Mohon tunggu...
Erwin Basrin
Erwin Basrin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas dan Bekerja di Akar Foundation

Aku ini adalah seseorang yang berharap menjadi jutaan rintik hujan yang turun di sore hari….Sebuah rintik hujan yang sederhana!!!, kesederhanaannya dalam menyapa, kesederhanaannya dalam memberikan kesejukkan dan kesederhanaannya dalan memainkan denting gerimisnya..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sederhana itu Indah XV; Belajar dari Pelajaran Dasar tentang Dasar Moralitas dari Ibuku

25 Mei 2015   10:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:38 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu habis magrib, aku duduk di teras rumah sambil menikmati sisa senja, menikmati sulutan asap rokok dan tentu dengan segelas kopi. Bdikar anak tertuaku datang lalu duduk disampingku. “Sebei” ini untuk sebutan Neneknya, itu ibuku. “Kenapa Sebei tidak pernah marah, Pak?” tanyanya tiba-tiba. Aku tentu harus hati-hati menjawabnya pertanyaannya. Karena berurusan dengan ibuku, orang yang paling aku cintai sekaligus aku hormati. “Sebeimu seinggatku memang tidak pernah marah, tapi kalau Bapak buat salah sedikit saja, duduk dekat dia saja seperti kambing ketemu harimau, berat sekali kaki bapak untuk lari menjauh dari dia, meskipun tidak ada omelan yang keluar dari mulut tipisnya.” Jawabku seadanya

“Nak, dulu ketika masih kecil bapak pernah buat tiga kesalahan dalam waktu yang hampir bersamaan, dia tidak marah Cuma tersenyum saja, dan sedikit kasih nasehat, setelah itu air mata bapak bercucuran” ceritaku.

“Terus, kesalahan apa yang telah diperbuat bapak.? Dan reaksi Sebei bagaimana ketika itu” ini pertanyaan khas Bdikar, saya seperti di introgasi, matanya mulai fokus, mimik wajahnya mulai serius dan posisi duduknya mulai dekat ini pertanda dia sudah sangat siap mendengar cerita.

“Dulu” aku mulai bercerita, ketika itu umurku baru 10 tahun dan duduk di kelas 5 SD. Tepatnya di hari minggu bulan Agustus, tiga bulan menjelang musim panen padi. Waktu sedang banyaknya hama burung. Burung pipit (amandava amandava) spesies burung dari keluarga estrildidaer dari genus Amandava. Jadi, hari itu aku dapat jatah menjaga sawah. Sawah kami tidak jauh dari sawah Wakku. Wak Wahid, kakak tertua ibuku. Beliau ketika itu sedang semangatnya mengajar “Ilmu Kajian Dalam”. Kajian tasawuf Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, Thariqah ini merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaituThariqah QadiriyahdanThariqah Naqsabandiyah yang didirikan oleh seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. inti pokok ajarannya adalah sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud, menuntun padakesempurnaan suluk.

Sebelum berangkat sambil menyiapkan bekalku untuk seharian ada tiga pesan ibuku, dia bilang begini “burung pipit biasanya datang menjelang sore, tepatnya menjelang Azhar nak.! Jadi jangan sampai lalai. Dan kalau mampir di sawah wakmu, jangan terlalu banyak tanya tentang Kajian tasawuf Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, umur, otak dan pengetahuan agamamu masih dangal. Dan jangan bermain-main di anak sungai yang ada di dekat sawah karena anak sungai itu angker.!” Pesannya padat dan sangat jelas. Aku mengagguk lalu pergi kesawah.

Sampai di sawah jam 9 pagi, aku lalu menyalan api dari batang pokok kopi yang sudah disiapkan ibuku beberapa hari lalu. Pagi lumayan cerah dan tidak tampak seekorpun burung yang datang. Aku mulai kepanasan. Di dinding pondok ada pancing, lalu aku menuju anak sungai yang tidak jauh dari sawah, aku duduk di atas pokok kayu yang sudah roboh dan mancing. Ikannya lumayan banyak, aku asik menaikan ikan mujair (oreochromis mossambicus) dari air dengan kailku. Pasti ibuku senang pikirmu, ada hasil tambahan selain laporan “pengusiran burung pipit”. Lamunanku berhenti ketika pancinganku tersangkut. Aku turun ke air, dan airnya terasa segar sekali. Aku kemudian mandi, dan baru sadar pesan ibuku setelah aku menggigil kedinginan.

Dengan pakaian yang basah. Aku kembali ke pondok dari bambu yang dibangun dengan tangan Bapakku. Ikan hasil pancingan aku masukan ke dalam bakul, wadah dari bambu hasil ayaman ibuku. Hari mulai meninggi, tampak dari jauh Wakku sedang menunaikan Sholat Zuhur tepat di bawah pohon jambu depan pondoknya. Dia seakan-akan memangilku untuk kawan mengobrol. Pangilan itu begitu kuat masuk ke dalam alam pikiranku, wajah bersih dan senyum yang kharismatik itu menganggu sekali. Begitu dia selesai sholat aku berlarian ke pondoknya yang memang tidak jauh dari Pondok sawah kami. Dia senang sekali ketika aku sampai di pondoknya, keluarlah ubi rebus, secara reflek aku langsung bertugas menyeduh kopi dengan gula aren.

Kami duduk diteras pondoknya, angin sepoi-sepoi yang membawa aroma padi meniup wajah kami. Dia mulai cerita tentang ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, karena semangat dia sadar ketika itu umurku baru 8 tahun. Otak belakangku bagian kiri mulai sakit, tapi masih saja aku bertahan dengan penjelasannya. Sesekali aku bertanya di sela penjelasan untuk sesuatu yang membingungkanku. Tentu saja aku menikmati penjelasannya, kali ini sampai pada materi sifat 18 dari sifat 20 tentang berdirinya zat pada sifat. Tidak terasa sudah tiga jam berjalan. Penjelasannya berhenti ketika dia harus menunaikan sholat Azhar. Aku langsung ingat pesan ibuku, bukankah menjelang Azhar pasukan Burung akan meng-agresi lalu meng-okupasi sawah kami, aku harus buat perlawanan untuk mempertahankan wilayah sawah kami. Sawah yang akan menghasilkan padi tiga bulan mendatang, alat pital bagi pertahanan hidup keluarga kami. Begitu aku sampai di sawah, burung sudah berlarian tanpa aku usir. Terbang karena kekenyangan. Aku duduk di anak tangga, duduk seperti tantara kalah perang, duduk dengan dagu yang menempel pada lutut, aku menyesal, pertanahan hidup keluarga kami terancam untuk satu tahun kedepan. Dan itu terjadi dimulai tiga kelalaianku menjaga pesan Ibuku, dan itu aku lakukan secara runut dan sistematis pada hari yang sama pula.

Menjelang Magrib aku baru pulang ke rumah, langkahku gontai dan lesu. Sampai dirumah ibu tersenyum, dia sepertinya mencium ketakutan dan kekalahanku atas agresi burung pipit, lalu dia bersihkan ikan mujair (oreochromis mossambicus) hasil pancinganku. Habis makan malam dengan lauk ikan mujair hasil pancingan dari sungai terlarang itu. Akupun belum berani untuk mengakui kesalahanku, mulutku seperti kena “tulah” tidak bisa berkata apapun seperti di jahit dengan ribuan mata pancing. Rasa bersalah itu membuat malam itu aku tidak bisa tidur.

Menjelang Subuh ibuku bangun. Itu kebiasaanya yang aku tahu, selesai Sholat Subuh yang di imami oleh Bapakku, dia biasanya menyiapkan sarapan dan makan pagi buat kami sekeluarga. Aku yang biasanya paling disiplin menemani ibuku menyiapkan sarapan pagi kami. Pagi ini ada yang berbeda, bisanya hanya dengan nasi sisa sore kemaren yang disangarai hanya di campur dengan minyak jelantah dan garam. Pagi ini ada pisang yang akan di goreng. Pisang yang diberikan oleh Wakku, yang rencananya memang aku yang bawa. Karena kelupaan akhirnya dia yang antar sendiri ke Ibuku. Dan tentu ketika dia ketemu ibuku dia cerita banyak tentang kegiatanku di sawah sepanjang hari.

“Kenapa pesan ibu di abaikan nak..?” tanyanya lembut sambil memasukan pisang ke dalam kuali yang minyaknya mulai mendidih. Hatiku seperti pisang yang berenang di minyak panas. Wajahku mulai berkeringat, beban dikakiku mulai terasa berat. Akupun menjawab terbata-bata dengan sejuta alasan sambil menunjukkan senyuman yang tidak dari hati, penjelasanku kadang-kadang terlalu cepat kadang terlalu lambat. Tentu, Ibuku langsung mendeteksi setiap kebohongan atas alasan-alasanku.

Bdikarpun tertawa mendengar ceritaku. “tapi, bukankah dari dua hal, mancing dapat ikan dan belajar Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah itukan bagus.?” Tanya Bdikar.

“Ia, itu positif sekali, dapat ikan dan dapat ilmu tapi dampaknya, sawah kami bisa gagal panen, mau makan apa kami selama satu tahun.?” Jawabku dan air mataku belinang, bayangan ibuku sedang mengoreng pisang pagi itu masih saja melekat dipikiranku.

“Sebei ngomong apa kemudian pak.?” Tanya Bdikar, sepertinya dia mulai penasaran mau mendengar apakah Neneknya pernah marah atau memang punya stok sabar yang berlimpah.

“Pisang dalam pengorengannya dibolak balik” lanjutku cerita. Begitu matang pisang dia angkat dan menghidangkannya untuk kami. Sambil membenarkan selendangnya berwarna merah dia bilang begini. “Nak, emosi-emosi negatif sulit ditutupi oleh banyak orang” kata-katanya bersayap. Sebagian besar orang tidak begitu saja mengerakkan otot-otot tertentu yang diperlukan untuk menyembunyikan perasaan tertekan atau takut secara masuk akal. Dari senyumanmu, ibu sudah tahu bahwa kamu berbohong dan mengingkari pesanku, ibu tahu kamu berbohong sebelum Wakmu cerita kepada ibu. Gelagat ketidakjujuran atau kebocoran dapatlah ibu lihat dari perubahan ekspresi wajah, gerakan tubuh, perubahan pada suara, gerakan menelan ludah, tarikan napas, jedah panjang ketika mengucapkan kata-kata, selip lidah, eksperesi wajah mikro dan gerakan yang tidak disengaja. Dari sore kemaren tanda-tanda itulah yang kemudian bercerita sehingga ibu tahu kamu telah buat salah.” Terangnya sambil membolak-balik pisang di pengorengan, penjelasannya rinci dan runut dengan suara lembut tapi berkharisma.

Jadi, sambungnya. Tingkat kebohongan itu biasanya ditentukan dari hasil proses pendifinisian mereka mengenai diri mereka sendiri. Dari kombinasi gagasan bawaan dan pengaruh kental budaya dan lingkungan tempat tumbuh, hasilnya adalah kita memiliki keyakinan tentang sifat dasar termasuk kebohongan. Keyakinan itu masuk ketingkat sangat dalam pada sistem psikosomatis kita, pikiran dan otak kita, sistem syaraf, sistem endoktrin bahkan dalam darah dan otot kita. Jadi kita bertindak, berbicara dan berpikir atas dasar keyakinan kita tadi.

“Berbohong itu nak” lanjut ibuku. Itu hanya untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan egosentris kita. Selama kita berbohong maka jangan pernah kita berharap kita bisa menbantu dan berkontribusi kepada orang lain. Akupun belumlah lega atas rasa bersalah, tentu aku berjanji dengan diriku sendiri tidak akan mengulangi kebohongan atas ketidaktaatan atas pesan siapapun.

“Mak” mataku berlinang, entah oleh sebab apa. “Hukumlah aku dengan hukuman apapun dan aku bersedia menerimanya” aku menyela meskipun aku sudah tahu tidak akan ada hukuman buatku.

“Tidak nak” jawabnya lembut. “Bagi ibu kalianlah segalanya. Lain kali, belajarlah melakukan tindakan rekonsiliasi eudaemonisme. Kamu boleh dan tentu saja punya hak untuk melakukan keinginanmu mungkin itu akan bertentangan dengan kepuasan orang lain, tapi kamu harus memilih di antara keinginan yang kamu usahakan untuk dipenuhi dan berusaha mendamaikannya dengan keinginan orang lain. Pada posisi ini mungkin saja akan lahir keselarasan.” Sampai disini di berhenti dambil mengangkat pisang yang sudah matang dari pengorengan. “Pada titik ini keselarasan bisalah sebut dengan etika, yang merupakan bentuk sarana dibanding sebagai tujuan akhir.” Kata-katanya bijak menyentuh sekaligus mengugah hatiku. “Etika yang ibu maksud ini memiliki nilai derivatif atau instrumental ketimbang nilai intrinsik atau final, secara rasional tidak dapat dibangun hanya berdasar atas apa yang “seharusnya” diinginkan melainkan atas apa yang kita inginkan” sambungnya sambil mendinginkan gorengan dan tentu akan diberikan untukku yang telah berbuat salah. Pisang sudah dingin, setelah kukunyah susah sekali pisang goreng ini melewati tenggorokanku.

“Apakah Bapak kemudian di hukum oleh Sebei.?” Tanya Bdikar memotong ceritaku, sepertinya dia mau mendengar cerita betapa menderitanya aku ketika mendapat hukuman. Aku kembali menyulutkan rokokku yang hanya tinggal sebatang. Aku hisap dalam-dalam. Bayangan ibuku ketika itu masih tetap menempel di alam pikiranku. Mataku kembali berlinang entah oleh sebab apa.

“Tentu saja ada hukuman dari Sebeimu untuk Bapak nak. Sampai sekarang Bapak sedang menjalankan hukuman itu.!” Jawabku. Dan Bdikar bertambang bingung. “Hukumannya adalah menemukan bentuk secara sungguh-sungguh untuk melakukan “rekonsiliasi” antara egoisme dan altruisme dan setidaknya untuk setiap apa, saja termasuk efeksi, yang sebagian besarnya haruslah dipengaruhi asumsi ini”. Jelasku. “intinya nak, janganlah meminta atau mengharapkan kepada orang lain untuk berbuat pada kita lebih daripada yang akan kita inginkan untuk dilakukan oleh orang lain, atau terimalah orang lain hanya sebesar ekspektasi yang ingin kita berikan kepada mereka jika kita berada dalam posisi mereka.” Tambahku.

“Maksudnya apa itu pak.?” Tanya Bdikar. Aku binggung dengan cara menjelaskannya kepada Bdikar, umurnya baru 10 tahun. Aku terpaksa telepon ibuku di kampung. Aura suaranya di ponselku membuat aku ingin menangis. Aku lalu cerita tentang obrolanku dengan Cucunya tentang kesalahanku 27 tahun lalu. Dia tertawa, dan memberi jawaban pertanyaan Cucunya.

“Sebeimu tadi bilang begini nak, jika ada dua orang dan terjadi konflik, kalau memakai prinsif yang diajari Sebeimu itu. Masing-masing harus mempertimbangkan kepentingan keduanya, niscaya mereka akan secara niscaya bertindak dalam keselarasan, keselarasan ini merupakan sikap yang terdapat dalam keharmonisan, mutualisme yang meluas menjadi sentimen atau prinsip keadilan.” Untuk itu berbuatlah adil, bayangkanlah ketika kita berada pada posisi mereka. Tugas kita memberikan ruang bagi mereka untuk memperbaiki diri, memaafkan dan sekaligus memperbaiki diri kita. Penjelasankupun berhenti, Ibunya Bdikar keluar dan memberikan perintah kepada kami bahwa waktunya makan malam tiba.! Kami berlarian menuju meja makan. Menu utamanya kami malam ini adalah ikan mujair (oreochromis mossambicus) goreng. Ini persis menu makan malamku 27 tahun silam. Mudah-mudahan tidak ada kesalahan yang aku perbuat siang tadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun