Bagi para pengelola arsip, khususnya yang bertugas di instansi pemerintah, Perguruan Tinggi Negeri, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), istilah Jadwal Retensi Arsip (JRA) mungkin sudah tidak asing lagi.Â
Meski JRA juga dapat menjadi acuan ketika suatu arsip diciptakan (misalnya: jika suatu arsip memiliki nilai guna permanen, maka menggunakan media/kertas yang minim/bebas keasaman), tetapi tak ditampikan jika JRA kerap menjadi "idola" ketika kegiatan penyusutan arsip dilakukan.Â
Baik penyusutan dalam hal kegiatan pemindahan arsip dari unit kerja (arsip aktif) ke unit kearsipan (menjadi arsip inaktif), pemusnahan arsip di unit kearsipan, ataupun penyerahan arsip yang memiliki nilai guna sejarah (statis) ke lembaga kearsipan.
Merujuk pada Pasal 1 angka 22 Undang-Undang (UU) Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, JRA merupakan daftar yang berisi sekurang-kurangnya jangka waktu penyimpanan atau retensi, jenis arsip, dan keterangan yang berisi rekomendasi tentang penetapan suatu jenis arsip dimusnahkan, dinilai kembali, atau dipermanenkan yang dipergunakan sebagai pedoman penyusutan dan penyelamatan arsip.Â
JRA juga menjadi salah satu instrumen yang harus dimiliki pencipta arsip untuk mendukung terciptanya pengelolaan arsip dinamis yang efektif dan efisien.
Pentingnya JRA dalam pengelolaan arsip dinamis juga dapat memiliki keeratan dalam hal pengelolaan Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Oleh karena tidak dapat dipungkiri sumber informasi publik yang autentik dan akuntabel, khususnya yang berkaitan dengan kinerja organisasi, Â bersumber/terekam dalam suatu arsip.Â
Lalu, sejauhmana sih relasi JRA dalam pengelolaan KIP ini? Sebelum, mengulas beberapa hal keterkaitan JRA dalam pengelolaan KIP, kembali kita ingat bahwa terdapat beberapa pasal baik itu di UU No 14 Tahun 2008 tentang KIP ataupun salah satu peraturan turunannya, yakni Peraturan Komisi Informasi (KI) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP) yang berkenaan langsung dengan kearsipan.
Pertama, Pasal 8 UU No 14 Tahun 2008 tentang KIP yang menyebutkan bahwa Kewajiban Badan Publik yang berkaitan dengan kearsipan dan pendokumentasian informasi publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua, Pasal 7 ayat (4) Peraturan KI No 1 Tahun 2010 tentang SLIP yang menjelaskan penyimpanan informasi publik dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kearsipan.
Jika melihat hal di atas, JRA juga menjadi instrumen penting yang dapat membantu implementasi KIP, agar pendokumentasian informasi publik sejalan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang kearsipan.Â
Lalu, dalam hal apa saja kah Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) ataupun pejabat fungsional pembantu PPID akan "bersentuhan langsung" dengan JRA?
Ada beberapa hal menurut penulis mengenai keterkaitan JRA dalam pengelolaan KIP. Selanjutnya, penulis akan sedikit mengulas dalam tulisan ini. Akan tetapi ini tidak baku, bisa jadi masih ada konteks lain yang juga belum tersebutkan di sini. Pertama, ketika menyusun Daftar Informasi Publik (DIP).
Apa sih DIP? DIP adalah catatan yang berisi keterangan secara sistematis tentang seluruh informasi publik yang berada di bawah penguasaan Badan Publik, tidak termasuk informasi yang dikecualikan (1).Â
DIP ini ditetapkan oleh PPID Badan Publik, di mana pembuatan dan pemutakhirannya dilakukan secara berkala. Dalam pembuatan dan pemutakhiran DIP, PPID tentunya dibantu pejabat fungsional pembantu PPID dan berkoordinasi dengan unit kerja, untuk mendata informasi publik apa saja yang dikuasai oleh tiap unit kerja. Adapun DIP ini termasuk pada kategori informasi yang wajib tersedia setiap saat.
Dalam menyusun atau memutakhirkan DIP, ada beberapa hal yang harus disertakan, yaitu (2):
1. nomor
2. ringkasan isi informasi
3. pejabat atau unit/satuan kerja yang menguasai informasi
4. penanggungjawab pembuatan atau penerbitan informasi
5. waktu dan tempat pembuatan informasi
6. bentuk informasi yang tersedia
7. jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip.
Poin nomor 7 secara jelas menunjukkan bahwa ketika PPID dibantu pejabat fungsional pembantu PPID menyusun atau memutakhirkan DIP, maka JRA turut menjadi instrumen penting untuk menjawab, berapa lama jangka penyimpanan arsip yang merekam suatu informasi publik.Â
Hal ini pun kemudian diperjelas dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf a angka 7 Peraturan KI No 1 Tahun 2010 tentang SLIP, bahwa yang dimaksud dengan jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip adalah jangka waktu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang kearsipan.
Saat mengisi kolom retensi arsip dalam DIP tersebut, petugas tentu harus mengacu kepada JRA yang telah disahkan oleh pimpinan tertinggi pencipta arsip/Badan Publik.Â
Pertanyaannya, bagaimana jika suatu Badan Publik belum memiliki JRA? Maka Badan Publik tersebut akan kesulitan menentukan berapa lama jangka waktu penyimpanan arsip yang merekam suatu informasi publik.Â
Oleh karenanya penting tiap Badan Publik memiliki JRA yang sudah disetujui Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan disahkan pimpinan tertinggi Badan Publik.
Selanjutnya, secara teknis dalam pemutakhiran atau penyusunan DIP pada kolom retensi arsip tersebut, pejabat fungsional PPID dapat melihat suatu informasi publik termasuk pada berkas arsip apa, selanjutnya mengakumulasikan retensi arsip aktif dan inaktif-nya.Â
Misalnya: informasi publik tentang suatu siaran pers di instansi pemerintah A memiliki retensi arsip aktif 2 tahun dan retensi arsip inaktif 3 tahun. Maka yang dicantumkan pada kolom retensi arsip (di DIP) informasi publik tentang siaran pers adalah 5 tahun.Â
Jangka waktu 5 tahun tersebut menjadi jangka waktu minimal setidaknya informasi publik tentang siaran pers suatu kegiatan disimpan oleh Badan Publik. Selanjutnya, bisa saja arsip tersebut akan dinilai kembali untuk ditambah waktu simpannya, atau bernilai musnah/permanen.
Kedua, JRA membantu menunjukkan keberadaan informasi di setiap Badan Publik. Apakah suatu informasi publik masih di unit kerja/unit pengolah (karena informasi yang terekam dalam arsip masih bersifat arsip aktif), sudah di unit kearsipan (arsip inaktif), sudah dimusnahkan atau sudah diserahkan kepada lembaga kearsipan.Â
Idealnya, jangka waktu penyimpanan arsip aktif dapat menjadi salah satu indikasi bahwa suatu informasi publik yang terekam dalam arsip tersebut masih berada di unit kerja.Â
Demikian pula hanya dengan jangka waktu penyimpanan arsip inaktif, dapat menjadi salah satu indikasi bahwa suatu informasi publik yang terekam dalam arsip tersebut sudah dipindahkan oleh unit kerja kepada unit kearsipan.Â
Tetapi, harus menjadi perhatian, bahwa meskipun sudah bersifat inaktif dan berada di unit kearsipan, ketika akan menggunakan arsip inaktif tersebut, PPID terlebih dahulu harus berkoordinasi dengan unit kerja pencipta arsip, sebagai unit yang bertanggungjawab atas penguasaan dan penciptaan informasi yang terekam dalam arsip tersebut.
Selain membantu menjadi "penunjuk arah" apakah arsip masih bersatus aktif ataupun inaktif, JRA juga membantu menentukan apakah suatu informasi publik yang terekam dalam arsip sudah dimusnahkan atau permanen (diserahkan kepada lembaga kearsipan).
 Meski demikian, ada hal terpenting yang harus diingat, bahwa jika suatu arsip yang merekam suatu informasi publik tertentu ternyata diindikasikan sudah musnah atau permanen (diserahkan kepada lembaga kearsipan), maka Berita Acara Pemusnahan/Penyerahan Arsip mutlak harus ada.Â
Sudah barang tentu pula pemusnahan dan penyerahan arsip statis harus memenuhi kriteria, penilaian dan rekomendasi sesuai peraturan perundangan bidang kearsipan.
Sebagai suatu contoh, terdapat suatu Badan Publik instansi pemerintah pusat C yang diminta  informasi tentang ABCD beberapa tahun yang lalu oleh seoarng pemohon informasi.Â
Selama tenggat waktu pelayanan, PPID dan pejabat fungsional pembantu PPID berkoordinasi dengan unit kerja dan unit kearsipan, di mana hasil koordinasi tersebut dihasilkan bahwa informasi yang diminta terekam dalam suatu arsip yang telah dimusnahkan.Â
Ini menjadikan informasi yang diminta seorang pemohon kepada instansi C tidak dapat dipenuhi, karena informasi yang diminta sudah tidak dalam penguasaan instansi C.Â
Selanjutnya, PPID instansi C dapat menyusun jawaban tertulis atas hal tersebut yang di dalamnya dapat menyebutkan informasi tersebut sudah tidak dalam penguasaan Badan Publik karena terekam dalam arsip XXX yang sudah dimusnahkan pada tangal,bulan, tahun ......... sesuai dengan Berita Acara Pemusnahan Arsip Nomor: ........
Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa JRA memiliki banyak peran dalam pengelolaan KIP. Ini dapat menjadi salah satu indikasi bahwa pengelolaan arsip yang efektif dan efisien dapat berkontribusi dalam pengelolaan dan penyediaan informasi publik yang autentik dan dapat dipertanggungjawabkan.Â
Bahkan, selain JRA juga masih banyak instrumen kearsipan lainnya yang memiliki keeratan dengan pengelolaan KIP. Semoga melalui tulisan ini, para pengelola arsip di instansi pusat maupun daerah, Perguruan Tinggi Negeri, BUMN dan BUMD semakin tergerak bahwa mereka memiliki andil besar dalam pengelolaan KIP.
(1) Pasal 1 angka 7 Peraturan KI No 1 Tahun 2010 tentang SLIP
(2) Pasal 13 ayat (1) huruf a Peraturan KI No 1 Tahun 2010 tentang SLIP
Sumber:
UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP
Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang SLIP
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI