Mohon tunggu...
Tiara Fitriyanti Kusuma
Tiara Fitriyanti Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Book

Analisis Postkolonial Novel 'Keluarga Gerilya' Karya Pramoedya Ananta Toer

20 Juli 2024   08:33 Diperbarui: 20 Juli 2024   08:44 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://rinatrilestari.wordpress.com/

"Keluarga Gerilya" karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1950. Novel ini menggambarkan perjuangan dan penderitaan sebuah keluarga Indonesia selama masa Revolusi Nasional Indonesia.

Novel "Keluarga Gerilya" ditulis saat Pramoedya berada di penjara Bukit Duri pada tahun 1949. Konflik batin para tokohnya, terutama yang dialami oleh Saaman digambarkan dengan baik oleh Pram. Cerita yang digambarkan dalam tiga hari tiga malam ini membuat novel ini begitu padat dalam setiap fragmennya.

Melalui kisah keluarga Saaman, Pramoedya tidak hanya menceritakan penderitaan dan pengorbanan yang dialami rakyat Indonesia, tetapi juga mengeksplorasi berbagai aspek dari kolonialisme dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia. Analisis postkolonial terhadap novel ini dapat mengungkap bagaimana Pramoedya menggambarkan hubungan kekuasaan, identitas nasional, dan perjuangan melawan penindasan kolonial.

Edward Said dalam teori "postkolonial" menekankan bagaimana wacana kolonial membentuk identitas dan persepsi masyarakat terjajah. Said berargumen bahwa kolonialisme tidak hanya menguasai tanah tetapi juga pikiran dan budaya masyarakat. Dalam konteks ini, novel Keluarga Gerilya karya Pramoedya Ananta Toer dapat dianalisis melalui lensa postkolonial untuk memahami bagaimana kolonialisme dan perubahan sosial-politik mempengaruhi identitas dan kepercayaan individu.

Lebih dalam, sudut pandang budaya, politik, dan penulis menjadi acuan untuk melihat bagaimana cerita ini dibawakan. Sudut pandang budaya membantu kita memahami benturan tradisi dan modernitas, sudut pandang politik menyoroti pengaruh kekuasaan asing, dan sudut pandang penulis memberi kita wawasan tentang kompleksitas identitas dan keyakinan. Penasaran bagaimana novel ini kita analisis? Yuk baca tulisan di bawah ini!

Sudut Pandang Budaya

Identitas budaya dalam "Keluarga Gerilya" sangat erat kaitannya dengan resistensi terhadap penjajahan. Keluarga Saaman, sebagai simbol masyarakat Indonesia, menunjukkan bagaimana tradisi dan nilai-nilai budaya digunakan sebagai alat perlawanan terhadap dominasi kolonial. Upacara adat, bahasa, dan praktik-praktik budaya lainnya menjadi cara untuk mempertahankan identitas nasional di tengah upaya penjajah untuk menghapus atau mengasimilasikan budaya lokal.

Dalam konteks postkolonial, resistensi budaya ini merupakan bentuk dekolonisasi mental, di mana masyarakat berusaha untuk mempertahankan dan memperkuat identitas mereka sendiri sebagai lawan dari identitas yang dipaksakan oleh penjajah. Pramoedya menunjukkan bahwa meskipun penjajah memiliki kekuasaan militer dan politik, mereka tidak dapat sepenuhnya menghapus identitas budaya yang kuat dan berakar dalam masyarakat.

Kolonialisme sering kali menciptakan situasi hibriditas budaya, di mana elemen-elemen budaya penjajah dan terjajah bercampur dan menciptakan identitas baru yang kompleks. Dalam "Keluarga Gerilya", kita dapat melihat bagaimana pengaruh barat dan modernisasi mulai meresap ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sering kali menciptakan konflik antara nilai-nilai tradisional dan modern.

Contohnya, perbedaan pandangan antara generasi tua yang lebih konservatif dan generasi muda yang lebih terbuka terhadap ide-ide baru menunjukkan dinamika hibriditas ini. Konflik budaya ini bukan hanya tentang penolakan terhadap yang baru, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat dapat menemukan cara untuk beradaptasi dan mengintegrasikan elemen-elemen baru tanpa kehilangan identitas mereka

Sudut Pandang Politik

Dalam "Keluarga Gerilya", perlawanan terhadap kolonialisme menjadi tema sentral. Keluarga Saaman terlibat langsung dalam perjuangan gerilya melawan penjajah Belanda. Perlawanan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencakup resistensi politik dan ideologis. Pramoedya menggambarkan bagaimana rakyat Indonesia, dari berbagai lapisan masyarakat, bersatu untuk melawan penindasan dan merebut kembali kemerdekaan mereka.

Dalam konteks postkolonial, perlawanan ini bisa dilihat sebagai bentuk dekolonisasi, di mana masyarakat terjajah berusaha untuk membebaskan diri dari dominasi kolonial dan membangun identitas serta sistem politik mereka sendiri. Pramoedya menunjukkan bahwa perjuangan ini bukan hanya melibatkan kekuatan militer, tetapi juga semangat dan keberanian rakyat yang terus menerus menolak hegemoni kolonial. Proses dekolonisasi dalam "Keluarga Gerilya" tidak hanya melibatkan pengusiran penjajah, tetapi juga pembentukan identitas nasional yang kuat. Keluarga Saaman, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, mengalami transformasi identitas dari warga negara jajahan menjadi pejuang kemerdekaan.

Melalui sudut pandang politik dalam konteks analisis postkolonial, "Keluarga Gerilya" karya Pramoedya Ananta Toer memberikan wawasan yang mendalam tentang perjuangan melawan kolonialisme, proses dekolonisasi, dan dinamika kekuasaan dalam masyarakat terjajah. Pramoedya menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan sebagai upaya untuk mengklaim kembali identitas dan kedaulatan mereka, sekaligus mengkritisi hegemoni kolonial dan tantangan yang dihadapi dalam membangun negara pasca-kolonial. Novel ini mengajarkan bahwa perjuangan untuk kebebasan dan keadilan adalah proses yang berkelanjutan, yang membutuhkan keberanian, solidaritas, dan kesadaran politik yang kuat.

Sudut Pandang Pengarang

Sebagai seorang penulis yang mengalami langsung masa penjajahan, Pramoedya memiliki perspektif yang kritis terhadap hegemoni kolonial. Dalam "Keluarga Gerilya," dia menggambarkan penjajah Belanda sebagai kekuatan yang opresif dan eksploitatif. Penggambaran ini tidak hanya berfungsi sebagai latar belakang cerita tetapi juga sebagai kritik terhadap praktik-praktik kolonial yang merampas hak dan kebebasan rakyat Indonesia.

Dari sudut pandang pengarang, Pramoedya menggunakan narasi untuk menentang narasi kolonial yang sering kali memposisikan penjajah sebagai pembawa peradaban. Sebaliknya, dia menyoroti kekejaman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penjajah, mengajak pembaca untuk melihat kenyataan dari sudut pandang yang terjajah. Pramoedya juga mengkritik struktur kekuasaan kolonial yang eksploitatif dan tidak adil. Dia menggambarkan bagaimana kekuasaan kolonial menciptakan hierarki sosial yang menindas dan mengeksploitasi rakyat Indonesia. Kritik ini bukan hanya ditujukan pada penjajah, tetapi juga pada elit lokal yang berkolaborasi dengan kekuasaan kolonial.

Sudut pandang pengarang dalam "Keluarga Gerilya" karya Pramoedya Ananta Toer, dalam konteks analisis postkolonial, menyoroti penolakan terhadap hegemoni kolonial, penguatan identitas nasional, kritik terhadap struktur kekuasaan, representasi subaltern, dan penggunaan pengalaman pribadi untuk memberikan otentisitas pada narasi. Pramoedya menggunakan novel ini untuk menggambarkan realitas kolonial dan perjuangan kemerdekaan dengan cara yang mengajak pembaca untuk merenungkan ketidakadilan dan pentingnya perjuangan untuk keadilan dan kebebasan. Novel ini tidak hanya berfungsi sebagai karya sastra tetapi juga sebagai alat untuk dekolonisasi mental dan penguatan kesadaran nasional.

Konklusi

Dengan menggunakan teori postkolonial Edward Said, analisis novel "Keluarga Gerilya" karya Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan dengan mendalam perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, menggunakan narasi yang memperlihatkan dimensi sosial, budaya, dan politik dari era tersebut. Analisis novel ini melalui lensa teori postkolonial Edward Said, terutama konsep orientalisme dan representasi, menawarkan wawasan yang mendalam tentang bagaimana kolonialisme mempengaruhi dan dibentuk oleh narasi yang ada.

Edward Said dalam teori orientalisme-nya menguraikan bagaimana Barat sering kali memandang Timur sebagai eksotis, terbelakang, dan inferior, menciptakan representasi yang menjustifikasi dominasi kolonial. Dalam "Keluarga Gerilya," Pramoedya menolak representasi kolonial yang merendahkan Bangsa Indonesia. Melalui kisah keluarga Saaman, Pramoedya menyajikan gambaran yang lebih kompleks dan manusiawi tentang rakyat terjajah. Keluarga Saaman dan komunitas sekitarnya digambarkan sebagai entitas yang penuh keberanian, solidaritas, dan kekuatan, melawan narasi kolonial yang sering kali mengabaikan atau meremehkan nilai-nilai dan martabat mereka.

.

.

.

Daftar Pustaka

  • Said, Edward W. (2010). Orientalisme. Diterjemahkan oleh Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Pramoedya Ananta Toer. (1955). Keluarga Gerilya. Penerbit Pembangunan Djakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun