Otot kawat tulang besi, begitulah apa yang biasanya terlintas di pikiran kita ketika mendengar tokoh Gatotkaca ini disebutkan. Terdapat sedikit kesamaan dengan kisah Adipati Karna, semasa bayi putra Raden Werkudara ini dilemparkan ke Kawah Candradimuka Gunung Jamurdipa sebelum akhirnya menjadi sakti mandraguna, yang menunjukkan kepada kita bahwa rasa sakit akan membuat seseorang semakin kuat. Tokoh ini pun juga tidak sempurna seperti tokoh-tokoh lain. Gatotkaca pernah dibutakan oleh emosinya sendiri yang berakhir pembunuhan terhadap Kalabendana, yang tak lain adalah pamannya sendiri. Fisik berkekuatan luar biasa dan memiliki darah keturunan raksasa, namun Gatotkaca adalah tokoh pejuang yang rendah hati. Gatotkaca gugur dalam perang Baratayudha oleh senjata Kunta Adipati Karna yang sebenarnya ditujukan untuk membunuh Arjuna, untuk membalas budi Arjuna yang telah memotong tali pusarnya. Dan dengan bagitu Gatotkaca adalah sosok yang mengajarkan kita untuk membalas budi kebaikan orang lain, setia dan patuh pada otoritas.
Werkudara, atau juga dikenal dengan nama Bima, terlahir dalam wujud "bungkus" yang diceritakan dalam kisah "bima bungkus". Dibuang ke hutan Kredawahana, hutan tesebut dibuat rata dengan tanah karenanya sementara bungkus yang melingkupi tubuhnya pun tak kuncung terlepas. Pada akhirnya atas utusan dewa Gajah Sena diutus untuk menyatu kedalam bungkus Bima dan mengeluarkannya hingga Werkudara juga dikenal dengan nama Bimasena. Diceritakan Raden Werkudara adalah sosok yang jujur, sederhana, patuh, kuat dan gagah berani, Raden Werkudara juga dikenal sebagai tokoh yang tidak pernah memandang rendah siapapun karena derajatnya tergambar dalam sikapnya yang tidak pernah berbahasa krama (bahasa halus untuk menghormati orang yang lebih tua dalam budaya Jawa) karena sifatnya yang jujur, tidak suka basa-basi dan tidak suka menutup nutupi hal-hal yang buruk. Memiliki salah satu pusaka dalam kukunya yang bernama Pancanaka, bermakna bahwa manusia harus berusaha mencapai tujuan hidupnya dengan kedua tangan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dalam lakon pencarian jati diri Bhima berjudul Dewa Ruci, tersirat pesan-pesan dalam perjalanan "manunggaling kawula gusti" hingga pertemuannya dengan sang Dewa Ruci, dimana diceritakan Bhima diperintahkan untuk menyelami lautan mencari air suci, mengalahkan raksasa Rukmuka dan Rukmukala, dan berbagai musuh yang merupakan representasi halangan demi halangan yang harus manusia lewati untuk mencapai tujuannya dan bahwa manusia harus mampu melawan godaan dan hawa nafsu untuk menemukan makna hidup yang sejati.
Kalau readers ingat serial drama Mahabarata versi India, pasti readers sudah tidak asing dengan karakteristik tokoh yang diperankan Shaheer Sheikh ini. Arjuna atau Janaka atau Permadi, ksatria berwajah tampan tanpa cacat sebagai "lelananging jagad" yang menjadi impian setiap wanita. Saking sempurna parasnya, tak terhitung jumlah wanita yang menawarkan diri kepadanya untuk dinikahi. Tidak hanya tampan, Arjuna juga baik hati, pintar, dan bertutur kata lembut. Terusir dari Astina bersama empat saudaranya karena nafsu Kurawa menguasai Astina, tidak menjadikan Arjuna menyerah meratapi hidup, namun dijadikan ajang menggladhi diri dengan breburu ilmu dan mengasah kesaktian. Berbakat memanah sedari remaja, dikisahkan Arjuna adalah murid terbaik Resi Durna di Padepokan Sokalima. Suatu ketika Resi Durna meminta tolong kepada murid-muridnya untuk menyelamatkannya dari gigitan buaya, hanya untuk mengetes keberanian muridnya meskipun sebenarnya ia mampu menyelamatkan diri dengan mudahnya. Dari sekian murid Resi Durna, hanya Arjuna yang datang menolong gurunya dengan memanah buaya tersebut, yang pada akhirnya Resi Durna menghadiahi pusaka bernama Brahmasirsa untuk melawan makhluk-makhluk jahat. Lagi-lagi membawa pesan bahwa manusia tak ada yang sempurna, Arjuna sebagai protagonis pahlawan perang Bharatayuda juga memiliki sisi buruk yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan wanita atas nama cinta. Dengan demikian hal-hal seperti inilah yang membuat cerita pewayangan dekat dengan realita kehidupan manusia bahwa setiap manusia memiliki sisi baik dan sisi buruk masing-masing yang tidak bisa dipaksakan.
Sedikit yang saya tuliskan disini tidak dapat mewakili keseluruhan cerita pewayangan yang ada di Indonesia ini. Dan meskipun kenyataan tidak dapat dipungkiri bahwa mulai berubahnya kebudayaan masyarakat zaman modern sekarang, mempelajari tokoh-tokoh wayang yang kaya akan falsafah hidup setidaknya menjadi cara kita untuk mengabadikan kebudayaan yang telah diakui dunia sebagai mahakarya turun-temurun ini. Semoga bermanfaat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H