Mohon tunggu...
JPIC Kapusin Medan
JPIC Kapusin Medan Mohon Tunggu... Lainnya - Capuchin Brother

Fransiskan Kapusin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal dan Mengenang Sosok Sang Pecinta Budaya Batak (Pastor Leo Joosten OFMCap)

2 Maret 2021   15:56 Diperbarui: 2 Maret 2021   20:04 1931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurang lebih setengah tahun setelah ditahbiskan menjadi imam Kapusin pada 28 Juni 1970, Pastor Leo menjalankan tugasnya sebagai misionaris (imam Kristen yang mewartakan Injil kepada orang yang belum mengenal Kristus) di Indonesia. Tiba pertama kali pada 19 Januari 1971 di Jakarta.

Pada 25 Maret 1971, ia berangkat ke Sumatera Utara dan mendarat di Polonia. Selanjutnya bertugas di Pakkat (sebuah Kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan) pada 1971-1983. Di sana ia mulai karya misi di tengah kehidupan orang Batak Toba. Tentu, ada kesulitan yang dialaminya mulai dari memahami kebudayaan masyarakat setempat, minimnya fasilitas, dan jarak tempuh menuju tempat misi yang relatif jauh. Namun, semua dilakukan dengan senang hati dan penuh kegembiraan.

Setelah menyelesaikan misi di Pakkat, gembala yang berkesan bagi umat ini dipindahkan ke Pangururan (sebuah Kecamatan di Kabupaten Samosir saat ini) pada 1983-1998. Di tempat inilah, Pastor Leo bersentuhan dengan budaya masyarakat Batak Toba, di samping tugas misinya.

Ia mencoba mempelajari dan menggali makna di balik musik tradisional, ritual penyembuhan, ritual kurban kerbau, dan mangokkal holi (menggali tulangbelulang nenekmoyang). Dengan kecakapannya, Pastor Leo memberikan pembaruan semangat dalam budaya tradisional di atas. Ia mengarahkan agar umat melalui warisan nenek moyang tersebut sampai kepada Tuhan yang diwartakannya, bukan lagi pada penyembahan berhala. Spiritnya yang dibarui.

Pastor Leo tetap menghormati dan menghargai nilai adat istiadat orang Batak. Ada nilai di balik budaya. Hal ini menginspirasinya dalam merancang sebuah gereja inkulturatif Batak Toba. Hal ini terbersit di hatinya, sebab Pastor Leo melihat bahwa corak gereja di tanah Batak bercorak barat, sementara nilai budaya lokal dapat dikembangkan. Sekarang, gereja ini dikenal dengan Gereja Santo Mikael Pangururan. Berada di tepian Danau Toba. Anggun berdiri di hadapan Gunung Pusuk Buhit.

dokpri
dokpri
Gereja inkulturatif yang diresmikan pada 27 Juni 1997 oleh bapa Uskup Mgr. Pius Datubara OFMCap ini memiliki lantai dasar museum. Berkat usahanya yang gigih, Pastor Leo berhasil mengumpulkan benda-benda budaya di Museum Pusaka Batak Toba dan tempat ini menjadi sebuah situs Pusat Studi Budaya Batak.

Memang, di awal usahanya, Pastor Leo dipandang secara negatif. Ia diduga sedang berjualan benda-benda budaya. Akan tetapi, ia mencoba memberikan penjelasan yang meyakinkan banyak orang. Benda-benda pusaka yang bernilai dan bersejarah yang mau disimpan di museum akan dipelihara dan dijaga. Selain itu, usaha ini akan menarik perhatian turis dan wisatawan berkunjung ke daerah Samosir. Selain itu, Pastor Leo juga menjalin kerja sama dengan museum di Eropa, seperti Museum Misi di Tilburg, Belanda, Swiss, dan Belgia. Di sana ada beberapa benda antik yang disimpan dan dibawa pulang ke Pangururan.

Dengan usaha ini, ia ingin agar masyarakat Batak Toba melihat dengan jelas bahwa para misionaris Katolik tidak punya tendensi untuk menghancurkan budaya lokal. Tetapi mereka mau menjaganya sembari memurnikannya dengan nilai injili.

Pemberian dirinya tersebut bermula ketika ia berhasil menyusun sebuah buku pada 1992 tentang orang Batak dan kebudayaannya, yang berjudul "Samosir, The Old Batak Society". Buku ini sengaja ditulis agar turis mengerti sosialitas orang Batak, teristimewa sekitaran Pulau Samosir. Segala hal ikhwal yang dimuatnya dalam buku itu berasal dari pengamatan dan pengalamannya berelasi dengan orang Batak.

Selesai dari Pangururan, ia dipindahkan ke Kabanjahe (sebuah Kecamatan di Kabupaten Karo) pada 1998-2010. Sang gembala yang diberi marga Ginting ini mencoba masuk dalam kebudayaan Batak Karo. Di Kabanjahe, ia merancang pendirian sebuah gereja yang punya corak Karo, bernama Santo Petrus dan Paulus. Saat hendak mengakhiri tugas misi di Kabanjahe, Pastor Leo Ginting merayakan pesta 40 tahun tahbisan imamat.

Kemudian, ia dipindahkan ke Berastagi (kecamatan di Kabupaten Karo). Di sini, Pastor Leo masih bersentuhan dengan budaya Karo dalam misinya pada 2010-2021. Ia tetap meneruskan pembangunan gereja inkulturasi Karo. Berdirilah sebuah gereja menawan dengan nilai budaya Karo di Berastagi dengan nama Paroki Santo Fransiskus Asisi Berastagi. Gereja ini diresmikan pada 20 Februari 2005 oleh bapak Uskup yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun