Mohon tunggu...
Erwin Basrin
Erwin Basrin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas dan Bekerja di Akar Foundation

Aku ini adalah seseorang yang berharap menjadi jutaan rintik hujan yang turun di sore hari….Sebuah rintik hujan yang sederhana!!!, kesederhanaannya dalam menyapa, kesederhanaannya dalam memberikan kesejukkan dan kesederhanaannya dalan memainkan denting gerimisnya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Oyib, Menghabiskan Sisa Usianya di Tanah yang Disengketakan

31 Juli 2017   10:06 Diperbarui: 31 Juli 2017   10:09 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tahun1965 terjadi Gestapu, kami dikumpulkan dijalan" kali ini intonasi penuh energi kemarahan tetapi tetap ditahannya sambil tersenyum bijak.Pembunuhan Dewan Jenderal serta pergantian Rezim membuat kondisi mereka sebagai peserta transmigrasi kiriman Pemerintahan Soekarno semakin sulit. Mereka masuk pada pusaran politik streotif. Dan,paska kejadian Gestapu inibeberapa mereka di sterotif sebagai pendukung Partai Komunis, bahkan sampai saat inistreotifmasih menempel pada peserta transmigrasi,baik generasi pertama maupun generasi berikutnyaseperti Pak Diran dan Ibu Supriyati yang merupakan generasi ketiga meski mereka bedua menjabat sebagai Kepala Desa. "Pertemuan arisan ibu-ibu pernah dibubarkan oleh Aparat karena mereka curiga kami adalah Komunis," Saya jadi ingat cerita-cerita tentang Gerwaniketika Ibu Kades ini bercerita.

"Kapan konflik dengan kehutanan terjadi?" tanya saya kepada Pak Oyib untuk tidak mengingatkan kejadian-kejadian sejarah kelam yang menimpanya.

"Konflik dengan kawasan hutan ini baru muncul sejak tahun 1980-an"jawabnya lalu menceritakan bahwa konflik dengan kawasan hutan ini terjadi seiring dengan pembekuan Marga dampakberlakunya UU No 5 Tahun 1979tentang Desa. Wilayah kelola dan pemukiman transmigrasi Bengko ini merupakan wilayah Masyarakat Adat Bermai Ilir. "Pak Depati Doiblah yang memberikan tanah adat mereka untuk digunakan sebagai wilayah kelola dan pemukiman kami,". Dia memperlihatkan kepada saya photo copy surat izin garapyang diberikan oleh Depati atas nama Kepala Marga Bermani Ilir melalui Djawatan Transmigrasi. Dalam perjalannya wilayah yang dulunya adalah wilayah adat ini dijadikan sebagi kawasan hutan Negara dan konsesi perkebunan Teh. Penetapan seluas 14.650,51 Ha sebagai Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba melalui Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.398/Menhut-VII/KUH/2014 berdampak pada pengusiran warga dan keturunan transmigrasi Sengkuang terhadap wilayah kelola yang merupakan sandaran hidup mereka. 

Penetapan kawasan ini berpatokan pada kawasan hutan batas atau BW yang ditetapkan Pemerintahan Belanda. Menurutnya itu kekeliruan yang patal, tidak mungkin Depati Doib yang sangat paham wilayahnya memberikan kawasan hutan BW untuk wilayah pemukiman dan lahan garap untuk transmigrasi. "Izin garap itu berada di kawasan tanah adat letaknya jauh dibawah patok batasBW" kata Pak Oyib.

"Kami sampai saat ini masih terus berjuang untuk mendapatkan hak kami, baik sebagai peserta transmigrasi resmi maupun bagi keturunan kami sebagai penduduk sah negara ini" kata Pak Oyib dengan penuh semangat, meletup-letup sebenarnya, tetapilogat Sundanyayang kentallah membuat nadanya masih enak didengar tetapi menyayat di hati.Sejak reformasi beberapa kali dilakukan penangkapan oleh polisi kehutanan. "Kami masih akantetap berjuang." Pak Oyib merasa ketidakadilan Negara terhadapmereka. Ketidakadilan itu semakin terasa ketika sebagain kawasan yang saat ini diklaim oleh Negara sebagai kawasan hutan, oleh Negara puladikeluarkan izin konsesi Perkebunan Teh sementara wilayah kelola mereka ditertibkan, diusir-usir dan distempel sebagai perusak dan perambah hutan. "Dulu, pernah memakan korban, karena ketakutan dan trauma sering diintimidasi seorang bapak meninggal ketika menyemput anaknya ke kebun karena takut anaknyaditangkap oleh aparat kehutanan" intonasi suaranya bergetar seperti menahan amarah, ketakutansekaligus sedih, dia lalu menutup kalimatnyadengan kata-kata 'aparat kehutanan' bernada memohon bantuan dan dukungan untuk menyelesaikan kasus yang mereka alami.  

"Beberapa tahun lalu kami didatangai oleh Ormas Tani Nasional yang katanya mau membantu kasus kami" Cerita Pak Oyib dan saya tetap mencatatmembiarkan semua keluh kesahnya keluar. Karena semangatnya kami berbondong-bondong menjadi anggota Ormasdanberswadaya membantu biaya dan kebutuhan pengurus danormas tersebut. Bahkan ada di antara kami diminta untuk membayar jaminan untuk diterbitkan sertifikat tanah."Mereka bilang, untuk pengurusan sertifikat hak milik, tetapi setelah sekian tahun tidak ada berita lagi," dia terdiam sesaat. "Dan bahkan ketika kami bergabung sebagai anggota danterjadi penangkapan, Ormas ini tidak pernah mengurus dan merasa bertanggungjawab" Cerita Pak Oyib. 

Padahal secara organisasi mereka yang ditangkap adalah resmiOrmasdan memiliki kartu anggota, "Kami seperti sapi perah." terangnyapasrah.Saya kemudian menimpal dan menghibur Pak Oyib denganbercerita kerapnya muncul orang-orang atau institusi yang berperan sebagai pendompleng bebas (free raider), mereka sebenarnya bertindak bukan sebagai perantara, namun sebagai pihak yang mengambil keuntungan-keuntungan langsung maupun tidak dari kerumitan hubungan antara masyarakat dengan birokrasi. Bilamana kondisi formalistik yakni diskrepansi antara aturan birokrasi dengan praktiknya di lapangan melebar dan semakin tegas "Maka pendompleng akan semakin marak" terang saya. Pak Oyib tersenyum menampakkan sisa giginya yang rontok.

Lalu, sayapun menjelaskan kronoligis kedatangan saya dengan teman-teman yang berasal dari Akar Foundation, "Akar itu lembaga kecil pak," terang saya. "Tidak sebesar ormas Tani yang diceritakan Pak Oyib," dia tersenyum. "Akar dapat informasi tentang kasus ini dari Kantor Perwakilan Ombudsman Bengkulu" Jelas saya. Laporan keOmbudsman Bengkulu, didapati darilaporan resmi DPRD Propinsi yang disampaikan oleh Ibu Kepala Desa Bandung Jaya ketika melakukan reses di Kabupaten Kepahiang. Kasus ini di bawa ke Ombudsman oleh anggota DPRD Propinsi Daerah Pemilihan Kabupaten Kepahiang.Dan, OmbudsmanBengkulumelihat Akar punya pengalaman panjang di Bengkulu dantelah menyelesaikan banyak kasus bidang kehutanan, sehinggamereka memandatkan ke Akar untuk membantu proses penyelesaian kasus yang membelit masyarakat Sengkuang. Pak Oyib yang pini sepuhpun tersenyum.

"Kami menawari dua skema penyelesaian konflik ketika diminta presentasi di Kantor Ombudsman" kata saya, kali ini semakin yakin karena tertular semangatnya Pak Oyib. Sayapun menduga-duga adanya Disharmonisasi hukum dan kerumitan semantik dalam kasus yang menimpa Pak Oyib. Beberapa kali Pak Oyib menyebutkan kata-kata hukum, keadilan, agraria, tanah, hutan, transmigrasi dan saya tahu maksudnya bahwa penyusunan hukum terhadap kata-kata yang disebutkan Pak Oyib haruslah sebagai alat untuk memastikan kemakmuran, keadilan dan kebahagian dia sebagai warga Negara.   

"Bagi kami bukan soal pilihan penyelesaian, yang terpenting kami aman dan tidak diganggu, di intimidasi dan ditangkap" katanya bijak. Dari nada suaranya saya tahu, sebagai orang yang dilahirkan sebelum Indonesia menjadi Negara merdeka dan melewati beberapa orde Pemerintahan. Dia membayangkan bahwa Negara yang dia juga terlibat memperjuangkan, dulunya adalah sebagai organisasi sosial-politik yang otonom, seragam, dan solid seperti Demokrasi Terpimpin yang diagung-agungkan Soekarno. Lalu, pergantian dan kepentingan rezim kontruksinya berubah menjadi organisasi yang terbentuk atas bagian-bagian yang terpisah-pisah, dengan batas-batas yang kabur dan dijalankan dengan serangkaian norma yang saling bertabrakan. Pak Oyib mulai mencari pola penyelesaian damai. Dan dia bersemangat ketika kami pertemukan dengan para pihak yang berkepentingan dengan kawasan yang berkonflik.

Saya tahu, saat ini pilihan terbaik dan cepat adalah menyelesaikan persoalan Pak Oyib haruslah melalui kebijakan berlaku. Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial tentu bukanlah obat mujarab yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan deforestasi, kemiskinan dan konflik. "Paling tidak dengan penyelesaian melalui kebijakan yang berlaku ada kepastian keamanan tenurial dalam perspektif yang luas" terang saya agak ragu, karena kalah bijak dengan Pak Oyib. Paling tidak perspektif sosio-legal, dimana kepastian aspek hukum, sosial, ekonomi dan ekologi bertemali mengkontruksikan perspektif masyarakat dan para pihak mengenai kepastian tersebut. Harapan pragmatisnya paling tidak saat ini tidak ada lagi intimidasi, penertiban, penangkapan terhadap masyarakat Sengkuang sampai menemukan jalan dan pola untuk kepastian hak dan penyelesaian konflik secara permanen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun