Bumi ini, sejatinya milik Tuhan yang wajib dipelihara, bukan disiksa. Walau memberi peluang bagi manusia memakai apa saja yang diperlukan dari alam, Tuhan tidak bermaksud untuk membiarkan setiap manusia bertindak sesuka gue.
Dalam ranah ekologi, bertobat berarti semakin peka mendengarkan tangisan dan gejala bumi serta nasib orang-orang yang terpinggirkan. Ini adalah pembaruan utama yang urgen untuk dikerjakan. Cecilia Dall'Oglio, Direksi Asosiasi Gerakan Laudato Si' Eropa pun memberikan pandangan yang serupa dalam situs yang sama, "Sudah saatnya, setiap orang menanamkan misi berdialog, melindungi yang lain, dan melakukan pembaruan di bumi".
Apa yang dititipkan Tuhan pada manusia sekarang ini telah menjerit. Luka yang makin parah: lapisan ozon menipis, iklim yang tidak menentu, keanekaragaman hayati terancam, air bersih makin langka, hutan makin botak, kebencian antarmanusia, pandemi Covid-19, dan sebagainya harus segera diobati.
Ini saatnya, bahwa kita harus membarui rumah bersama dan persaudaraan kosmik dengan alam. Di tengah kemelut pandemi, kita masih dapat berbuat ganda, sekaligus memulihkan keadaan bumi dan sekaligus memutuskan rantai penyebaran pandemi Covid-19.
Edukasi ekologis perlu ditingkatkan. Usaha ini juga termasuk pembaruan taktis untuk membarui mindset manusia kontemporer yang serakah. Paradigma bahwa bumi adalah warisan untuk dijajah harus dipangkas, karena merupakan kesesatan yang hakiki. Kita harus mewariskan kepada generasi mendatang paham yang lurus dan benar.
Mereka harus dididik sejak dini untuk peka dan peduli pada lingkungan. Bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga, sebagaimana kita menjaga rumah yang sedang kita huni.
Generasi mendatang harus dapat menyaksikan secara langsung kemegahan Sang Pencipta dalam ciptaan-Nya, bukan lewat legenda atau dongeng atau rekaman sejarah belaka.
Pembaruan terhadap sosialitas dengan kelompok minor, miskin, dan lemah harus diasah lewat aksi-aksi humanis. Agar, nilai-nilai kemanusiaan "tertanam sejak akarnya (in radice)". Jika oikos ini dibiarkan menderita dan sakit hingga mati, kita pun akan mati.
Inilah usaha bersama saling membahu untuk membarui oikos Tuhan dan kita. Kualitas saling membahu tampak jelas dari kontinuitas, keseriusan, kekokohan pewarisan edukasi ekologis kepada generasi berikutnya, dan hasil yang optimal.
Dengan mencermati dan meneliti kerusakan bumi, kita tidak semata-mata mau memenuhi kepuasan intelektual. Tetapi, kita menempatkan rasa sakit yang sedang terjadi di bumi pada diri kita masing-masing. Dengan cara ini, kita dapat menemukan sumbangsih ekologis yang dapat diberikan kepada bumi. Ini adalah PR bersama yang harus segera diselesaikan secara intensif.