Selamat Hari Raya Paskah!
Pace e Bene! Salam damai dan kebaikan!
Setelah menjalani kisah sengsara, wafat, penyaliban, dan penguburan, Yesus akhirnya bangkit! Yesus adalah 100% Putera Allah! Ia telah menang atas kuasa maut! Sang Putera Tunggal Allah telah bangkit dan kini kita bersorak: Alleluia! Alleluia! Alleluia! Kristus, Pemenang jaya sudah bangkit!
Dalam situasi pandemi ini, perayaan Trihari Paska dibuat sesederhana mungkin, namun tanpa kehilangan makna. Semua umat Kristen dituntun mengenang the events of Christ, yakni sengsara, wafat, dan bangkit. Pada Kamis Suci (Putih), seluruh umat dengan khidmat turut mengenang The Last Supper Yesus dan para murid. Dalam perayaan tersebut, dikenangkan pula penetapan Sakramen Ekaristi, hukum cinta kasih, dan imamat para murid.
Pada Jumat Suci (Agung), seluruh umat turut mengenang derita/sengsara Sang Penebus; mulai dari penangkapan di Getsemani, jalan salib menuju Golgota, dan akhirnya kematian-Nya di kayu salib. Pada hari ini, semua umat diminta turut ambil bagian dalam penderitaan Yesus lewat doa, puasa dan pantang total, dan keheningan batin (silentium magnum bagi para biarawan-ti dan kelompok imam).Â
Walau ada nuansa sedih atas kematian-Nya, umat juga turut bersuka cita, sebab Yesus telah mengorbankan diri-Nya menjadi silih atas dosa dan pendamai manusia dengan Allah. Semua tugas-Nya dilakukan oleh Yesus sampai tuntas, hingga Ia berkata di salib, "Sudah selesai..."
Pada Sabtu Suci, seluruh umat mempersiapkan diri dan batin menyongsong hari kebangkitan Yesus. Vigili malam paska menuntun semua umat turut mengenangkan kemenangan Yesus Kristus atas maut. Bacaan-bacaan liturgi disiapkan sedemikian rupa, mulai dari kisah penciptaan (dalam Kitab Kejadian) manusia hingga pada kebangkitan Yesus yang disaksikan oleh Maria Magdalena dan para murid.Â
Awalnya, mereka ragu menyaksikan kubur kosong sebagai satu tanda Yesus telah bangkit. Akan tetapi, Allah tidak tinggal diam. Dengan perantaan malaikat-Nya, Allah menyatakan bahwa: "Yesus yang kalian cari telah bangkit dan tidak ada di sini (kubur)!"
---
Dalam kisah penciptaan, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Manusia juga mendapatkan rahmat special, yakni akal budi, perasaan, dan kehendak luhur. Kepada manusia diberikan alam semesta yang telah lebih dahulu diciptakan Allah, agar menjadi rumah yang lengkap bagi manusia. Keadaan masih baik-baik saja. Ada kontinuitas, sebab semua masih damai, rukun, dan tertib.Â
Akan tetapi, rupanya manusia belum puas. Godaan iblis (ular) lebih kuat. Godaan itu menjamin manusia bisa sama seperti Allah. Maka, larangan Allah agar tidak makan buah pengetahuan yang baik dan buruk dilanggar. Akhirnya, retaklah relasi manusia dengan Allah. Keindahan Firdaus tidak lagi dinikmati. Putuslah. Terjadi diskontinuitas.Â
Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden (Firdaus). Dengan jerih payah mereka harus bertahan hidup. Mereka memenuhi bumi dengan keturunan dari keturunan pertama hingga seterusnya. Dalam proses ini pula terjadi kontinuitas dosa umat manusia, dari satu keturunan hingga keturunan berikutnya.Â
Para nabi diutus Allah agar manusia disadarkan karena telah jauh dari-Nya. Perbuatan jahat, perang, benci, keangkuhan, kesombongan telah tumbuh subur di hati dan pikiran manusia. Berlangsung demikian, dengan cukup lama. Dan pada akhirnya manusia menciptakan 'tuhan' sendiri yakni berhala-berhala yang kemudian disembah. Allah murka melihat ini. Pencipta dikesampingkan oleh ciptaan dan ciptaan menciptakan pencipta yang baru. Terjadi kontinuitas relasi yang tidak baik antara manusia dengan Allah.
---
Nabi tidak cukup. Maka, Allah mengutus Putera-Nya, Yesus Kristus. Lewat inkarnasi (in + caro: menjadi daging, manusia), Yesus menjadi 100% manusia dan melalui fase manusia biasa; lahir, bertumbuh dan berkembang, diberi pengajaran, dan akhirnya wafat. Yesus Kristus ingin memulihkan diskontinuitas relasi manusia dengan Allah.
Rasul Paulus sendiri berkata bahwa Yesus Kristus ingin agar 'manusia lama' (tabiat jelek dan penuh dosa) disingkirkan. Lahirlah manusia baru dengan pola pikir baru, iman baru, semangat baru, dan solidaritas baru. Kegelapan hati mendapat terang dari Kristus yang adalah Cahaya bagi dunia. Yesus membawa kontinuitas baru.Â
Lewat pembaptisan dan pembaruan janji baptis, Allah menyucikan kembali diri manusia (luar dan dalam) yang telah tercemari oleh dosa. Pembaptisan menjadi pintu gerbang keselamatan jiwa. Pembaruan janji baptis menjadi momentum mengenang kebaikan-Nya sembari menyesali segala kelalaian yang terjadi serta meningkatkan komitmen menjadi manusia baru. Dan ini mesti berlanjut, tidak hanya pada masa Paska.
Lebih lagi, tubuh dan darah Yesus Kristus menjadi pemberi daya bagi roh manusia agar tetap kuat bertekun dalam perubahan dan pembaruan. Roh harus kuat menahan godaan-godaan kenikmatan duniawi yang semu dan hampa. Seperti kata Paulus bahwa roh memang kuat, tapi daging itu lemah.Â
Orang yang setia dan kuat akan berhasil menjalani kontinuitas kebaruan dirinya. Sementara orang yang tidak kuat, akan memilih sisi diskontinuitas  dengan Tuhan dan berpaling pada kontinuitas dengan hal-hal yang kurang baik. Karena bagaimana pun juga, Allah memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk pilih percaya atau tidak; beriman atau tidak; berbuat baik atau tidak; setia ataua tidak; dan bertobat atau tidak.
---
Dalam paskah 2021 ini, kiranya setiap umat Kristen dan Katolik semakin memilih jalan yang kontinu kepada pembaruan dan kebangkitan. Baru dalam perbuatan dan pikiran; baru dalam solidaritas dan empati; dan baru dalam perkataan.Â
Kita berharap agar kebangkitan pada hal baru dan baik, tidak hanya menjadi perayaan bagi orang Kristen dan Katolik. Orang non-kristiani juga perlu mengalami kebangkitan dan rasa percaya diri. Bangkit menjadi manusia solider, tidak hidup dan nyaman dalam kegelapan. Tetapi, berani menyerukan atau menyuarakan apa yang benar dan baik serta menolak apa yang keliru dan sesat.Â
Semangat seperti ini sungguh lahir dari teladan Yesus semasa hidup-Nya. Hukum cinta kasih yang diutarakan-Nya menjadi hukum terutama. Cinta kepada Allah perlu ditunjukkan lewat cinta kepada sesama.
Itulah kontinuitas dan diskontinuitas kehidupan. Berlanjut pada yang baik, tidak berlanjut pada apa yang sebaliknya. Hingga pada akhirnya, kita berani berkata, "Kedalam tangan-Mu, kuserahkan diriku, Tuhan. Semua sudah selesai kulakukan!"
Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H