Mencintai dan dicintai, sejatinya menjadi hak (+kewajiban) bagi setiap orang. Apalagi, bagi mereka sepasang kekasih yang sudah serius dan ingin membentuk satu keluarga baru, cinta yang bebas dan tulus menjadi salah satu syarat utama.Â
Namun, bagaimana jika cinta itu harus dihadapkan pada sebuah tantangan yang sulit? Kita ambil saja satu contoh, yakni ketika calon mertua (camer) mengharapkan bahwa menantunya harus berasal dari suku yang sama dengan keluarga itu?
Ada tiga kemungkinan yang terjadi. Pertama, relasi di antara keduanya akan pupus dan kandas, terlebih bila otoritas camer lebih powerful dibandingkan dengan komitmen anak dan calon mantunya.Â
Kedua, pasangan akan tetap melangsungkan perkawinan meski harus kawin lari. Pokoknya, pernikahan harus tetap berlangsung: "Aku untukmu dan kau untukku". Rekonsiliasi dengan orangtua dan mertua bisa diatasi kemudian.
Lalu, kemungkinan yang ketiga adalah tetap melangsung pernikahan dan tinggal dekat dengan orangtua atau mertua meski harus hidup dalam ketidaknyamanan, karena restu belum diberikan. Alhasil untuk kurun waktu tertentu, mereka akan berada dalam konflik keluarga.Â
Bisa jadi, baik si anak maupun menantu tidak akan diperhitungkan oleh orangtua atau mertuanya. Anak terimbas oleh rasa tidak suka orangtua, walau sebenarnya itu ditujukan ke menantunya.
***
Di dalam satu lagu Batak Toba (selanjutnya Toba) termuat kisah yang cukup menegangkan antara anak dan orangtua yang berharap bahwa menantunya haruslah orang Toba.Â
Lagu yang dimaksud berjudul Marboru Sileban (mengambil putri lain di luar suku Batak), dikarang oleh Freddy Simbolon dan sudah banyak dipopulerkan oleh penyanyi profesional Batak.Â
Kira-kira lirik lagu dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, demikian:
Jangkon ma inong, da parumaen mon (Terimalah ibu, menantumu ini)
Nang pe boru sileban i (Walaupun dia dari suku lain)
Na gabe rokkaphi (yang menjadi pasangan hidupku)
Jangkon ma hami gelleng mon (Terimalah ibu, kami anakmu ini)
Si laosi poda i (yang tidak mengindahkan nasihatmu)
Asa sai horas, sai gabe hita on (2x) (supaya kita sejahtera, supaya kami punya keturunan)
Tung pe inongku, tung so tarbahen au (Walaupun tak bisa kupenuhi)
Na tinodo ni rohami (Seperti yang engkau kehendaki)
Na gabe parumaen mi (Yang menjadi menantumu)
Ai parumaenmon do dainang (Menantumu inilah ibu)
Na pature-ture hon au (Yang merawat aku)
Di tano parjalangan i (Di tempat perantauan)
Di parjalangan di luat si leban i (di tempat orang di luar sana)
Reff: Nang pe torop akka si solhot i (Walaupun banyak di sana keluarga kita)
Soada i na manarihon au (Tak seorang pun yang memperhatikan aku)
Boru si leban on do inongku (Menantumu inilah ya ibu)
Na sai tong-tong mandulo au inang (Yang selalu mengunjungiku)
Di parsahiton, nang di sitaonon i (Ketika aku sakit dan ketika aku menderita)
Di parsorion, nang di sidangolon i (Dalam penderitaan, dan begitu juga dalam kesedihan)
***