Mohon tunggu...
JPIC Kapusin Medan
JPIC Kapusin Medan Mohon Tunggu... Lainnya - Capuchin Brother

Fransiskan Kapusin

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Akhirnya Sudah Boleh Tertawa

26 Desember 2020   08:20 Diperbarui: 26 Desember 2020   08:31 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biasanya, orang selalu berusaha untuk mendapatkan hasil yang positif. Seperti positif lulus ujian, positif lulus wawancara dengan HRD, positif masuk PTN yang bonafit, dan positif hamil (bagi yang sudah lama menunggu keturunan). Ketika dinyatakan positif seperti di atas, orang akan bergembira dan bersyukur untuk segala perjuangan hingga berhasil meraih yang diimpikan. Tidak demikian halnya dengan Covid 19. Orang berbondong-bondong menghindari dia. Orang takut kalau positif Covid 19. Malahan, orang ingin negatif dari penyakit ini dan bahkan tidak membawa bibitnya.

Demikianlah terjadi dengan komunitas kami. Unik, lucu, sekaligus menegangkan.

Akhir September 2020. Seorang dari anggota komunitas terpapar Covid 19. Pihak rumah sakit, tempat saudara ini dirujuk telah melakukan tes swab. Hasilnya positif. Lalu mereka mengabari kami yang ada di pastoran. Padahal, hari itu Sabtu siang. Sore hari, pukul 17.00 WIB akan ada Misa Sabtu Sore. Maka, segala bentuk pelayanan pastoral dan sakramental pun dibatalkan hingga waktu yang tak ditentukan. 

Kami panik. Spontan, situasi persaudaraan menjadi tegang dan tumbuh perasaan saling "curiga" di antara kami. Dalam rapat terbatas di ruang makan, kami sepakati bahwa menunggu tes swab dari puskesmas, segala bentuk perkumpulan ditiadakan sementara. Misa harian dan mingguan dengan umat tidak dilaksanakan. Semua mengatur jadwalnya secara mandiri. Ibadat dan misa harian di komunitas pun ditiadakan.

Setelah ketentuan itu diputuskan, selekas itu pula rumah menjadi terasa sepi. Tidak ada lagi tawa para saudara yang kadang bisa memenuhi rumah. Tidak ada lagi perbincangan di ruang makan. Tidak ada lagi yang bernyanyi di kapel tempat ibadat dan misa harian. Ruang rekreasi ditutup sementara, tidak ada permainan remi. Pokoknya, setiap orang mengunci diri di kamar dengan kesibukan sendiri. Setiap saudara merasa bertanggung jawab untuk menjaga kesehatannya dan kesehatan yang lain. Meski berada dalam rumah yang sama, kami serasa tidak saling kenal. Semua itu karena si Covid yang berhasil menyerang lini pertahanan komunitas kami.

Ada sedikit angin segar. Selasa berikutnya, tim puskesmas datang untuk tes swab di komunitas kami. Mereka berpakaian APD lengkap. Mereka jaga betul protokol kesehatan. Mereka pakai sarung tangan yang sekali pakai. Setiap orang disentuh dengan sarung tangan yang baru. Ini adalah swab pertama bagi saya dan mereka. Sedikit tegang. Pada beberapa saudara, tes swab agak sulit dilakukan, karena tegang dan takut. Ada dua alat berbeda yang satu dimasukkan ke tenggorokan lalu diputar-putar dan satu lagi ke lubang hidung dan diputar-putar. Selesai swab, masing-masing saudara seperti menangis karena mengeluarkan air mata akibat merasa perih.

Selekas swab dilakukan, masing-masing kami mandi kemudian, supaya lebih bersih dari bakteri dan virus. Setelahnya, kembali isolasi mandiri. Pokoknya, kalau saya ingat pengalaman ini, saya tertawa sendiri. Kami menjaga betul isolasi mandiri di kamar masing-masing. Tidak keluar dan tidak bertemu untuk sementara waktu. 

Kamis berikutnya, hasil swab keluar, tetapi hanya untuk beberapa orang saja. Kepala rumah ("gardian" bagi para Kapusin), mengumumkan nama-nama saudara yang negatif dari Covid. Mereka yang telah negatif, merasa sangat senang dan merasa seperti lepas dari belenggu yang sungguh berat. Sementara, bagi yang belum keluar hasil swabnya, termasuk saya, ketegangan itu semakin terasa. 

Seorang saudara (pastor) semakin gelisah dan tegang. Ia tidak bisa istirahat. Ia sungguh amat takut. Maklumlah si pastor memang sudah tua. Karena saking gelisahnya, ia keluar kamar dan mondar-mandir di dalam rumah itu. Ia pun minum sampai 4 gelas sekali minum. Ia keringat dingin dan pokoknya saya bisa rasakan itu dari pintu kamarnya yang selalu terbuka. Kamar saya persis di samping kamarnya. Dalam hati, sebenarnya saya tertawa. Lucu kali rasanya.

Lalu, malam harinya, keluarlah hasil swab untuk semua. Pastor gardian membaginya lewat WA grup komunitas. Akhirnya, ini yang ditunggu-tunggu, semua NEGATIF dari Covid 19. Pastor gardian juga mengumumkan supaya pelan-pelan ritme harian kembali normal. Keesokan harinya, kami berkumpul kembali di ruang makan. Lepas sudah belenggu berat ini. Sirna sudah ketegangan ini. Akhirnya, kami sudah boleh tertawa. Lantas, Kami tertawa puas dan lepas. Ada yang saling mengejek karena dilihat begitu tegang dan khawatir, termasuk serangan itu dialamatkan kepada pastor yang saya ceritakan di atas.

Kami merasa seperti terbebas dari kekelaman yang sudah berpuluh-puluh tahun, padahal masih beberapa hari. Pokoknya seru sekali.

Mengertilah kami perasaan mereka yang keluarganya terpapar Covid. Ada ketegangan dan kecemasan, kalau-kalau ada yang terinfeksi juga dari antara anggota keluarga. Yang paling menyiksa adalah tidak bisa kumpul dan bercerita di satu rumah yang sama, di satu keluarga yang sama. Ada sekat pemisah, antara sehat dan tidak sehat. Demikian, sungguh kami alami ketegangan yang luar biasa itu.

Dokter, yang dekat dengan kami juga turut bahagia atas hasil yang negatif. Dia berpesan agar, jangan lagi tegang sebab tegang bisa membuat psikologi terganggu. Kalau ini terganggu, imun akan menurun dan jatuh. Lebih baik tenang, relaks, dan jangan sampai shock. Salah satu cara agar bisa tenang adalah tertawa. Maka, untuk teman-teman dan saudara-saudari terkasih, kami mengerti perasaan kalian sebab kami pun mengalaminya.

Kala Covid mulai hadir di tengah keluarga dan lingkungan masyarakat, akan ada ketegangan. Bahkan, ketegangan itu bisa sampai kelewat batas. Asalkan kita taati protokol kesehatan, menjaga pola istirahat, dan asupan nutrisi kita akan lolos dari Covid. Lebih lagi, imunitas perlu dijaga. Jangan sampai ketakutan dan kekalutan menggerogoti pikiran kita. Tertawalah sesering mungkin, tentu dengan alasan yang tepat. Jangan tertawa sendirian, nanti orang berpikiran aneh tentang kita. Hahahaha.....

Indonesia tercinta, marilah tertawa. Terutama di penghujung tahun ini. Kita telah melewati hari demi hari menghabiskan tahun 2020 ini dengan ketegangan, rasa curiga, takut, khawatir, dan ada yang sampai depresi. Setidaknya, supaya otot dan syaraf tidak tegang, carilah waktu dan kesempatan untuk tertawa selepas-lepasnya, demi relaksasi. Indonesia butuh ketawa. Ketawa dapat meningkatkan imunitas. Biarlah segala sejarah yang telah kita ukir sejak Maret-Desember 2020 ini menjadi prasasti dan monumen ketakutan sepanjang hidup ini.

Untuk siapa saja, para sobat se-Indonesia, ketawalah sebelum ketawa itu dilarang atau sebelum Anda tidak bisa lagi ketawa baik sementara maupun selama-lamanya. 

Salam.

Indonesiaku butuh ketawa.

Sehatlah negeriku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun