan apa yang harus ditanam, pakai pupuk apa, dan seterusnya. Singkatnya, perempuan tidak lagi menjadi, meminjam istilah Simone de Beauvoir, "the second sex".
Ketika punya tanah, perempuan akan lebih mudah mendapatkan kredit untuk beli pupuk atau barang lainnya untuk kepentingan pengembangan usahanya. Pemberdayaan ekonomi perempuan akan terwujud. Kelaparan dan kemiskinan akan bisa dilawan. Bukankah tidak akan maju suatu bangsa bila separuh penduduknya, yaitu perempuan, masih tertinggal? Dan bukankah untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), semua bangsa telah berkomitmen untuk "leave no one behind"?
Tapi, untuk bisa sampai ke tahap itu, kita tentu harus melakukan perubahan besar. PR kita masih banyak. Salah satunya tentang pembagian harta waris tadi. Harus dibuat peraturan yang tegas mengatur pembagian warisan secara adil yang didasarkan pada prinsip gender equality (kesetaraan gender). Untuk itu, perempuan harus lebih banyak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan terkait aturan-aturan tersebut. Yang tidak kalah penting, untuk mendukung proses itu, harus ada data kepemilikan tanah terpilah gender yang benar-benar akurat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H