Mohon tunggu...
Tiar Garusu
Tiar Garusu Mohon Tunggu... Penulis - Pemikir

Pembina di Komunitas Literasi Candu Buku, Palu. Pengajar di Al Ikhwan Institute

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hilangnya Otoritas Ilmu di Era Post-Truth

1 Agustus 2022   15:22 Diperbarui: 1 Agustus 2022   15:40 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa diskusi era pasca kebenaran terkadang bisa pula terjebak dalam absurd. Karena mereka yang berdebat senantiasa menggunakan deretan "fakta" yang dianggap valid serta dinilai memiliki kebenaran absolut, 

jadi memang inilah era banjir informasi yang bisa dengan mudah diklaim sebagai "kebenaran" oleh mereka yang berdebat dengan mencopy berita yang melimpah, terkadang tak perduli datangnya dari mana, meski bukan dari situs atau web mainstream, terpenting sesuai dengan kepentingan orang yang berdebat untuk memperkuat argumentasinya.

Makanya tak heran jika kemudian ada buku judulnya "Matinya Kepakaran", argumen dari para ahli dan pakar sebagai orang yang memiliki otoritas ilmu tdk lagi begitu saja dipercaya oleh publik, karena publik menerima informasi lain, yang bisa jadi informasi tersebut keliru. 

Sebab publik lebih percaya terhadap informasi keliru, maka argumentasi para pakar atau ahli meski benar terkadang dianggap salah.

Dan ruang bermain atau ruang adu bagi kaum Post-Truth tersebut ialah dunia Maya. Sebab di media sosial mereka dapat melepaskan segalanya, tidak penting siapa yang ahli. Validitas dalam menilai sebuah fakta kurang berpengaruh bagi mereka dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi. 

Makanya sering kali kita dapati di dunia Maya, banyak orang-orang yang sebenarnya bukan ahli, namun karena rasa kepercayaan diri yang tinggi, mampu tampil dan bahkan sampai berani berdebat dengan para ahli ilmu.

Jadi memang era pasca kebenaran menjadi tantangan bagi semua pihak, untuk bisa membumikan tradisi deliberatif ala filsuf Teori Kritis Habermas, yakni kesiapan para peserta debat untuk mengurangi subjektifitas dengan melahirkan relasi perdebatan intersubjektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun