Mohon tunggu...
Tiara Afifah
Tiara Afifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa Program Studi Sosiologi di Universitas NegeriJakarta yang menyukai isu-isu sosial di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Program Sosial terhadap Kekerasan Pemuda guna Membangun Kembali Generasi Muda Bangsa

26 Maret 2023   05:00 Diperbarui: 26 Maret 2023   05:06 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, kasus-kasus kekerasan dikalangan pemuda tengah merajalela. Setiap harinya, akan ada kasus baru mengenai kekerasan pemuda, mulai dari kasus perkelahian, tawuran, bullying, pembunuhan, hingga kekerasan seksual. Beberapa contoh kasusnya adalah kasus tawuran antarpelajar di Depok yang menewaskan satu korban, perundungan terhadap siswi di SMAN 1 Ciwidey, kekerasan seksual oleh tujuh remaja di Probolinggo, pelaku klitih di Yogyakarta, dan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak seorang pejabat Direktur Jendral Kementerian Keuangan yang akhir-akhir ini menarik perhatian warga net.

Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi kasus ini. Umumnya, pelaku yang terlibat dalam kekerasan pemuda berada pada usia remaja dalam masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Secara psikologis, masa tersebut adalah masa-masa krusial bagi remaja karena mereka memiliki emosi yang tidak stabil, belum bisa menentukan benar dan salah, sehingga hal ini membuat remaja mudah untuk dipengaruhi. Lingkungan pertemanan yang baik akan berpengaruh baik pula pada kepribadian seorang remaja, begitupun sebaliknya.

Selain itu, keluarga merupakan faktor utama dari pembentukan sikap dan perilaku anak. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi., seorang psikolog, menjelaskan, perilaku orang tua terhadap anak memberikan kontribusi yang besar terhadap kompetensi sosial, emosi, dan kemampuan kecerdasan atau intelektual anak. Oleh karena itu, sering kali, kasus-kasus kekerasan pemuda ini ikut melibatkan orang tuanya karena merekalah cerminan dari sikap dan perilaku seorang anak. Terdapat empat macam pola asuh orang tua terhadap anak yang setiap polanya dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi. Pola tersebut terdiri dari uninvolved (kurang terlibat), indulgent (permisif), authoritative (demokratis), dan authoritarian (otoriter). Jika keempat pola asuh tersebut tidak diterapkan dengan baik, maka akan berdampak pada hubungan orang tua dan anak. Anak yang tidak dilibatkan, diabaikan, ataupun terlalu dikontrol oleh orang tua, tanpa disadari, dapat menstimulus anak untuk melakukan hal-hal negatif selama di luar rumah.

Faktor lain yang tak kalah penting dari keluarga ialah pendidikan atau instansi sekolah./kampus. Anak usia remaja menghabiskan waktu selama 6-8 jam perhari di sekolah. Dapat dikatakan, sekolah merupakan rumah kedua bagi anak untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Lingkungan sekolah, cara pengajaran guru atau dosen, interaksi dengan teman sebaya serta pengajar turut mempengaruhi kepribadian seorang anak. Akhir-akhir ini juga ditemukan kasus guru melakukan kekerasan terhadap peserta didik, seperti kasus seorang guru di SMPN 1 Sawit menampar siswanya yang tidak sengaja menumpahkan es di meja. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan juga dilakukan dan dicontohkan oleh guru kepada siswanya. Segala bentuk pendidikan di sekolah, baik secara verbal maupun nonverbal, akan turut membentuk kepribadian peserta didik. 

Perkembangan media sosial dinilai turut berperan dalam persebaran kasus kekerasan pada remaja. Era media sosial ini membuat seluruh manusia dari semua kalangan dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi, yang positif juga negatif. Kebebasan tersebut kemudian memuat remaja terpapar dengan berbagai konten, baik positif dan negatif yang semestinya tidak diterimanya. Konten-konten negatif pun dapat menjadi acuan, rujukan, serta contoh bagi para audiens untuk melakukan hal yang sama, termasuk konten-konten kekerasan.

Tetapi, media sosial juga berperan positif dalam menyebarkan tindak kekerasan pemuda atau remaja. Cepatnya persebaran berita di media sosial membuat suatu kasus kekerasan dapat dengan cepat menarik perhatian publik, atau biasa disebut viral. Dengan begitu, para korban tindak kekerasan mendapat dukungan dari publik. Dukungan tersebut biasanya dengan mendesak pemerintah atau aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus terkait. Kasus-kasus kekerasan yang viral cenderung lebih cepat diusut hingga dituntaskan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah, termasuk instansi di dalamnya, takut akan kritikan dari publik jikalau mereka tidak merespons desakan publik tersebut. “No Viral, No Justice” adalah tagline yang tepat untuk menggambarkan kesigapan aparat penegak hukum di Indonesia saat ini.

Faktor terakhir adalah faktor budaya terkait dengan adat-istiadat. Beberapai tradisi yang mengandung unsur kekerasan seperti tradisi Ngayu di Kalimantan, Carok di Madura, dan ritual Suku Naulu di Maluku. Sebenarnya, persoalan budaya ini tidak menjadi masalah jika dilakukan dengan baik sesuai dengan etika budaya. Namun, sering kali terjadi kesalahan pemahaman dalam menafsirkan tradisi atau ritual suatu budaya. Contohnya pada kasus budaya Klitih di Yogyakarta yang saat ini berkonotasi negatif, yaitu tindakan kekerasan di jalanan oleh pemuda. Padahal, awalnya, klitih adalah istilah untuk mengartikan kegiatan di luar rumah, bermain atau jalan-jalan, pada malam hari. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dapat memengaruhi tindak kekerasan di kalangan pemuda.

Tanpa disadari, banyaknya kasus kekerasan dikalangan pemuda ini menjadi alat ukur bahwa kekerasan pemuda telah menjadi permasalahan sosial di Indonesia. Jika dilihat menurut realitas objektif, masyarakat telah benar-benar menyadari keberadaan dari kasus kekerasan ini tanpa harus mengalaminya. Sudah terdapat konsensus di masyarakat bahwa kekerasan dikalangan pemuda atau remaja dapat mengganggu keamanan masyarakat serta berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan dari generasi muda bangsa. Hal ini juga merujuk pada teori Sociological Imagination milik Charles Wright Mills, permasalahan kekerasan pemuda yang berawal dari personal trouble telah berkembang menjadi public issue yang mengancam tatanan nilai dan norma di Indonesia. Fenomena ini dapat mengancam nilai dan norma kesusilaan, hukum dan agama, serta struktur sosial di masyarakat.

Sebagai suatu masalah sosial, perlu dilakukan berbagai penanganan terhadap masalah kekerasan di kalangan pemuda ini. Untuk itu, diperlukan perencanaan sosial yang berperan dalam mengentaskan kekerasan di kalangan pemuda. Realisasi dari perencanaan sosial adalah kebijakan sosial. Kebijakan sosial pun terdiri dari tiga macam, yaitu kebijakan sosial dalam bentuk perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan bagi rakyat. Kebijakan dalam bentuk perundang-undangan telah ditetapkan bertahun-tahun lalu, seperti dalam Pasal 351 KUHP, Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bagi anak atau remaja pelaku kekerasan, dan undang-undang lainnya.

Selain peraturan undang-undang, kebijakan publik juga mencakup program pelayanan sosial. Program pelayanan sosial merupakan bantuan langsung dari pemerintah kepada masyarakat sebagai respons atas permasalahan sosial yang sedang terjadi. Program sosial yang dilakukan harus berorientasi pada rakyat, atau dalam konteks ini adalah pemuda-pemudi pelaku kekerasan, sebagai objek dari program tersebut.

Umumnya, pemuda pelaku tindak kekerasan merupakan orang-orang dengan kemampuan berkelahi yang cukup baik. Oleh karena itu, pemerintah dapat menyiasati itu dengan mengadakan perlombaan-perlombaan di bidang bela diri sehingga para pemuda dapat menyalurkan kemampuan mereka dalam berkelahi. Perlombaan yang diselenggarakan tidak perlu berstandar nasional ataupun internasional, cukup dengan memberlakukan ketentuan yang sesuai dengan perlombaan profesional.

Tak hanya praktik berkelahi, pemerintah juga perlu melakukan program pembinaan secara berkala dengan memberikan pemahaman, pengetahuan, serta kesadaran bahwa tindakan kekerasan yang pernah dilakukan telah mengganggu tatanan nilai dan norma di masyarakat. Perkelahian di luar dari lomba profesional merupakan perkelahian yang sia-sia tanpa hasil menang atau kalah. Pihak-pihak yang terlibat hanya akan mendapat hasil negatif, seperti luka-luka, kekecewaan dari orang tua, ataupun sanksi dari pihak sekolah atau instansi terkait.

Selain itu, pembinaan juga perlu dilakukan secara psikologis, moralitas, spiritual, dan kerohanian. Hal tersebut dilakukan karena pemuda pelaku kekerasan biasanya memiliki emosi yang tidak stabil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Dengan adanya pembinaan secara psikologis, maka para pelaku akan mendapatkan penanganan terkait dengan kondisi mental dirinya. Moralitas berguna untuk menghargai dan menghormati sesama manusia. Spiritual berguna untuk untuk mencapai keseimbangan dalam hidup.  Sedangkan, kerohanian diperlukan untuk membangun hubungan manusia dengan penciptanya. Dengan begitu, dapat dibangun kembali generasi muda bangsa dengan keseimbangan jasmani dan rohani.

Kemudian, Persoalan penafsiran budaya juga perlu ditangani. Oleh karena itu, pemerintah perlu menafsirkan setiap budaya dengan sebaik-baiknya dan menyosialisasikannya pada masyarakat. Pembentukan kembali makna yang bergeser atau hilang sebagai upaya memperbaiki pemahaman setiap penganut budaya. Pergesekan nilai antara budaya dan pembangunan memang memerlukan waktu yang cukup lama agar mencapai satu titik temu. Sebagai solusi, pemerintah dapat melakukan pembinaan dengan menyesuaikan nilai dan norma secara umum dengan nilai yang dianut oleh suatu budaya.

Tak hanya pemerintah, suatu perencanaan sosial juga perlu melibatkan seluruh pihak yang berperan dan memiliki kepentingan (stakeholder). Dalam permasalahan ini adalah keluarga dan institusi pendidikan. Keluarga, khususnya orang tua, perlu menerapkan pola asuh terbiak yang sesuai dengan situasi dan kondisi kepada anak. Pola asuh setiap akan pun berbeda dan disesuaikan dengan karakteristik anak. Selanjutnya, instansi pendidikan juga perlu bersikap tegas terhadap segala tindak kekerasan dalam lingkungan akademik, mulai dari peserta didik, tenaga pengajar, hingga staf pekerjanya. Pembinaan terhadap kekerasan pun tidak hanya ditujukan pada peserta didik, tetapi juga seluruh civitas akademik. Semua ini dilakukan demi tercapainya cita-cita bangsa dalam membentuk generasi muda yang berkualitas, baik secara kemampuan, pengetahuan, kejiwaan, serta hubungannya dengan lingkungan sekitar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun