SITUASI PRODUKSI DAN PENGADAAN HASIL PETERNAKAN
 Secara umum permintaan akan produk peternakan bersifat elastis terhadap peningkatan pendapatan, yang berarti perubahan pendapatan dalam masyarakat akan membawa perubahan pada permintaan yang lebih besar.Â
Perekonomian nasional yang semakin membaik membawa dampak terhadap peningkatan permintaan hasil ternak. Namun, apakah peningkatan permintaan hasil ternak tersebut akan berkorelasi positif dengan peningkatan produksi ternak, akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya.Â
Dalam suatu sistem agribisnis peternakan, subsistem agroindustri dan pemasaran cenderung berpengaruh nyata dalam memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen, sementara subsistem sarana produksi dan produksi peternakan harus mampu meningkatkan efisiensi usaha peternakan. Untuk menggambarkan perkembangan situasi agribisnis usaha peternakan, pembahasan akan difokuskan pada perbandingan antara periode "krisis moneter" (1997-1998) dengan periode "pasca krisis moneter" (1999-2002).
Kebutuhan konsumsi daging, susu, dan telur secara nasional, dipenuhi melalui produksi dalam negeri dan impor. Pemulihan ekonomi akibat krisis ekonomi baru mulai terlihat semenjak tahun 2000 di mana konsumsi hasil ternak meningkat. Seperti diperlihatkan data dari Buku Statistik Peternakan (2001) untuk konsumsi daging, pada tahun 1996 konsumsi daging sebesar 1661,2 ribu ton, menurun menjadi 1.242,6 ribu ton pada tahun 1998, mengalami kenaikan menjadi 1.517,5 ribu ton pada tahun 2000.Â
Guna memenuhi konsumsi daging tersebut, volume impor daging antara periode krisis moneter (1997- 1998) dan pasca krisis (1999-2000) ternyata meningkat sebesar 90,1 persen. Volume impor sapi bakalan dan daging sapi meningkat sebesar 18,1 dan 16,8 persen. Peningkatan impor sapi bakalan dan daging sapi lebih banyak didorong oleh insentif keuntungan yang lebih menarik dibandingkan keuntungan yang diperoleh pedagang dari pengadaan sapi bakalan dalam negeri yang memang sulit didapatkan.Â
SITUASI KERAGAAN DAN SEBARAN POPULASI TERNAK
Tidak seperti pada usaha ternak sapi potong yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang cukup beragam, usaha ternak sapi perah memerlukan kondisi lingkungan yang lebih terbatas (relatif sejuk pada dataran sedang-tinggi). Selain itu, pola usaha ternak sapi perah relatif lebih intensif dibanding usaha ternak sapi potong. Oleh karena itu penyebaran populasi sapi perah relatif lebih terbatas dibanding dengan sapi potong.Â
Berdasarkan analisis keterkaitan antara populasi dengan kemampuan produksi susu di enam provinsi yang terpadat populasi sapi perah (Gambar 1), nampak bahwa produksi susu tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Timur, dan berturutturut menurun di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI), dan terendah di Provinsi Sumatera Utara. Namun demikian berdasarkan populasi sapi perah, dari populasi yang tertinggi berturut-turut di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, DIY, dan terendah di DKI. Kalau diasumsikan bahwa populasi sapi betina dewasa sebanyak 55,4 persen (Statistik Peternakan, 2001) dan lama laktasi selama 305 hari, maka produktivitas per ekor Â
sapi dari yang terbesar adalah di Provinsi Jawa Barat (12,8 kg/ekor/h), DIY (10,01 kg/ekor/h), Jawa Timur (9,1 kg/ekor/h), DKI (7,8 kg/ekor/h), Sumatera Utara (4,2 kg/ ekor/h), dan terendah di Jawa tengah (4,1 kg/ekor/h). Dari jumlah total produksi susu nasional tahun 2000, ternyata dipasok dari enam wilayah sentra produksi sebesar 99,5 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa konsumen susu segar adalah penduduk di daerah perkotaan.Â
Pada tahun yang sama, menunjukkan bahwa konsumsi susu di Indonesia adalah 0,57 g/kap/h (Statistik Peternakan, 2001). Berdasarkan sebaran data populasi sapi potong di Indonesia tahun 2000 (Statistik Peternakan, 2001), nampak bahwa wilayah sentra sapi potong dari yang terbanyak adalah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Telatan, Aceh, Bali. Dihubungkan dengan kepadatan wilayah maka wilayah dari yang terpadat adalah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Suatu fenomena menarik untuk dikaji, bahwa populasi ternak berhubungan pula dengan populasi penduduk. Keadaan ini menunjukkan bahwa skala usaha sapi potong relatif kecil.Â
Populasi sapi potong di lima provinsi padat ternak menyumbang 59,4 persen. Sebagian besar pola usaha ternak sapi potong adalah pola pembibitan/pembesaran anak. Hanya sebagian kecil peternak yang khusus mengelola usahanya sebagai usaha penggemukan. Pada pola usaha pembibitan tersebut secara ekonomis kurang menguntungkan. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pola usaha demikian masih tetap berkembang. Berdasarkan informasi bahwa tatalaksana usaha ternak pola pembibitan akan kurang efisien pada usaha intensif.Â
Upaya keberlanjutan usaha ternak sapi potong ternyata dapat dikaitkan dengan wilayah persawahan (padi) intensif. Jerami padi yang cukup berlimpah (yang selama ini dibakar) sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi potong. Bahkan dengan introduksi teknologi pengkayaan nutrisi jerami padi yang ramah lingkungan (melalui teknologi fermentasi dengan menambahkan mikroba pemecah sellulosa atau amoniasi) dapat meningkatkan nilai gizi pakan. Berdasarkan estimasi bahwa dari luasan lahan sawah yang ditanami padi per musim tanam, produksi jerami padi (relatif sama dengan produksi padi) yang dihasilkan dapat mencukupi satu ekor sapi selama setahun. Usaha ternak sapi potong dapat dikaitkan sebagai penghasil pupuk organik (kompos) yang sangat diperlukan untuk usahatani ramah lingkungan.Â
PERMASALAHAN PETERNAKAN
Perdagangan Internasional
 Indonesia yang tercatat sebagai negara konsumen hasil ternak dunia yang terus tumbuh menghadapi beberapa permasalahan, yaitu : impor produk peternakan itu mempengaruhi produksi dalam negeri, Indonesia memasukan produk peternakan yang tidak halal, isu tarif dan non tarif, dan isu penyebaran penyakit. Impor produk peternakan yang menjadi masalah tahun 2001 adalah impor paha ayam dari Amerika Serikat, daging sapi dari Irlandia, Jagung dari Argentina dan impor kulit dari negara Eropah.Â
Menurut aturan perdagangan bebas, maka importir dapat memasukan produk tersebut, namun hal itu tidak dapat dilakukan karena penerbitan Surat Izin Rekomendasi. Produk peternakan yang tidak mendapat Surat Rekoemndasi Impor (SRI) tidak akan boleh masuk ke Indonesia. SRI tersebut sudah dicabut sehubungan dengan UU No. 7 tahun 1994 tentang perdagangan bebas namun SRI ternyata telah digunakan untuk menahan impor paha ayam, daging, susu, kulit ternak dan jagung. SRI yang terbit tahun 2001 untuk menghambat impor mengandung tiga alasan yakni pertimbangan pencegahan dan menghambat penyebaran penyakit PMK, aspek kehalalan, dan menyangkut masalah perlindungan usaha rakyat.Â
Masalah Kehalalan
 Masalah kehalalan sebagai salah satu rekomendasi pembatasan impor merupakan senjata yang cukup ampuh bagi pemerintah saat ini untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri. Namun sampai kapankah Indonesia bisa bertahan dengan alasan tersebut? Jika status kehalalan sudah jelas, dan sudah dijamin oleh negara ekportir, apakah impor ayam dan paha ayam dapat dilakukan kembali? Saat ini impor ayam hanya khusus untuk kebutuhan bahan baku bagi industri pengusaha daging ayam dan tidak untuk dipasarkan di pasar tradisional. Hal ini memang pernah terjadi dengan Australia, dan kini Australia telah menjamin kehalalan daging yang dimasukan ke Indonesia, sehingga tidak ada alasan pemerintah untuk menolak impor daging tersebut.
Masalah Penyakit PMKÂ
Pemerintah pada tahun 2001 melalui Surat Edaran Menteri Pertanian: TN510-2001 dengan pertimbangan pengamanan penyebaran PMK dalam negeri telah melarang impor hewan dan hasil hewan, bahan baku pakan dan peralatan mesin peternakan bekas dari negara-negara Uni Eropa dan negara-negara Amerika Selatan. Komoditas umum yang terkena peraturan ini adalah ternak dan produk dari sapi, babi, ayam, produk susu olahan dan sebagainya. Larangan impor ini bisa bersifat sementara tergantung pada pengumuman badan International Animal Health: Code Office International des Epizooties (OIE) yang menyatakan apakah suatu negara bebas atau telah dapat menggendalikan PMK. Secara tidak langsung larangan impor ini memberikan keuntungan bagi peternak dalam negeri untuk bisa menutupi kebutuhan impor tersebut. Namun peluang ini telah dimanfaatkan oleh Australia dan New Zealand. Untuk kesekian kali, peternak dan pengusaha dalam negeri tidak memanfaatkan momentum peluang yang tersedia. Dampak negatif dari larangan ini adalah penurunan produksi pakan oleh pabrik pakar yang sudah terbiasa mengimpor bahan baku dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Selatan. Kasus yang paling jelas tahun 2001 adalah larangan masuknya 60.000 ton jagung dari Argentina.Â
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)Â
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan oleh pemerintah melalui PP 12, tahun 2001. PPN khusus untuk peternakan pernah dibebaskan oleh Presiden Abdulrachman Wahid, tetapi kemudian diperlakukan kembali. Alasan pembebasan itu adalah bahwa PPN itu bisa berlaku bertingkat. Misalnya jagung dan bahan baku lainnya yang sudah kena PPN, ketika dikonsumsi ternak untuk menjadi daging maka daging tersebut terkena PPN lagi. Masalah penolakan PPN telah mencuat sejak diterbitkan bulan Maret dan terus berlangsung hingga saat ini.Â
Kasus terakhir adalah pembayaran PPN 10 persen terhadap 40 ribu ekor sapi bakalan yang ditahan oleh bea dan cukai. Para pengusaha enggan membayar pajak tersebut karena pertimbangan membantu pemerintah dalam menyediakan daging untuk masa lebaran dan kedua impor itu dilakukan sebelum PPN itu diterbitkan. Tetapi pemerintah akan tetap melaksanakan PPN sebesar 10 persen tersebut karena impor sapi bakalan hanya untuk konsumsi orang kaya, sedangkan di daerah produsen daerah harga daging 50 persen dari harga daging di Jakarta. Jadi pengenaan PPN 10 persen tersebut hanya mempengaruhi masyarakat kelas atas di Jakarta.
Penurunan Populasi di Wilayah Produksi Secara nasionalÂ
populasi sapi potong dari tahun 1994 -2002 menurun sebesar 3,1 Â persen per tahun (data tahun 2001 dan 2002 adalah data proyeksi). Penurunan populasi ini lebih merisaukan karena terjadi pada lima wilayah sentra produksi yakni NTB, NTT, Bali, Sulawesi dan Lampung masing-masing 8,3 persen, 4,7 persen, 0,1 persen, 3,4 persen dan 4,8 persen per tahun. Hadi et al. (2002) melaporkan keadaan penurunan populasi ternak pada tahun 2000 yang cukup memprihatinkan tersebut. Penurunan populasi ini akan terus berlanjut pada tahun 2003.Â
Jumlah total sapi potong di kelima wilayah ini untuk tahun 2002 diperkirakan sebesar 2,45 juta ekor atau sekitar 20 persen dari populasi nasional. Indonesia akan sulit menggantungkan diri pada ke lima provinsi tersebut untuk masa mendatang, sedangkan untuk mengharapkan dari Jawa Timur sebagai provinsi paling banyak memiliki sapi potong tidak bisa diandalkan karena ternak potong di wilayah ini lebih banyak digunakan untuk tujuan usaha taniÂ
Pajak dan Retribusi Pemerintah Daerah (Otonomisasi)Â
Tahun 2001 adalah tahun kedua penerapan otonomi daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten. Proses otonomi ini masih dianggap kacau dan menimbulkan banyak masalah antara lain ada kecenderungan pemerintah daerah untuk menjadi raja di daerah sendiri dengan memfokuskan pengumpulan PAD melalui keringat rakyat. Pengertian otonomi sudah disalahkan baik secara konsep maupun praktek. Salah satu contoh adalah penarikan retribusi yang tidak sah dengan berbagai dalih. Sebagaimana telah diatur dalam UU 18/1997 pasal 18 s/d 28 (Tunggal, 1999), objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusi, namun hanya jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak untuk dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu. Dari ketiga bentuk ini maka permohonan perijinan paling banyak disalahgunakan oleh daerah yang cenderung merugikan para pengusaha.Â
Tinjauan Khusus: Agribisnis
 Sapi Perah Pengalaman 30 tahun telah memperlihatkan bahwa keberhasilan pola pengembangan sapi perah melalui koperasi hanya berpengaruh pada peningkatan produksi dan peningkatan kesempatan kerja dipedesaan (Yusdja dan Rusastra, 2001). Sampai saat ini hampir 90 persen produksi susu segar dalam negeri dihasilkan oleh koperasi.Â
Koperasi dengan proses pembentukan "top down" dan intervensi pemerintah yang sangat besar dalam mengatur organisasi dan bisnisnya, sebenarnya tidak sesuai dengan azas koperasi yang seharusnya berakar dari bawah.Â
Pembentukan anggota koperasi bukanlah atas dasar akumulasi modal anggota tetapi lebih banyak bersifat pemberian kredit ternak sapi dalam rangka kemitraan dengan bantuan modal sepenuhnya dari pemerintah. Status anggota koperasi hanya berfungsi pada saat menjual susu segar dan pembayaran iuran wajib serta simpanan pokok. Fungsi lain seperti fungsi kontrol dalam rapat pleno dan hak-hak lainnya tidak berjalan. Akibatnya koperasi sebagai lembaga ekonomi menjalankan manajemen tanpa pengawasan yang ketat oleh anggota, justru sebaliknya koperasi cenderung lebih berkuasa mengatur anggota.
Tinjauan Khusus Agribisnis Sapi Potong
 Sekalipun agribisnis sapi potong banyak bermasalah yang meliputi pengadaan air, pakan, skala usaha, dan manajemen peternakan rakyat, namun pada tahun 2000 Pemerintah menetapkan tahun 2005 akan dicapai swasembada daging (Sudardjat, 2003). Sekarang Indonesia berada pada tahun 2003, namun belum terlihat bahwa produksi daging asal sapi akan mampu menutupi kebutuhan penduduk. Keadaan populasi masih sangat rentan terhadap pengurasan ternak terutama pada wilayah penghasil utama seperti NTT dan NTB dan impor sapi bakalan terus bergerak naik. Pada sisi lain industri penggemukan terus meningkat baik di daerah maupun di pedesaan.Â
Industri penggemukan dalam bentuk feedlot juga memperlihatkan perkembangan dalam 3 tahun terakhir. Namun demikian feedlot menggunakan sapi bakalan impor. Berdasarkan data ABS Australia (Livecorp, 2001), ekspor sapi Australia ke Indonesia terbesar dari berbagai negara importir seperti Brunei, Mesir, Jepang, Jordania, Libya, Malaysia, Mexico, dan Philipina.Â
Tahun 2000 sekitar 35 persen dari total ekspor sapi dari Australia adalah untuk Indonesia. Apfindo telah membina hubungan kerjasama dengan Live Corporation ini terutama dalam membangun rumah potong di Bandung dan memberikan penjelasan kesehatan ternak Australia dalam beberapa seminar. Dengan menggunakan rumus sederhana dengan asumsi semua tetap, LogY = log A + Blog t, maka diperoleh dengan R2=0,71 diperoleh proyeksi pertumbuhan r=12,6 persen per tahun. Impor sapi bakalan tahun 2000 adalah 296.723 ekor diperkirakan tahun 2001 sebesar 340.443 ekor dan diproyeksikan untuk tahun 2001 Australia akan ekpor ke Indonesia sebesar 386.030 ekor. Â
Tinjauan Khusus Agribisnis Ayam RasÂ
Industri agribisnis ayam ras adalah industri peternakan yang termaju dan paling lengkap. Namun struktur produksi masih labil walaupun terus bergerak menuju struktur skala menengah dan besar. Usaha rakyat terus terjepit dengan diramalkan akan menghilang terutama untuk ayam ras petelur. Pemerintah berulangkali menyampaikan bahwa Indonesia sudah swasembada daging ayam dan telur, namun permasalahan peternakan rakyat masih sangat runyam. Tahun 2002 adalah tahun cobaan besar bagi peternakan ayam broiler karena pada tahun itu harga broiler di tingkat peternak anjlog 30 persen, sementara harga tahun 2003 anjlog sampai 500 persen. Akan kiamatkah perunggasan kita? Demikian pertanyaan Tim Trobos (2003). Namun demikian, harga broiler di tingkat eceran tidak terusik. Hal ini memperlihatkan suatu bentuk pasar oligopoli terutama para pedagang besar yang menguasai pemasokan ayam pada kios eceran di Jakarta. Disinyalir bahwa pedagang besar adalah yang menguasai RPA skala besar dengan kapasitas tampung untuk penyimpanan yang relatif besar. Dari segi peternakan broiler rakyat, penurunan harga broiler yang dihadapinya tak lain adalah pihak yang dikorbankan. Peningkatan produksi broiler yang dilakukan pihak swasta atau skala besar menguasai pasar lebih kuat.
SARAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN Â
Agribisnis Sapi PotongÂ
Isu penting untuk agribisnis sapi potong adalah penurunan populasi yang terus berlanjut dari tahun ke tahun. Banyak program yang telah dilaksanakan tetapi tidak memberikan dampak yang meyakinkan pada penyelamatan ternak potong khususnya pada wilayah produksi. Pemerintah sebaiknya merubah strategi peningkatan populasi ternak sekalipun dengan teknik yang sama seperti penggunaan IB, pemberantasan penyakit kandungan, mencegah pemotongan ternak betina produktif dan sebagainya. Salah satu saran yang perlu diperhatikan adalah mengkonsentrasikan program itu pada suatu areal tertentu dengan pengawasan yang intensif. Pada wilayah tersebut program harus disertai dengan peningkatan hijauan ternak dan segala sesuatu yang menunjang seperti pengairan, pengolahan tanah dan sebagainya. Sehingga dua saran dapat dicapai sekaligus yakni peningkatan populasi dan peningkatan produktivitas ternak.Â
Agribisnis Sapi PerahÂ
Koperasi disarankan melakukan reorganisasi secara keseluruhan, mulai dari sistem pengangkatan pengurus dan tim pengawas serta karyawan. Restrukturisasi harus diarahkan pada Undang-Undang Koperasi. Salah satu kegiatan restrukturisasi adalah menetapkan kembali tujuan koperasi untuk menyejahterakan anggota dan bukan sebaliknya. Konsekuensi dari ini adalah bahwa koperasi tidak perlu menjadi suatu lembaga bisnis yang mencari profit sendirian, tetapi harus bersamasama dengan para peternak anggota. Ini berarti azas mendapatkan keuntungan maksimum berlaku untuk semua pemilik usaha termasuk koperasi. Koperasi lebih baik mengubah sikap terhadap anggota. Jika kedua pihak memaksakan untuk memaksimumkan keuntungan maka akan terjadi penindasan terhadap yang lemah, yang dalam hal ini usaha rakyat.Â
Yusdja dan Sajuti (2002) melaporkan bahwa skala usaha koperasi yang diukur dari besar investasi yang ditanam dan kekayaan aset ternyata tidak efisien. Jika demikian peternak mengalami pembinaan oleh koperasi yang sebenarnya mempunyai kondisi operasional yang parah. Â
Agribisnis Ayam Ras BroilerÂ
Permasalahan yang dihadapi ayam ras khususnya ayam broiler saat ini hanyalah merupakan suatu fenomena pergeseran struktur usaha ternak dari banyak perusahaan menjadi beberapa buah perusahaan skala besar. Peternakan rakyat pada akhirnya akan tenggelam. Jika pemerintah ingin melestarikan usaha rakyat maka perlu kebijakan pengembangan kemitraan. Peternakan rakyat membutuhkan suatu konsep kemitraan dengan pihak inti (perusahaan swasta skala besar) dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Kemitraan ini harus berlangsung secara terbuka dan itu memudahkan pengawasan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H