[caption id="" align="alignnone" width="300" caption="Cabe Merah [suaramerdeka.com"]"][/caption]Selain "Warlam" (Warung Lampung), tempat aku makan siang yang suka aku jadikan referensi, ada juga Gado-gado ICW. Kami menyebutnya begitu, karena penjual makanan kaya sayuran itu berlokasi di sebuah gang, tak jauh dari kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Kalibata. Nah, penjual Gado-gado ICW (GICW) itu, seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun, tanya aku, apakah mau gado-gadonya pedas sekali atau sedang. Aku bukannya langsung menjawab, melainkan bertanya balik dengan nada heran. "Memangnya di sini masih melayani pedas?" Ibu GICW itu menjawab dengan mantap, "Pak, kalau di sini, mau pedas berapa pun tetap saya layani." [Wah, hebat juga si ibu ini. Di tempat lain, para pedagang mulai mengurangi kandungan cabe dalam makanan jualannya, ini malah nantangin]. Ternyata, ia bukannya tak tahu kalau harga cabe rawit (warna orange, yang paling pedas) pernah melambung hingga Rp 120.000/kg (hari ini, Rp 100.000/kg). Ia malah sadar betul kalau banyaknya cabe yang terkandung dalam gado-gadonya bisa memengaruhi keuntungannya. "Yang namanya jualan, pasti ada untung dan rugi, Pak. Kalau rugi, ini resiko pelaku bisnis," katanya dengan pedenya. "Bisnis saya kan bisnis rasa Pak. Kalau gara-gara mengurangi cabe memengaruhi rasa gado-gado saya, saya nggak mau." Mantap! *Padahal, harga gado-gadonya relatif murah: Rp 5.000/bungkus (pedas maupun pedas banget).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H