Mohon tunggu...
tias adhi
tias adhi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FDK UINSA Surabaya

menyukai diskusi agama, sosial, budaya dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Serangan Fajar dan Cedera Demokrasi

27 Februari 2024   05:12 Diperbarui: 27 Februari 2024   05:12 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai sudah perhelatan coblosan Pemilu 2024. Hingar bingar pesta demokrasi lima tahunan menjadi menjadi kisah indah dalam menyempurnakan makna demokrasi kita. Mulai dari pembentukan panitia pemilu, verifikasi parpol, penjaringan caleg, berlakunya masa kampanye dan seterusnya. Peristiwa-peristiwa ini yang kemudian menjadi pembelajaran bagi masyarakat akan arti berdemokrasi. Momen persiapan menuju bilik suara untuk pemilihan umum memakai asas jujur dan adil. Sebuah gegap gempita dalam atmosfer demokrasi.

Pada hari H pelaksanaan Pemilu (14/2/24), pemilihan presiden hingga legislatif adalah secercah harapan. Sebuah momentum demokratis yang diharapkan akan melahirkan calon pemimpin masa depan yang pro pada kepentingan rakyat. Sebuah harapan dari ruang demokrasi yang semakin membaik, mengingat keterlibatan konstituen dalam situasi yang terbuka.

Dalam kontestasi Pemilu, hati nurani kita diuji untuk memilih calon-calon terbaik. Begitu idealnya, bahwa pilihan terbaik lahir dari pendewasan politik bermasyarakat. Mengingat usia reformasi sudah menginjak 25 tahun, maka dapat dipastikan kesadaran melek politik masyarakat hari ini tentunya semakin cerdas ditunjang teknologi informasi. Masyarakat semakin maju pola pikirnya karena hidup dalam situasi ruang publik yang semakin meluas.

Namun sayangnya prosesi hajat politik kita hari ini, masih dikotori kisah suap politik yang terjadi sebelum pencoblosan berlangsung. Sebut saja "serangan fajar" yang konon sudah melegenda hingga dianggap tradisi. Hal ini seolah menjadi kelumrahan tersendiri, misalnya; untuk pemilihan calon anggota legislatif, adu amplop mengalahkan adu gagasan dari para caleg. Sebuah cidera sejarah , ketika praktik-praktik salah kaprah, diulang-ulang hingga pada saatnya dianggap "kebenaran".

Prosesi jual beli suara disebut sebagai politik uang (money politic), sehingga kemudian praktik demokrasi kita masih dikategorikan transaksional. Kondisi demikian yang kemudian ditengarai mencederai iklim berdemokrasi kita. Padahal jamak kita tahu tiga larangan Bawaslu, yakni: stop politik uang, kampanye hitam, dan berita hoax. Larangan hanya sekedar larangan semu. Berikut otoritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah mengkampanyekan "Hajar Serangan Fajar" dapat dipertanyakan. Sebuah kampanye yang tidak serius.   

Tulisan ini khusus membahas pengertian money politic. Mengingat money politic diartikan sangat berbeda dengan cost politic.  Money politic didefinisikan sebagai suap kepada masyarakat untuk diarahkan memilih calon tertentu sebelum pencoblosan. Sedangkan pengertian cost politic lebih kepada pembiayaan keperluan politik seorang kontestan, seperti pemenuhan keperluan alat peraga kampanye, agenda bhakti sosial, konsumsi kepanitiaan atau sekedar uang tansport untuk tim kampanye. Sehingga diantara keduanya, adalah sesuatu yang memiliki dampak berbeda. 

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah pelaku money politic dapat diberi sanksi?. Menurut pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dinyatakan bahwa "Setiap individu yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menawarkan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu, sehingga surat suaranya tidak sah, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000."

Pada pasal 523 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, bahwa "Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menawarkan atau memberikan imbalan uang atau materi lain kepada pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000". Selanjutnya dalam Pasal 523 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 "Setiap individu yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menawarkan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000."

Sekiranya produk undang-undang pemilu sudah menjelaskan, sehingga dapat menjadi landasan hukum. Hal ini dapat dikembalikan kepada Bawaslu sebagai pengawas yang memiliki wewenang dalam memastikan prosesi hajatan demokrasi kita menjadi jurdil. Mengacu pada undang-undang diatas, sekiranya sudah ada aturan main, sanksi pidana, denda uang bahkan pembatalan surat suara jika ditemukan indikasi suap oleh subjek pelaku. Kemudian yang menjadi pertanyaan penting, jika ditemukan bukti, apakah caleg pelaku suap dapat batal dilantik? mungkin hanya wewenang Bawaslu yang dapat menjawab.

Karena alasan merawat reformasi dan mengawal demokrasi, hal ini patut diwacanakan sebagai cara kita memastikan pemilu berlangsung jurdil. Peran aparatur hukum, Bawaslu, parpol, ormas, agamawan, tokoh masyarakat, akademisi dan sebagainya menjadi penting dalam rangka mengedukasi masyarakat akan bahaya suap. Tanpa usaha ini, seolah kita abai dan belum menjadikan agenda pemilu benar-benar demokratis. Tradisi serangan fajar adalah musuh dalam selimut kontra etika politik, sehingga berpotensi melahirkan masyarakat pragmatis dan memberi jalan untuk oknum korup mendapatkan kekuasaan.

Sekali lagi sangat disayangkan, ketika pesta demokrasi tahun ini sudah sangat baik persiapannya, namun pada perjalanannya meleset dari aturan undang-undang Pemilu. Masyarakat diajari untuk anti korupsi, tapi pada situasi tertentu mereka diajari tradisi suap. Tentunya ini adalah ending penuh omong kosong dan kita tidak berharap masyarakat terjebak dalam halusinasi pragmatis terus menerus seperti ini. Kita semua berharap pada pemilu-pemilu yang akan datang, sekiranya tradisi serangan fajar yang melegenda sudah bukan lagi bagian dari cara-cara hidup demokrasi kita. Masa depan di mana anak cucu kita sebagai penerus estafet kemajuan bangsa, ketika serangan fajar sudah menjadi cerita kelam masa lalu. Masyarakat berdaulat kuat demi menyongsong Indonesia Emas tanpa suap.

Tias Satrio Adhitama, M.A.

Akademisi FDK UINSA dan Pemerhati Sosial

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun