Mohon tunggu...
Fiksiana

Menyayangi Ayah Melalui Novel, Ayahku Bukan Pembohong

20 Februari 2018   15:19 Diperbarui: 22 Februari 2018   08:42 2658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

      Tidak hanya latar tempat yang membangun jalannnya cerita, tetapi juga latar waktu yang penulis gambar dengan jelas. Hal ini menbuat pembaca dapat lebih mudah untuk membayangkan keadaan yang ingin disampaikan oleh penulis, Tere Liye. Ada tiga latar waktu yang dominan yaitu di pagi, malam dan sore hari. Hal ini dapat dilihat dari cuplikan berikut.

  • "Sore ini kolam renang kota kami ramai." (hal 43)

  • "Pagi ini setelah mendengar penyelidikan amatiran Taani, masalah ini tidak akan selesai dengan perkelahian." (hal 69)

  • "Malam ini juga kami melakukan operasi atas komplikasinya." (hal 233)

     Novel Ayahku Bukan Pembohong menggambarkan tren (latar social) masa kini; dimana hubungan seorang ayah dan anak laki-laki biasanya kaku di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari cuplikan berikut.

  • "Kau tahu, sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak pernah mau lagi dipeluk ayah mereka sendiri setelah tumbuh dewasa. Padahal sebaliknya, Sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk anak laki-lakinya." (hal 257)

     Dalam pengemasan novel Ayahku Bukan Pembohong ini menggunakan sudut pandang orang pertama, pelaku utama. Hal ini dapat kita ketahui dari cuplikan berikut.

  • "Aku semakin tersengal memperhatikan dari ujung ruangan.'' (hal 8)

  • "Aku mendongak sejenak. Ada Sembilan formsi layang-layang besar di atas sana."(hal 297)

     Seperti yang tertera pada paragraph pertama, novel ini kaya akan makna-makna kehidupan. Penjelasannya disampaikan dengan gaya penulisan yang indah (majas). Hal ini dapat kita lihat dari cuplikan berikut.

  • "Sejak aku tahu ibu sakit-sakitan, paham bahwa Ibu punya kelainan bawaan yang membuat ia seperti rumus matematika, sehat tiga-empat bulan, jatuh sakit satu-dua minggu. Sakit kali ini tidak biasa. Sudah sebulan, ini berarti rekor sakit terlama" (hal. 175)

  • "Sayangnya aku harus menumpang kereta api yang bergerak seperti siput, delapan jam." (hal 230)

  • "Wajah mahasiswa jurusanku tertekuk seperti gambar arsitek." (hal 245)

  • "Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata." (hal. 293)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun