Mohon tunggu...
Erwin Basrin
Erwin Basrin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas dan Bekerja di Akar Foundation

Aku ini adalah seseorang yang berharap menjadi jutaan rintik hujan yang turun di sore hari….Sebuah rintik hujan yang sederhana!!!, kesederhanaannya dalam menyapa, kesederhanaannya dalam memberikan kesejukkan dan kesederhanaannya dalan memainkan denting gerimisnya..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendulang Asa di Tanah Sengketa

22 Oktober 2018   11:41 Diperbarui: 22 Oktober 2018   11:52 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udaranya masih dingin, pagi ini turun kabut yang menutupi hijaunya perbukitan yang dulunya adalah tanah adat Marga Bermani Ulu, setelah terbitnya UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, wilayah yang dulunya milik Masyarakat hukum Adat Bermani Ulu dijadikan sebagai Kawasan Hutan Negara yang berfungsi Lindung. Kondisi hutan yang harus dilindungi untuk fungsi ekologi membuat masyarakat 'diturunkan' dari wilayah kelolanya, maka terjadilah konflik kepentingan, antara kepentingan ekonomi yang pragmatis untuk kebutuhan hidup masyarakat dan kepentingan ekologi yang idealis. 

Konflik ini semakin meruncing ketika terjadi pengusiran dan stigmatisasi pada masyarakat yang dianggap sebagai perusak dan perambah hutan. Padalah mereka sudah sangat lama tinggal di sini, terdapat puluhan desa dan ribuan masyarakat pengarap di Kawasan Hutan lindung Bukit Daun, sebagian besar penduduknya mendiami desa Asli masyarakat Hukum Adat Rejang Bermani Ulu, Desa tranmigrasi sejak Pemerintahan Kolonial Belanda maupun Desa-desa baru yang dihuni secara heterogen.

Untuk mencapai desa ini tidaklah sulit, aksesibilitas dari ibu Kota Kabupaten Rejang Lebong cuma butuh 25 menit perjalanan normal. Dan perjalanan 2 jam dari pusat Propinsi Bengkulu. Berada di ketinggian 800-1.100 Dpl dengan tanah vulkanik yang subur dan topografi perbukitan membuat perkebunan kopi dan palawija menjadi tanaman primadona bagi masyarakatnya. Terdapat eks perkebunan teh peninggalan Belanda di areal Bukit Daun "Desa Baru Manis adalah dulunya desa yang dihuni oleh perkerja perkebunan teh" Cerita Bapak Sawon (60 tahun) yang juga berpropesi sebagai dalang. Selain melakukan transaksi atas hasil perkebunan rakyat di Pasar-pasar Desa, komoditi hasil pertanian masyarakat dijual ke Pasar Curup yang hanya terletak 10 kilometer dari kampung mereka. Dengan kondisi ini, seharusnya masyarakatnya hidup makmur sebagai mana perkampungan agraris yang berlimpah kekayaan alam yang subur. Masyarakatnya tidak bisa mamanfaatkan sumberdaya yang ada secara maksimal karena kebijakan Negara tentang pengelolaan status kawasan hutan yang ketat bahkan cenderung fasis refresif.

Di buffer zone Hutan Lindung Bukit Daun terdapat beberapa Desa Asli, diantaranya adalah Desa Air Lanang, Sementara desa heterogen yang dihuni oleh berbagai suku adalah Desa Tebat Pulau, Air Pikat dan Tanjung Dalam. "Puncak pengusiran di desa kami dilakukan di tahun 1980-an" kata Muhammad Dahril (51 tahun), tokoh masyarakat Desa Tebat Pulau, terjadi pengusiran besar-besaran ketika itu bahkan penagkapan dan pembakaran pondok-pondok petani di dalam kawasan hutan.

"Masing-masing kami diambil photo seperti maling yang tertangkap" kenangnya. Sejak saat itu sampai tahun 2010 "kami kuncing-kucingan dengan aparat untuk mengambil hasil kebun kami", sering kali di malam hari kami panen kopi. 

"Seperti maling di tanah sendiri". Lanjut bapak yang hobi bernyanyi dangdut ini yang sehari-hari di panggil Em.

"Saya sudah 3 kali di usir dari kebun kami" kenang Bapak Sartono (56 tahun). Pria asal Cirebon ini datang ke Desa Baru Manis sejak tahun 70-an mengikuti keluarganya yang datang lebih dulu di bawa oleh Pemerintahan Belanda dan kemudian menjadi petani kopi yang mengarap kawasan hutan lindung yang hanya berjarak 800 meter dari desanya. 

Hal serupa juga di ceritakan oleh Darwil (48 tahun) Kepala Desa Air Lanang. "Desa kami ini jauh sebelum Indonesia Merdeka sudah ada desa yang kami sebut dusun bagian dari Marga Bermani Ulu", dulu katanya memang ada hutan lindung yang dibuat oleh Pemerintahan Belanda "kami menyebutnya dengan Hutan Batas BW", tapi letaknya jauh dari desa karena ketika penetapan batasnya masyarakatlah yang menentukan batas-batas hutan" jelasnya. 

"Fungsinya sama dengan hutan lindung yang sekarang sebagai fungsi lindung," cerita Kepala Desa yang pernah mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai Kepala Desa pemerhati lingkungan ini. 

"Tahun 2010, desa kami didatangai seseorang yang mengakunya dari LSM Akar" Kenang Muhammad Dahril, dia datang mau menyelesaikan kasus hutan di desa kami. "kami usir dia dari desa kami, tiga kali dia datang, tiga kali juga kami usir, kami kira dia mata-mata kehutanan". Setelah kedatangannya yang keempat kali, kami lihat keseriusannya mengurus dan membantu menyelesaikan kasus kami, barulah kami terima dia. "Namanya Rahabilah Firdah," lanjut Em. Setelah kami berikan dia kesempatan untuk menjelaskan tujuannya. 

"Waktu itu kami masih ragu, cuma 3 orang yang berhasil dia kumpulkan". Dan 3 orang inilah cikal bakal inisiasi penyelesaian sengketan hutan. Selama tiga bulan di tinggal bersama kami, dia berhasil mengumpulkan dukungan 400 orang dari lima desa "kami diajari tentang berbagai aturan kehutanan dan pengelolaan hutan, salah satunya adalah Hutan Kemasyarakatan," katanya. Dengan Hutan Kemasyarakatan masyarakat tidak lagi diusir maupun di kejar-kejar, "masyarakat boleh mengambil hasil hutan bukan kayu tanpa merubah fungsi hutannya." jelas Em Dahril.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun