Sementara sophia memberikan pemahaman teoritis, phronesis adalah tentang penerapan pengetahuan tersebut dalam tindakan konkret. Seorang pemimpin yang memiliki phronesis mampu menganalisis situasi, mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan, dan mengambil keputusan yang tepat pada waktu yang tepat. Phronesis melibatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah dan membuat keputusan yang seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif. Phronesis juga mencakup kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Seorang pemimpin yang bijaksana tidak hanya mengandalkan pengetahuan yang dimiliki, tetapi juga terbuka untuk belajar dari kesalahan dan keberhasilan. Proses ini melibatkan refleksi kritis dan evaluasi diri, yang memungkinkan pemimpin untuk terus berkembang dan meningkatkan kemampuan kepemimpinan mereka.Dengan mengintegrasikan pengalaman masa lalu ke dalam pengambilan keputusan saat ini, pemimpin dapat menghindari kesalahan yang sama dan memanfaatkan peluang yang ada.
4.Elemen-Elemen Practical Wisdom dalam Kepemimpinan
Aristotle mengidentifikasi beberapa elemen kunci yang membentuk practical wisdom dalam kepemimpinan:
- Pengetahuan Tujuan dan Visi: Pemimpin yang bijaksana harus memiliki pemahaman yang jelas tentang tujuan dan visi organisasi. Mereka harus mampu mengkomunikasikan visi tersebut kepada anggota tim dan menginspirasi mereka untuk bekerja menuju tujuan yang sama.
- Kemampuan untuk Mengejar Kebenaran: Seorang pemimpin yang memiliki practical wisdom tidak hanya mencari keuntungan jangka pendek, tetapi juga berusaha untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Mereka harus mampu membedakan antara apa yang benar dan salah, serta berkomitmen untuk mengambil keputusan yang adil.
- Pemahaman Situasi: Practical wisdom mencakup kemampuan untuk memahami konteks dan situasi yang dihadapi. Seorang pemimpin harus mampu menganalisis situasi dengan baik dan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari keputusan yang diambil.
- Pengalaman dan Pembelajaran: Practical wisdom juga diperoleh melalui pengalaman. Pemimpin yang bijaksana belajar dari berbagai pengalaman, baik yang sukses maupun yang gagal. Mereka menggunakan pengalaman tersebut untuk meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan mereka di masa depan.
- Kemampuan untuk Mengambil Keputusan yang Tepat: Phronesis melibatkan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada waktu yang tepat. Seorang pemimpin harus mampu mengevaluasi berbagai alternatif dan memilih tindakan yang paling sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang diinginkan.
5. Sinergi antara Sophia dan Phronesis dalam Kepemimpinan
Kepemimpinan yang efektif memerlukan sinergi antara sophia dan phronesis. Pemimpin yang hanya memiliki sophia tanpa phronesis mungkin akan terjebak dalam teori tanpa mampu menerapkannya dalam praktik. Sebaliknya, pemimpin yang memiliki phronesis tanpa sophia mungkin akan mengambil keputusan yang tidak etis atau tidak berkelanjutan, karena kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai yang lebih tinggi. Dengan mengintegrasikan kedua bentuk kebijaksanaan ini, pemimpin dapat menciptakan pendekatan yang holistik dan seimbang dalam pengambilan keputusan. Mereka akan mampu menavigasi kompleksitas situasi dengan bijaksana, mempertimbangkan baik aspek teoritis maupun praktis, dan mengambil tindakan yang berorientasi pada kebaikan bersama.
Kepemimpinan sebagai "Practical Wisdom" dalam konteks Aristotelian menekankan pentingnya menggabungkan sophia dan phronesis. Sophia memberikan landasan teoritis yang kuat, sementara phronesis memungkinkan pemimpin untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam tindakan yang konkret dan efektif. Dengan mengembangkan kedua aspek kebijaksanaan ini, pemimpin tidak hanya akan mampu membuat keputusan yang tepat, tetapi juga membangun kepercayaan, integritas, dan keberlanjutan dalam organisasi dan masyarakat.
Cara Pemimpin Mengembangkan Practical Wisdom dalam Kepemimpinan
Â
   Kepemimpinan yang efektif dan berkelanjutan tidak hanya bergantung pada pengetahuan dan keterampilan teknis yang dimiliki oleh seorang pemimpin, tetapi juga pada kemampuan untuk menerapkan kebijaksanaan praktis dalam situasi yang kompleks. Dalam konteks pemikiran Aristotelian, practical wisdom, atau kebijaksanaan praktis, merupakan elemen kunci yang membedakan pemimpin yang baik dari yang biasa-biasa saja. Practical wisdom mencakup kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat berdasarkan pemahaman yang mendalam tentang situasi, nilai-nilai moral, dan dampak jangka panjang dari tindakan tersebut. Dalam hal ini, terdapat lima cara utama yang dapat diambil oleh pemimpin untuk mengembangkan practical wisdom dalam kepemimpinan mereka. Mari kita bahas masing-masing cara ini secara lebih mendalam.
1. Mengetahui Tujuan dengan Baik
Salah satu langkah fundamental dalam mengembangkan practical wisdom adalah memiliki pemahaman yang jelas tentang tujuan dan visi organisasi. Seorang pemimpin harus mampu merumuskan visi yang inspiratif dan tujuan yang konkret, serta mengkomunikasikannya dengan efektif kepada seluruh anggota tim. Pemimpin yang mengetahui tujuan dengan baik akan dapat memberikan arah yang jelas dan memotivasi anggota tim untuk bekerja menuju pencapaian tujuan bersama. Memahami tujuan tidak hanya mencakup aspek jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil. Dalam konteks ini, pemimpin harus mampu menganalisis dan mengevaluasi bagaimana setiap langkah yang diambil berkontribusi terhadap pencapaian tujuan besar. Proses ini melibatkan refleksi mendalam dan evaluasi yang berkelanjutan terhadap tujuan yang ditetapkan serta keselarasan antara tujuan tersebut dengan nilai-nilai organisasi. Sebagai contoh, seorang pemimpin yang memahami tujuan organisasi dengan baik akan mampu mengidentifikasi prioritas yang tepat dalam pengambilan keputusan. Mereka dapat menimbang antara berbagai pilihan dan mempertimbangkan mana yang paling sesuai dengan visi jangka panjang organisasi. Dengan demikian, pemimpin dapat menghindari keputusan yang hanya menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi merugikan dalam jangka panjang. Hal ini juga menciptakan rasa kepemilikan di antara anggota tim, karena mereka merasa terlibat dalam proses pencapaian tujuan yang lebih besar.