Mohon tunggu...
tiara agustina
tiara agustina Mohon Tunggu... Lainnya - istri dari ayah erik, ibu dari anak saga

ibu rumah tangga, baru satu anak, sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dadah, Regenerasi Tak Mengenal Jenis Profesi

11 Desember 2020   10:48 Diperbarui: 11 Desember 2020   10:54 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pijat bayi atau istilah jawanya dadah sudah dilakukan sejak dari dulu, termasuk orang tua saya. Saya pun juga melakukan hal yang sama untuk anak saya, sampai saat ini. Langganan ndadahke anak di keluarga saya adalah Mbah Dirjo, rumah beliau ada di desa Gedongan, Kotagede. Di usianya yang sudah lanjut, 84 Tahun, beliau masih terlihat segar, bregas, dan tetap sehat. 

Setiap seminggu sekali, saya selalu membawa anak saya ke sana. Mungkin karena sudah terbiasa, satu hari sebelum jadwal dadah, saga (nama anak saya) badannya agak panas. "Iki tandane anakmu wes njaluk dadah ya"begitu kata ibuku. Setiap kali ke sana, rumah Mbah Dirjo selalu ramai dengan bayi-bayi  yang mau didadah. Selain anak-anak, Mbah Dirjo juga melayani pijat orang dewasa dengan berbagai keluhan. Ada yang pijat capek, ada yang pijat khusus pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak, ada yang karena sakit misalnya ambeien, usus buntu.

Hari Minggu adalah jadwal saga dadah. Saga sangat menikmati proses dadah. Pertama bayi ditengkurapkan, lalu diolesi semacam body lotion yang wanginya khas, lalu dipijat bagian kepala, punggung, kaki oleh Mbah Dirjo. Kedua posisi bayi ditengadahkan, dipijat bagian wajah, perut dan kaki. 

Setelah itu, Mbah Dirjo menyentuhkan semacam batu ke perut anak saya. Kemudian meletakkan pecut dan mengucapkan doa, intinya agar anak selalu sehat dan berkembang dengan baik, tak lupa memberi kembang mawar. Aroma wangi khas dadah ala Mbah Dirjo begitu menenangkan di indra penciuman saya. 

Setiap kali ke sana, Mbah Dirjo selalu menyuruh untuk mengisi buku tamu, dan saya tak pernah melakukannya, karena sudah langganan. Momen ndadahke saga sebagai ajang bagi saya ngangsu kawruh (menimba ilmu) kepada Mbah Dirjo. Mbah Dirjo sudah melakoni profesi dadah ini selama 50 tahun. 

Dulu ketika masih muda, beliau berjalan dari satu desa ke desa yang lain untuk memenuhi panggilan yang mau melahirkan dan pijat. Beliau memiliki 11 anak, dan semuanya sudah berumah tangga. Dipercaya atau tidak, dari hasil jerih payahnya, Mbah Dirjo mampu membelikan anak-anaknya rumah dan motor. Benar-benar fantastik bukan. Mungkin itu yang namanya mberkahi. Mbah Dirjo tak pernah mematok tarif, sesuai dengan keinginan pribadi saja. 

Setelah selesai pijat, selalu dibawakan satu tas berisi aneka kerupuk. Kalau dipikir secara matematis, apa Mbah Dirjo untung? Memang bukan itu tujuan Mbah Dirjo, tujuan utama adalah menolong. Menolong anak-anak kami untuk tetap sehat, menolong pasangan suami istri yang mungkin mencari alternatif untuk memiliki momongan, menolong orang-orang yang sakit. Bukankah benar kata pepatah semakin banyak menolong orang, membuat orang bahagia, maka memperpanjang usia dan menambah kesejahteraan kita. "Kalau kamu ingin bahagia, maka bahagiakan dulu orang lain". Ah, Mbah Dirjo, ada saja hal bisa saya petik setiap kali berkunjung ke sana.

Selang satu bulan setelah melahirkan saga, saya pijat juga ke sana. Kata Mbah Dirjo setelah seorang ibu itu melahirkan, harus didadah sebanyak 4 kali , yaitu seminggu setelah melahirkan, dan diikuti minggu-minggu berikutnya. Saya, terhitung telat, tapi tidak apa-apa, yang penting akhirnya pijat. 

Pijat dilakukan di area perut untuk pijat pertama sampai ketiga, yang terakhir baru pijat seluruh badan. Ada kata-kata Mbah Dirjo yang begitu mengusik pikiran saya. "Orang-orang zaman dahulu itu awet muda berusia panjang karena selalu memperhatikan kesehatan diri. 

Makan yang dikonsumsi sehat karena tidak neko-nek0, hasil kebun sendiri, rajin pijat, wedhakan, dan menuruti apa kata orang tua jaman dulu, misalnya bagi perempuan yang baru melahirkan tidak boleh keluar rumah, harus duduk selonjor selama 40 hari (kapan - kapan saya akan bahas di judul tersendiri). Ribet iya, tapi hasil memang tak mengecewakan. Mbah Dirjo adalah contoh dari puluhan simbah-simbah yang masih bugar dan aktif dalam bekerja karena menjalankan hidup sesuai petuah leluhur.

Namun, ada yang menggelitik pikiran saya selain dari wejangan - wejangan dari Mbah Dirjo. Siapa penerus beliau? Anak - anaknya tidak ada yang mewarisi keahlian dadah. Profesi pijat bayi memang banyak, tapi yang seperti Mbah Dirjo. Mbah Karso, dan mbah - mbah yang lain ada tidak? Anak saya, berangkat agak panas setelah didadah Mbah Dirjo langsung dingin. 

Enggak tahu apa karena sugesti atau karena tangannya Mbah Dirjo memang "hidup". secara spiritual, melakoni tirakat, dekat dengan alam dan Pencipta, suka ziarah, mungkin itu yang membuat nilai plus dadah Mbah Dirjo dibandingkan dengan pijat modern yang sekarang ini kian menjamur. Nyatanya banyak masyarakat yang lebih memilih dadah di tempat Mbah Dirjo daripada di pijat baby dan spa. Murah dan berkah. Semoga di lain tempat, alam mengirimkan utusan yang seperti Mbah Dirjo. Mbah Dirjo adalah pahlawan bagi saya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun