Dari Dara Petak itulah lahir Jayanegara yang ditetapkan sebagai penerus Raden Wijaya sebagai raja di Majapahit. Sementara itu, bersama Raden Wijaya, Gayatri memiliki dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat. Sedangkan tiga kakak perempuan Gayatri yang lain tidak dikaruniai anak.
Setelah Jayanegara naik tahta menggantikan Raden Wijaya, dapat dilihat betapa buruknya moral dari Jayanegara. Ia digambarkan sebagai sosok raja yang lemah dan jahat. Hal tersebut menyebabkan munculnya banyak pemberontakan di tanah Majapahit. Setelah menjabat sebagai raja selama kurang lebih 19 tahun. Jayanegara meninggal lantaran dibunuh oleh Ra Tanca, tabib istana yang saat itu menaruh dendam kepada Jayanegara karena ia telah melecehkan istrinya.
Ada beberapa versi yang menjelaskan kematian Jayanegara. Salah satunya yaitu versi yang dikemukakan oleh N.J. Krom yang menyatakan dalam tradisi Bali menyebut justru Gajah Mada yang menjadi otak dari kematian Jayanegara. Dimana Ra Tanca yang saat itu memiliki dendam kepada Jayanegara dijadikan alat untuk membunuh Jayanegara tanpa menyentuhnya dengan tangan sendiri. Menurut Slamet Muljana, Gajah Mada tidak menyukai watak dari Jayanegara sehingga memperalat Ra Tanca untuk membunuhnya. Hal tersebut diperkuat setelah Gajah Mada langsung membunuh Ra Tanca tanpa proses pengadilan.Â
Jika benar demikian, mungkinkah seorang Gajah Mada yang kedudukannya pada saat itu masih sebagai seorang patih dapat merencanakan pemberontakan hingga menewaskan raja seorang diri? Mengapa orang-orang dikerajaan termasuk Gayatri tidak mempermasalahkan Gajah Mada yang langsung membunuh Ra Tanca tanpa diadili? Padahal pengadilan di Majapahit ketika itu bisa dibilang sangat ketat.
Disinilah suatu konspirasi tentang persekongkolan antara Gayatri dan Gajah Mada untuk membunuh Jayanegara muncul. Gayatri adalah sosok yang cermat. Ia dapat melihat kecerdasan dan minat yang besar untuk mempelajari sistem pemeritahan pada diri Gajah Mada. Gayatri menilai bahwa Gajah Mada adalah sosok yang sangat dibutuhkan untuk memajukan Kerajaan Majapahit dan meneruskan cita-citanya dan suaminya dahulu.Â
Akhirnya Gayatri pun ingin mengenal lebih dekat sosok Gajah Mada dan berusaha menjadi sosok guru bagi Gajah Mada dengan mengajarinya tentang pemerintahan dalam kerajaan. Gayatri sangat menyayangkan sosok Gajah Mada yang memiliki intelektual harus mengabdi pada seorang raja yang lemah, semena-mena, dan berwatak buruk seperti Jayanegara. Gayatri mengkhawatirkan nasib Majapahit apabila terus berada di bawah kepemimpinan Jayanegara.Â
Bukan hanya tidak dapat meneruskan visi dan cita-cita dari pendahulunya dulu, namun juga dapat membawa Majapahit pada kemunduran. Gayatri tentu saja tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Akhirnya untuk mengatasi itu, terjalinlah kerja sama antara Gayatri dan Gajah Mada untuk melengserkan Jayanegara demi masa depan Majapahit dan menyelamatkan dua putrinya dari niatan buruk Jayanegara yang ingin menikahi dua saudarinya sendiri.
Jayanegara meninggal tanpa memiliki seorang penerus. Sehingga tangku kekuasaan Majapahit berikutnya dimiliki oleh Gayatri. Namun, Gayatri yang saat itu sudah berusia senja dan memilih untuk menjadi sosok Biksuni dan memilih meninggalkan hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian. Ia menyerahkan tahta yang seharusnya menjadi miliknya kepada putri sulungnya, yakni Dyah Gitarja yang nantinya bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi.Â
Selain karena alasan tersebut, keputusan Gayatri untuk membawa Dyah Gitarja naik tahta dikarenakan guna mencapai suatu stabilitas politik di Majapahit. Dimana sebelumnya sudah diketahui bahwa kerajaan Singasari dipimpin oleh dua wangsa, yakni Wangsa Rajasa yang merupakan keturunan Ken Arok dan Wangsa Sinelir yang merupakan keturunan Tunggul Ametung. Â
Dalam darah Dyah Gitarja sendiri mengalir darah Wangsa Rajasa dari ayahnya, Raden Wijaya, dan darah Wangsa Sinelir dari ibunya, Gayatri Rajapatni. Dengan diserahkannya tahta Gayatri kepada putrinya diharapkan tercipta stabilitas politik dan menghindari perang saudara.
Gayatri mengambil peran di balik layar dengan terus memantau dan membimbing putrinya dalam menjalankan pemerintahan sebagai ratu di Majapahit. Gayatri juga turut mengajarkan visi-visi ayahnya dahulu, yakni Raja Kertanegara, terkait mimpinya untuk dapat menyatukan berbagai wilayah di Nusantara.Â