[caption id="attachment_24544" align="alignnone" width="242" caption="Supermarket. Foto: cherryflava.com"][/caption] Â Banderol harga-harga di supermarket/minimarket jarang yang "bulat". Dalam arti, "buntutnya" ada pecahan kecil. Misalnya, Rp 1.975 atau Rp 2.100. Beda dengan warung, yang harga barangnya, kalau tidak Rp 2.000, ya Rp 2.500. Jadi, gampang dengan uang kembaliannya. Toko-toko milik jaringan kapitalis itu membuat banderol tidak "bulat", ada maksudnya. Yang paling jelas, untuk "tipuan mata" (diistilahkan psikologi harga). Harga Rp 1.975 tampak beda jauh dengan Rp 2.000 (terkesan, 1.975 = seribuan, dan Rp 2.000 = dua ribuan. Padahal cuma beda jigow alias Rp 25). Â Tapi, toko yang biasanya berakhiran "mart" (apa berasal dari katan smart?), itu tidak konsekuen dengan banderol yang sudah dipasangnya. Terutama dalam masalah uang kembalian. Jarang toko yang memberi kembalian hingga ke pecahan terkecil, melainkan menggantinya dengan permen (yang dihargai Rp 100 atau bahkan Rp 150 per bijinya). Sampai sekarang, praktek mengganti mata uang rupiah (recehan) dengan permen, di supermarket atau minimarket, masih tetap berlangsung. Aku menduga, ini dilakukan semata-mata karena kemalasan pihak penjual/kasir, untuk menukarkan uang receh ke bank. Padahal, pecahan Rp 100 dan Rp 50 dalam bentuk uang logam, sepengetahuanku, masih berlaku. Menyikapinya? Aku sih simpel saja. Yakni dengan menolaknya, dan mengatakan, "saya tidak mau permen". Menaruhnya permen itu kembali, lalu meninggalkan kasir. Ngotot meminta receh yang memang nggak tersedia di kasir, memang bikin ribet. Lebih elegan, kalau toko itu memasang pengumuman, "sisa uang kembalian dari anda, akan kami infakkan atau sedekahkan kepada pihak yang memerlukannya." --seperti dilakukan supermarket "T". "Tapi, seringkali toko males menyalurkan sisa uang kembalian itu," kata istriku. Jadinya, kembali ke kebiasaan lama: permen. Padahal, kalau di warung belakang rumah, saat tersedia ada uang kembalian Rp 100, misalnya, istriku memilih menukarnya dengan bumbu dapur (seperti sebungkus kemiri @3 biji), bukan permen. "Saya kan nggak suka permen," ujar istriku. Fay juga, setali tiga uang, nggak suka permen. Sedangkan kembalian Rp 200 (kalau tidak ada di warung), biasa ditukar dengan sebungkus kecil terasi. Coba, seandainya supermarket/minimarket menyediakan kemiri dan terasi sebagai pengganti uang receh kembalian yang tidak tersedia, tentu kami akan menyambut gembira, dan tidak akan menuliskannya di jurnal ini. Hehehe. Gambar-gambar: pintumayahosting.wordpress.com bisnisukm.com,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H