Mohon tunggu...
Tias Tanjung Wilis
Tias Tanjung Wilis Mohon Tunggu... Administrasi - Murid kehidupan

Perempuan biasa yang suka berbagi cerita Berharap bisa membuat perubahan Menciptakan kesetaraan laki-laki dan perempuan Melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perempuan Punya Tanah, Haruskah?

12 Oktober 2017   19:31 Diperbarui: 13 Oktober 2017   08:48 2062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tapi itu dulu, sebelum tanah bisa menjadi barang milik pribadi. Sekarang, memiliki tanah artinya memiliki kuasa baik dari aspek ekonomi dan sosial.

Bagi perempuan, memiliki tanah bukan hanya memberikan kepastian untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonominya secara pribadi. Ketika perempuan memiliki tanah, daya tawar (bargaining power) perempuan akan naik di mata masyarakat dan laki-laki. Mereka akan lebih dihargai. Efeknya secara psikologis, kepercayaan diri mereka akan meningkat. KDRT pun bisa semakin ditekan. Karena ketika perempuan sudah mandiri secara ekonomi, maka saat mendapat perlakuan kasar dari suami, mereka tidak akan takut untuk mengambil langkah tegas.

Lebih dari itu, perempuan akan punya kekuasaan dan kebebasan untuk membuat keputusan dan menentukan pilihan. Tidak perlu mereka bergantung pada keputusan laki-laki untuk menentukan apa yang harus ditanam, pakai pupuk apa, dan seterusnya. Singkatnya, perempuan tidak lagi menjadi, meminjam istilah Simone de Beauvoir, "the second sex".

Ketika punya tanah, perempuan akan lebih mudah mendapatkan kredit untuk beli pupuk atau barang lainnya untuk kepentingan pengembangan usahanya. Pemberdayaan ekonomi perempuan akan terwujud. Kelaparan dan kemiskinan akan bisa dilawan. Bukankah tidak akan maju suatu bangsa bila separuh penduduknya, yaitu perempuan, masih tertinggal? Dan bukankah untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), semua bangsa telah berkomitmen untuk "leave no one behind"?

Tapi, untuk bisa sampai ke tahap itu, kita tentu harus melakukan perubahan besar. PR kita masih banyak. Salah satunya tentang pembagian harta waris tadi. Harus dibuat peraturan yang tegas mengatur pembagian warisan secara adil yang didasarkan pada prinsip gender equality (kesetaraan gender). Untuk itu, perempuan harus lebih banyak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan terkait aturan-aturan tersebut. Yang tidak kalah penting, untuk mendukung proses itu, harus ada data kepemilikan tanah terpilah gender yang benar-benar akurat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun