Setiap orang dipanggil untuk kejujuran dan kebenaran, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Setiap orang mempunyai kewajiban untuk mencari kebenaran, menganutnya dan mengatur seluruh hidupnya sesuai dengan tuntutannya (Kompendium KGK, No. 521).
Kejujuran adalah Bagian Entitas Manusia yang Telah Terberi
Entah mengapa, saya sangat senang mengawali pembicaraan tentang manusia, selalu merujuk pada sisi ontologis-realitas. Salah satunya adalah ketika saya berbicara tentang potensi yang telah terberi di dalam diri manusia. Saya mau ambil tentang kejujuran. Sejak manusia terbentuk di rahim seorang ibu, kejujuran sudah tertanam di dalam dirinya dalam kadar dan bentuk yang sama (ontologis) untuk semua orang. Kejujuran merupakan sebuah entitas dalam diri manusia yang telah terberi (is given by) oleh Sang Pengada Tunggal dan berlaku universal, tidak pilih-pilih manusianya.
Kejujuran boleh dikatakan sebagai potensi. Dalam kehidupan nyata, potensi ini akan mulai ber-actus ketika orang lain memperkenalkannya lewat ajaran, diskusi, dan praksis hidup. Keluarga, guru, dan rekan sosial akan mengajari seorang manusia agar tahu, mau, dan mampu mengaplikasikan kejujuran. Perlahan, potensi kejujuran akan mendapat bentuknya ketika daya intelektulisasi manusia semakin matang dan setelahnya diwujudnyatakan dalam hidup.
Sekali lagi, semua manusia pada dasarnya punya potensi ini dalam bentuk dan taraf yang sama serta berlaku universal.
Memaknai Kejujuran
Kejujuran adalah kata benda bentukan dari kata dasar jujur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jujur didefinisikan sebagai lurus hati, tidak berbohong; tidak curang; dan tulus, ikhlas. Sementara kejujuran berarti sifat (keadaan) jujur, ketulusan (hati), kelurusan (hati). Dari definisi ini, dapat dimengerti dan dipahami bahwa sikap jujur dan kejujuran merupakan hal positif, baik, dan benar.Â
Jujur juga dapat dimaknai sebagai sikap bertindak dan berkata sesuai dengan kebenaran. Muhammad Mustari mengerti bahwa jujur itu sebagai perilaku manusia yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya menjadi orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap dirinya maupun pihak lain. Maka, jujur itu penting dan perlu untuk diri sendiri dan siapa dan apa pun di luar diri sendiri.
Kejujuran Mengalami BenturanÂ
Tak dapat disangkal, bahwa kejujuran akan selalu mengalami benturan dengan realitas kehidupan yang sungguh kompleks. Mulai dari bangun pagi hingga mau tidur di malam hari, kejujuran akan selalu mengalami "ujian". Rasanya, ketika mengalami benturan atau ujian, setiap orang seakan berada di persimpangan pilihan. Mau pilih jujur atau tidak? "Kalau pilih jujur, nanti saya tidak bisa dapat ini, itu, dan semuanya!" "Sementara kalau tidak jujur, nanti bisa-bisa saya dapat 'karma'!" Yah, siapa saja pasti akan punya banyak pertimbangan dan dilema untuk pilih salah satu.
Pertimbangan untuk Jujur
Coba kita melihat sejenak beberapa pertimbangan untuk tetap pilih jujur. Ini berdasar pada pengalaman.
1. Takut berdosa kalau justru pilih yang sebaliknya. Dalam ajaran agama masing-masing, ada larangan untuk berkata, berpikir, dan bertindak tidak jujur. Kalau larangan ini dilanggar, orang tersebut akan berdosa dan dihukum menurut ketentuan dalam ajaran agama masing-masing.
2. Takut ketahuan. Pikiran seperti ini lazim dirasakan seseorang sebelum bertindak untuk tidak jujur. Ada kepercayaan bahwa suatu saat, orang lain akan tahu entah bagaimana caranya, segala ketidakjujuran yang dilakukan.
3. Suara hati memberikan teguran. Orang yang suara hatinya masih sehat dan tajam, tentu akan berkata ogah untuk bertindak curang. Hatinya akan mengarahkan orang tersebut berpikir, berkata, dan bertindak lurus dan tulus serta sesuai dengan kebenaran.Â
4. Khawatir akan kehilangan banyak hal. Sebelum melakukan hal yang tidak jujur, seseorang mungkin saja punya rasa khawatir bahwa ia akan kehilangan banyak hal. Ini tentu merugikan. Belum tentu ketidakjujuran itu menghasilkan banyak keuntungan. Dan kalaupun ketidakjujuran menghasilkan banyak kenikmatan, itu tidak sebanding dengan kehilangan atas segala-galanya dalam hidupnya.
5. Aturan, hukum, dan norma melarang. Orang yang punya tingkat kesadaran yang matang akan berpijak pada hukum, aturan, dan norma yang telah digariskan baik secara regional, nasional, dan internasional. Bagaimana pun juga, tidak ada aturan yang memberikan privilese positif untuk tidak jujur.
6. Sudah terdidik dan terlatih untuk hidup jujur. Orang yang punya prinsip hidup yang matang dan dewasa akan menolak segala bentuk ketidaklurusan dan ketidaktulusan. Untuk itu, keluarga, guru, dan masyarakat sekitar menjadi kunci pendidikan dan pelatihan bagi anak untuk sadar, tahu, mau, dan mampu hidup secara jujur, tulus, dan lurus.
7. Hidup akan tenang, nyaman, dan bahagia. Betul sekali. Ketika tidak ada kebohongan dan kepalsuan dalam hidup, orang akan merasa lega, tenang, nyaman, dan bahagia menjalani kehidupannya. Ia tidak merasa ada beban untuk ditutup-tutupi. Maka, gas terusss...
Pertimbangan untuk Tidak Jujur
1. Suara hati yang tumpul dan lemah. Suara hati akan selalu ada dalam diri setiap orang, tidak akan pernah mati. Yang ada ialah suara hati yang tumpul dan lemah. Ketika suara hati telah menjadi tumpul dan lemah, apa yang tidak baik, tidak jujur, dan tidak benar menjadi benar dan baik. Maka, orang ini akan menganggap biasa tindakan korupsi, mencontek, berbohong, menipu, dan menyebarkan kabar hoaks.Â
2. Ajaran agama tidak memberikan efek dan dampak langsung dalam kehidupan nyata. Betul sekali, dosa dan sanksi atas ketidakjujuran tidak akan langsung dirasakan dalam kehidupan nyata. Itu urusan setelah mati. Maka, selagi masih bisa berbuat banyak, tidak salah untuk berbuat curang. Ketika sudah tidak bisa apa-apa, barulah berubah dan bertobat. Demikianlah alasan lain mengapa seseorang tidak jujur.
3. Dikuasai materialisme, hedonisme, dan konsumerisme. Ketika ketiga penyakit ini sudah merasuk dalam diri seseorang, tidak ada ruang untuk kejujuran bertumbuh. Kenikmatan, kemewahan, dan kenyamanan menjadi prioritas. Maka, segala usaha akan dilakukan. Yang penting, mata puas, perut kenyang, dan harta menumpuk tak habis-habis.
4. Takut kehilangan segala sesuatu. Selain menjadi pertimbangan hidup jujur, poin ini dapat menjadi alasan seseorang bersikap tidak benar. Untuk mengamankan dan menjaga status, jabatan, nama baik, dan popularitas, ia akan berusaha menutup-nutupi segala kesalahan, kelemahan, kecurangan, dan dosa-dosanya. Ia akan takut kalau-kalau segala yang sudah dimilikinya akan hilang sekejab mata.
5. Takut disingkirkan dari sosialitas. Ini pun sungguh amat lazim terjadi. Agar tidak disingkirkan dan dikucilkan dari lingkungannya, orang akan rela menyusun skenario yang tidak benar agar ia selamat.Â
6. Tidak tahu bahwa sesuatu yang dilakukan itu sudah tidak jujur.Â
7. Punya daya rasionalisasi yang tinggi. Rasionalisasi adalah proses atau cara seseorang membuat sesuatu menjadi masuk akal dengan mencari-cari alasan yang logis. Biasanya ini terjadi pada hal yang tidak baik dan dirasionalisasikan menjadi sesuatu yang masuk akal.
Jujur vs Tidak Jujur
Kembali ke kutipan di awal, bahwa setiap orang (dengan potensi ontologis) dipanggil untuk kejujuran dan kebenaran, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Setiap orang mempunyai kewajiban untuk mencari kebenaran, menganutnya dan mengatur seluruh hidupnya sesuai dengan tuntutannya. Setiap orang bisa dan mampu untuk hidup dalam kejujuran dan kebenaran. Dengan daya intelektual dan pola pikir yang sehat, setiap orang diminta untuk mencari dan mencari cara agar semakin terbentuk menjadi pribadi yang jujur, apa adanya, tulus, dan lurus. Ini adalah kewajiban sebagai makhluk yang berpikir.
Masalahnya, tidak selalu pengalaman yang diterima dan dihadapi akan membawa seseorang untuk hidup jujur dan benar. Oleh karena satu dan beberapa hal, orang tersebut justru memilih untuk tidak jujur. Tidak jujur itu, nikmatnya singkat tapi siksanya berat.Â
Siapa saja pasti pernah dan akan bertindak tidak jujur. Namun, tidak salah kalau ada motivasi untuk bangkit dari ketidakjujuran itu dengan berbagai usaha dan upaya. Jujur itu membuat orang lega, tenang, bahagia, dan nyaman. Walau mungkin akan ada kesulitan yang dihadapi karena jujur, tapi dunia akan melihat bahwa usaha itu positif dan patut diapresiasi.
Maka, pilih mana?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H