Hari ibu sudah semakin dekat. Persis satu hari lagi, 22 Desember 2020. Sebelumnya, terima kasih untuk kaum perempuan yang sekarang hanya jasanya dikenang. Oleh karena merekalah, kita bisa menikmati suatu momentum historis peninggalan 1928.Â
Didasari oleh sikap nasionalisnya, kaum perempuan yang tergabung dalam Kongres Perempuan mengusahakan pendidikan perempuan bagi anak gadis, menentang perkawinan anak-anak dan menolak kawin paksa, dan mengoreksi paradigma pragmatis bahwa perempuan hanya sebatas istri dan pelayan suami.Â
Tiga hari mereka menyampaikan aspirasi ini di Dalem Jayadipura, Yogyakarta, yanki 22-25 Desember 1928. Melihat usaha gilang-gemilang ini, Presiden Soekarno mengeluarkan KepPres Nomor 31 tahun 1959 yang menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional. Ucapan terima kasih kedua bagimu, almarhum Presiden Soekarno atas keputusannya ini.
Euforia hari ibu di Indonesia sungguh luar biasa. Akan bisa disaksikan di media sosial berbagai ungkapan, ucapan, dan refleksi yang di-upload kepada ibu. Bahkan, ada yang ber-selfie ria bersama ibunya dengan tema atau caption yang unik. "Selamat hari Ibu, untukmu ibu yang sudah membesarkanku!", kurang lebih itulah kalimat yang umum diunggah di dunia maya. Namun, tahukah kalian bahwa sebenarnya siapa saja bisa menjadi ibu. Sedangkan alam Indonesia saja disebut "ibu pertiwi", apalagi manusia. Laki-laki maupun perempuan sudah memiliki potensi itu dalam dirinya. Hanya saja, kadang kurang disadari, dilatih, atau diperhatikan.
'Siapa Saja' dan Dualitas KepribadianÂ
Plato begitu kagum dengan manusia. Di dalam diri manusia tersembunyi berbagai macam potensi. Ada potensi untuk hidup, berkembang, berproses, dan mati. Ada potensi untuk berbuat baik atau tidak. Termasuklah di dalamnya apa yang dikatakan Psikologi, yakni sisi maskulinitas dan feminitas manusia.
Setiap orang, siapa pun itu, memiliki dualitas kepribadian ini. Sisi maskulin dimengerti dari sikap pemberani, rasional, kuat, berdaya juang, dan sebagainya. Sementara sisi feminitas bisa dipahami lewat sikap pengasih, lemah lembut, perasaan yang kuat, peduli, dan keibuan. Memang, pada umumnya laki-laki akan lebih dominan memiliki sisi maskulinnya dibanding feminim.Â
Kurang lebih 80%:20%. Begitu juga dengan kaum perempuan akan lebih dominan sisi feminimnya dibanding maskulin. Semua ini semakin terang dan jelas lewat pendidikan dan latihan serta pembiasaan diri.Â
Menjadi "Ibu" bagi yang Lain
Untuk itu, tak dapat disangkal bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk berbagi kasih, saling memperhatikan, bersikap keibuan, dan lemah lembut satu sama lain. Yah, memang demikian, walau seseorang itu adalah lelaki sejati. Di kedalaman identitas dan entitas dirinya ada segudang potensi feminitas. Untuk itu, tidak menjadi suatu kejanggalan bila ada lelaki yang suka merawat bunga, senang akan hal-hal yang rapi dan bersih, suka berbelanja, upload status di media sosial, dan sebagainya. Makna dari kebiasaan itu adalah bahwa ia telah mengaktualkan potensi feminitasnya.Â
Sebagai sifat "keibuan" tercermin dalam kesopansantunan, siap dan mau mendengarkan cerita atau keluh kesah orang lain, mudah bergaul, easy going, dan pembawa damai yang tulus. Memang, ada saja orang yang memiliki karisma pembawa damai entah kepada siapa pun dan kedamaian itu natural sekali. Bukan hanya seorang perempuan yang memiliki ini. Banyak kaum lelaki yang punya karisma ini.
Menjadi "ibu" bagi yang lain bisa dilakukan juga dengan suatu bentuk kesetiaan dalam relasi. Tidak bisa dibayangkan jika seorang ibu tidak setia dengan keluarganya. Tentu keluarga itu akan cepat berantakan (broken home).Â
Setidaknya, faktor yang mempertahankan suatu rumah tangga tetap bertahan adalah kesetiaan si ibu memperhatikan si ayah dan anaknya. Ia setia memasak dan berbelanja, membersihkan rumah, dan lain sebagainya. Untuk setia tidak mudah, dibutuhkan kesabaran. Seorang ibu harus sabar dalam rutinitas harian, menghadapi gejolak keluarga yang silih berganti datang menghampiri, mendoakan keluarganya, dan mendidik anaknya.
Masih ada hal menarik yang perlu dipelajari dari ibu, yakni memiliki pemahaman yang bagus. Jika seorang ibu tidak bisa memahami karakter suami dan anaknya, di dalam keluarganya akan sering muncul perkelahian. Keluarga itu tidak akan rukun. Setiap hari ada perang. Setiap saat ia akan mempersalahkan keluarganya. Maka, kiranya sikap ini juga perlu dipelajari dan diajarkan kepada siapa pun.
Maka, seseorang bisa menjadi "ibu" kepada yang lain bila ia berbagi kasih dan memberikan waktu untuk memperhatikan sesama. Sikap lemah lembut mau mendengarkan orang lain serta tulus dalam bergaul akan membuat relasi dengan orang lain semakin damai.Â
Perhatian kepada yang lain juga mesti didasarkan pada ketulusan, kesetiaan, dan kesabaran dalam menghadapi dinamika relasi. Sekali lagi, keutamaan seorang ibu ini bukan hanya milik kaum perempuan atau ibu, tetapi laki-laki atau bapak pun memiliki keutamaan ini. Masalahnya, apa-apa saja yang sudah berkembang dan sejauh mana itu berkembang?
Tantangan dan Peluang
Tidak mudah memiliki sikap keibuan. Jangankan kaum laki-laki, kaum perempuan saja yang dominan mewarisi sikap ini belum tentu sudah mengembangkannya dengan baik. Tentu ada penyebabnya, antara lain:
1. Tidak dibiasakan dan membiasakan diri untuk keutamaan itu.
2. Lingkungan masyarakat yang kurang kondusif dalam membentuk karakater seseorang sejak kecil.
3. Perasaan minder, terutama kaum laki-laki, karena takut dicap sebagai banci.
4. Tak mau tahu dengan orang lain. Bisa jadi ia pun tidak mau tahu dengan dirinya sendiri. Bila seseorang sudah mampu mengaplikasikan untuk dirinya sendiri keutamaan seorang ibu, ia pasti mampu mengaplikasikannya kepada orang lain.
5. Tidak mau diedukasi untuk menjadi seorang yang integral.
Akan tetapi, di balik kesulitan dan tantangan, selalu saja ada peluang. Pertama, mengajarkan kepada anak dualitas kepribadian dalam dirinya. Kedua, melatih diri sendiri dan orang lain dengan gerakan-gerakan peduli sesama.Â
Ketiga, mengapresiasi teman atau orang lain yang telah berhasil meneladani semangat "ibu". Keempat, melakukan edukasi secara luas baik lewat tulisan atau video. Kelima, menjadi semakin reflektif bahwa dirinya itu integral; ada sisi maskulin dan ada sisi feminimnya. Keenam, membiasakan diri tulus, setia, dan jujur dalam pergaulan.
Akhir kata, selamat hari ibu. Dari sosok seorang ibu, kita bisa belajar banyak hal. Tulisan inilah kiranya menjadi satu dari sekian banyak bukti kekaguman atas figur seorang ibu. Semoga para ibu yang baik semakin berlimpah rahmat. Semoga siapa saja yang sedang belajar menjadi "ibu" baik bagi keluarganya dan siapa pun semakin menikmati proses belajarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H