Mohon tunggu...
JPIC Kapusin Medan
JPIC Kapusin Medan Mohon Tunggu... Lainnya - Capuchin Brother

Fransiskan Kapusin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harapan Orangtua kepada "Boru Panggoaran"

2 April 2021   22:06 Diperbarui: 3 April 2021   04:37 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak perempuan yang punya segudang impian menuju kesuksesan dan ini didukung oleh orang tua. Gambar diunduh dari lifestyle.kompas.com

Bagi Tuhan, laki-laki dan perempuan itu sama dan sederajat. Sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya(Kejadian 1:26-27). Sama-sama diberikan hak istimewa untuk mengaktualisasikan kapasitas, ide, perasaan, dan kehendak demi kebaikan bersama terlebih demi memuliakan Sang Pencipta yang sama.

Akan tetapi, cukup lama paham bahwa laki-laki dan perempuan sama dan sederajat tenggelam atau bahkan dibantah. Laki-laki menjadi dominan dan punya derajat tinggi. Sementara, perempuan dipandang sebagai pihak nomor sekian dan lebih rendah daripada kaum adam. Maka, konsekuensi logisnya, laki-laki menjadi nomor satu dan selalu didahulukan. Sementara kaum hawa harus 'sadar diri dahulu'.

Paham dan prinsip seperti ini sungguh amat kental dihidupi oleh mereka yang menganut aliran patrilineal, dimana laki-laki dipandang sebagai pihak penting (terutama dalam menentukan garis keturunan). Laki-laki juga yang berhak mendapatkan harta warisan dari orang tua. Laki-laki jugalah yang mengatur segala hal ikhwal baik dalam rumah tangga, sosial, atau pun adat-istiadat. Kaum perempuan? Nanti dulu!

Untungnya, aufklarung (pencerahan) pun terjadi. Perlahan, pola pikir sempit bahwa laki-laki adalah segalanya berubah. Semakin disadari bahwa, perempuan punya harkat martabat yang setara dengan kaum adam. Perempuan juga bisa! Maka, muncullah gerakan emansipasi wanita yang menyuarakan bahwa kaum perempuan "Bisa menjadi ini, bisa menjadi itu, bisa buat ini dan bisa buat itu".

***

Di dalam budaya Batak (Toba) pun pembaruan tersebut sungguh (sudah) terasa. Emansipasi wanita menjadi gerbang tol bagi kaum hawa untuk mendapat perhatian dan dipertimbangkan dalam kelompok sosial orang Toba. 

Perempuan yang dulunya hanya bekerja di dapur, kini sudah bisa bekerja di tempat bergengsi  (kursi pemerintahan, ketua organisasi, dan sebagainya). Perempuan yang dulunya tidak dapat mengecap pendidikan, kini sudah bisa sekolah sejauh-jauhnya dan setinggi-tingginya (boarding school, dosen, guru, manager, dan sebagainya). Perempuan yang dulunya tidak bisa dapat warisan, kini sudah punya bagian tersendiri dari orang tua.

Perempuan yang dulunya tidak boleh menjadi panggoaran (yang memberikan nama/gelar bagi orang tua, misalnya Ama ni ...., Ina ni .... (Bapaknya si ...., Ibunya si ....) atau Ompung ni si .... (kalau dari cucu); dan mengangkat nama baik orang tua), kini telah diterima secara umum untuk menjadi boru panggoaran (puteri sulung yang memberikan gelar bagi orang tuanya).

***

Terkait dengan keterangan di atas, ada satu lagu Toba yang bisa dijadikan referensi. Judulnya Boru Panggoaran. Lagu ini diciptakan oleh Tagor Tampubolon dan dipopularkan oleh Viktor Hutabarat yang dirilis pada 2016 yang lalu. Juga, sudah cukup banyak penyanyi profesional Batak yang meng-cover lagu ini agar lebih menarik dan syahdu. Silakan search di youtube.

Kira-kira, lirik asli dan terjemahan lagunya demikian:

Ho do borukku, tampuk ni ate-ateki (Kaulah anak perempuanku, sandaran hatiku)
Ho do borukku, tampuk ni pusuk-pusuki (Kaulah anak perempuanku, puncak harapanku)
Burju-burju ma ho, namarsikkola i (Baik-baiklah kau sekolah)
Asa dapot ho, na sininta ni rohami (Agar kau dapat/raih, apa yang kauinginkan)
Molo matua sogot ahu, ho do manarihon ahu (Kalau kelak aku sudah tua, engkaulah yang memperhatikan aku)
Molo matinggang ahu inang, ho do na manogu-nogu ahu (Kalau aku terjatuh, engkaulah yang menuntun aku)
Reffrain
Ai ho do borukku, boru panggoaranki (Kaulah anak perempuanku, yang akan memberikan nama bagiku)
Sai sahatma da na di rohami (Semoga tercapai apa yang ada di hatimu)

***

Tertuang dalam lagu yang sungguh indah di atas (apalagi kalau didengar langsung), betapa orang tua bangga punya seorang puteri sulung. Apalagi, boru yang dibanggakan adalah boru ni raja (puteri raja, seturut adat orang Toba). Boru ni raja itu punya pola pikir yang visioner, dapat diandalkan, dan bisa menjadi teladan bagi adik-adiknya, termasuk iboto-nya sendiri (iboto: saudara laki-laki).

Boru ni raja itu juga seorang pekerja keras, mandiri, dihormati, dan disegani di sosialitas. Maka, tak heran kalau ia begitu disayangi dan disanjung oleh orang tuanya. 

Untuk itu, agar semakin maju dan tangguh, orang tua menyekolahkan puterinya. Dengan harapan, bahwa si puteri burju marsikkola, baik/tekun dalam belajar di sekolah. Agar, si puteri menjadi anak yang cerdas dan punya prestasi yang membanggakan orang tuanya; punya pekerjaan yang bisa menjamin masa depannya. Sebab, kepadanya sudah dipercayakan nama baik orang tua.

Namun, orang tua berharap agar sang puteri tidak sampai melupakan segala usaha dan cinta yang telah diterima dari kedua orang tuanya. Kepada anak perempuan sulung mereka, orang tua menitipkan pesan supaya mereka jangan sampai ditelantarkan. Malahan, mereka tetap dicintai dan dihormati hingga masa tua mereka.

***

Dari lagu di atas, tersirat inspirasi menarik yang sesungguhnya sudah lama dimengerti orang Batak (Toba). Di masa modern ini, anak lelaki dan perempuan sama. Mereka adalah anugerah dan rahmat dari Tuhan yang harus disyukuri, dijaga, dibesarkan, dan diberikan haknya. Laki-laki dan perempuan harus sama-sama mendapat porsi cinta yang sama.

Maka, sebisa mungkin orang tua akan menyekolahkan anaknya; laki-laki dan perempuan sampai setinggi-tingginya (satimbo-timbona). Semangat ini menjadi pegangan serius, khususnya bagi puteri untuk mempertanggungjawabkan cinta orang tuanya agar tidak sia-sia.

Dan, hasilnya bisa dinikmati. Banyak perempuan Batak yang sudah menjadi orang penting, pemimpin, pemuka masyarakat dan agama, orang yang disegani. Ini semua adalah hasil kerja keras. Mereka mengingat harapan atau nasihat orang tua yang telah mengusahakan segala sesuatunya agar mereka sukses. Mereka ingat itu dan sungguh tekun mengusahakan yang terbaik.

Karena, bagaimana pun bagi orang tua: anahon ki do hamoraon di ahu (anakku adalah hartaku). Maka, para perempuan Batak, semangatlah dan jangan sia-siakan harapan orang tuamu. Buktikkan bahwa kalian (Anda) bisa!

Ai ho do boru panggoaranki!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun