Sekaten merupakan upacara tradisi yang diadakan setiap tahunnya di Surakarta. Upacara Tradisi Sekaten merupakan salah satu warisan budaya non benda dari nenek moyang yang hingga saat ini masih dilestarikan dan dipertahankan (Putra, 2022). Sebagai acara rutin tahunan, Upacara Sekaten menjadi salah satu bagian dari kehidupan masyarakat Surakarta, khususnya masyarakat sekitar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sekaten mulai digelar sejak abad ke-15. Acara ini merupakan sebuah tradisi untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan juga sebagai manifestasi kedermawanan raja. Acara Sekaten memiliki hubungan yang erat dengan sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Sekaten digunakan sebagai media untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa oleh para Wali Songo.Â
Mulanya, Sekaten merupakan kelanjutan upacara tradisional yang dilaksanakan oleh raja-raja Jawa sejak zaman Majapahit, sebagai bentuk pemberian atau upacara demi keselamatan kerajaan. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi Sekaten telah berubah dan digunakan sebagai media penyebaran agama Islam yang ada di Jawa Tengah melalui media kesenian gamelan.
Menurut (Saddhono, 2018) Pagelaran Upacara Sekaten di Surakarta biasanya akan diikuti dengan kegiatan pasar malam selama satu bulan lamanya. Tanda bahwa Sekaten akan segera dimulai ialah dengan membunyikan gamelan yang akan diarak ke Masjid Agung Surakarta. Pagelaran sekaten akan berlangsung pada tanggal 5 hingga 12 Rabiul Awal. Tanggal 5 sebagai hari pertama perayaan Sekaten, akan dikeluarkan dua buah gamelan yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Demak dari dalam Keraton, yang mana selama tanggal 5-12 Rabiul Awal, gamelan akan dibunyikan secara terus menerus.Â
Salah satu hal yang menarik untuk dibahas adalah gamelan ini bukanlah sembarang gamelan. Dua buah gamelan tersebut memiliki nama yakni Kyai Guntur Madu yang berada di Bangsal Pradangga sebelah selatan yang melambangkan syahadat tauhid dan Gamelan lainnya bernama Kyai Guntur Sari yang berada di Bangsal Pradangga sebelah utara dan melambangkan syahadat Rosul. Jika gamelan sudah dibunyikan, maka upacara Sekaten resmi dimulai.
Terdapat mitos menarik dalam upacara Sekaten ini. Saat gamelan sekaten mulai dibunyikan, hal tersebut merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat, sehingga masyarakat berdatangan menuju Masjid Agung untuk mendengarkan gamelan dipukul untuk pertama kalinya, menurut kepercayaan masyarakat Jawa, orang yang memakan sirih tepat ada saat gamelan sekaten bunyi untuk pertama kalinya, maka dirinya akan awet muda. Sehingga ketika upacara sekaten akan dimulai, banyak sekali terlihat orang yang berjualan sirih di lingkungan keraton. Menarik sekali, bukan?
Selanjutnya pada tanggal 10 Rabiul Awal, terdapat Upacara Tumplak Wajik. Upacara Tumplak Wajik ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan kentongan. Hal ini dijadikan sebagai tanda bahwa gunungan mulai dibuat. Lalu pada tanggal 12 Rabiul Awal, agenda selanjutnya dalam Upacara Sekaten ialah ditandai dengan keluarnya gunungan. Gunungan sendiri berasal dari kata gunung, yang mana terdiri dari berbagai jenis makanan dan sayuran yang disusun meninggi menyerupai gunung.
Agenda acara dikeluarkannya gunungan dinamakan Grebeg Maulud. Menurut (Sudirman, 2014) Istilah Grebeg berasal dari kata "gumbrebeg" yang artinya riuh, ribut, dan ramai, sedangkan kata Maulud diambil dari kata "Maulid" yang mana Grebeg Maulud ini diadakan sebagai upacara memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Gunungan yang dikeluarkan dari Keraton diarak menuju Masjid Agung. Berbagai jenis makanan yang disiapkan di gunungan memiliki nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi para masyarakat pendukungnya. Gunungan pun terdiri dari Gunungan Kakung (laki-laki) yang dan Gunungan Putri (perempuan). Adapun isi dari Gunungan Kakung adalah:
- Bendera merah putih yang ditempatkan di ujung gunungan, bendera merah putih sebagai lambing bahwa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ini merupakan bagian dari Republik Indonesia.
- Cakra, sebagai puncak dan pangkat berdirinya gunungan, memiliki makna sebagai kekuatan dahsyat dalam menegakkan keutamaan.
- Wapen, sebagai lambang. Wapen memiliki makna petunjuk bagi keselamtan dan kekuasaan dari Raja Surakarta yang bertahta.
- Kampuh, kain berwarna merah putih yang menutui jodhang (tempat makanan) yang memiliki makna kesusilaan
- Entho-entho, yaitu makanan berbentuk bulat telur yang terbuat dari tepung beras ketan yang dikeringkan hingga keras, lalu digoreng. Hal ini dimaknai sebagai keteguhan hati menghadapi kerasnya dunia
- Telur asin atau endhog amal, melambangkan amal.
- Bermacam-macam nasi sebagai lambing kemakmuran dari sebuah kerajaan.
- Bahan-bahan perlengkapan gunungan lainnya seperti tebu, cabe, daun pisang, terong, wortel, timun, kacang panjang, daging yang semuanya merupakan hasil bumi yang dapat dinikmati manusia.
Gunungan Kakung akan diarak terlebih dahulu, lalu Gunungan Putri akan mengikuti dibelakangnya, dan diikuti oleh Gunungan Anakan sebagai pelengkap. Gunungan Putri merupakan simbol bahwa istri bertugas sebagai pengasuh utama dari anak dan bertanggungjawab menjaga keselamatan rumah  tangga. Adapun bahan yang digunakan dalam Gunungan Putri ialah:
- Bendera merah putih yang ditempatkan di ujung gunungan, bendera merah putih sebagai lambing bahwa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ini merupakan bagian dari Republik Indonesia
- Eter yang terbuat dari seng berbentung jantung manusia atau jantung pisang yang bermakna sebagai api yang menyala tanda semangat hidup.
- Kampuh penutup jodang dari kain mori, yang bermakna sebagai pakaian jasmani dan rohani manusia.
- Bunga sebagai pengharum, bermakna mendekatkan yang cocok dan menjauhkan yang tidak cocok
- Rengginang
- Uang logam
- Jajanan yang terdiri dari jadah, wajik, dan jenang, sebagai karya wanita dalam dapur atau rumah tangga
- Pisang dan hasil bumi lainnya
Pada pelaksanaan Gunungan Grebeg Maulud dalam bentuk sederhananya dilakukan di dalam Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Namun dalam skala besar, maka gunungan dibawa ke Masjid Agung dengan raja memerintahkan penghulu Keraton untuk memberi doa bersama. Iring-iringan dalam upacara ini mengelilingi wilayah keraton yakni, awalnya iring-iringan itu melewati Sitihinggil, lalu ke Sasana Pagelaran, Alun-alun Utara, dan akhirnya menuju Masjid Agung. Setelah upacara selesai, maka Gunungan dibagikan kepada seluruh hadirin termasuk Raja. Setelah upacara di dalam keraton selesai, barulah gunungan tersebut dibawa keluar dari Masjid Agung untuk dibagikan kepada rakyat.
REFERENSI