Persembahan untuk ritual pemujaan makhluk-makhluk gaib, itu yang mungkin 'mak sliwet' lewat di pikiran sebagian orang ketika mendengar kata 'sesajen'.Â
Sampai saat ini pun sepertinya sesajen konotasinya masih agak negatif di telinga banyak orang. Apalagi sekarang dengan banyaknya film-film yang mengusung tema mistis tentang tanah jawa, sesajen jadi terdengar lebih seram.
Untuk menenangkan arwah gentayangan lah, untuk menyembah roh halus lah dan asumsi asumsi lain yang horror.Â
Oleh karena itu perlu kita ketahui bersama bahwa sesajen sebenarnya dianggap sebagai media komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta yang menjadi simbol rasa syukur atas karunia-Nya dan juga merupakan pusat pengharapan segala keinginan manusia.
Hal ini ada kaitannya dengan akulturasi budaya Islam pada masa awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Yang pada masa itu para wali menyebarkan agama islam secara damai tanpa paksaan dan disesuaikan dengan kebudayaan serta tradisi yang sudah mengakar kuat di tanah jawa.Â
Di daerah saya yakni di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, tepatnya di dusun Geneng tradisi membuat sesajen masih dipegang teguh masyarakat meskipun tata cara pelaksanaan ritual sudah sering berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Tapi nampaknya sekarang kata sesajen dirasa kurang enak didengar di jaman modern seperti sekarang, maka lebih sering disebut tumpeng ketimbang sesajen. Kita selalu bisa menemukan tumpeng di setiap tradisi peringatan masyarakat desa.Â
Salah satunya dalam tradisi bersih desa atau kami sebut dengan istilah 'rasulan'. Bukan bersih desa yang seperti anda pikirkan di mana masyarakat akan gotong royong dengan cara kerja bakti membersihkan lingkungan, bersih desa yang dimaksud adalah membersihkan desa dan penduduknya dari segala marabahaya dan ketidakberuntungan.
Ritual akan dilaksanakan di salah satu rumah warga, atau biasanya di rumah kepala dusun. Seperti kebanyakan rumah joglo atau rumah adat jawa tengah, terdapat ruangan yang cukup luas tepat di bagian tengah rumah.Â
Dan di sanalah nantinya warga akan berdoa bersama melingkari tumpeng yang telah disusun.Tumpeng dikumpulkan membentuk gunungan dan di bagian atasnya terdapat pecut cambuk yang bermakna harapan dan panjatan doa yang lurus kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun jangan salah, setelah doa bersama, sajen atau tumpeng yang disiapkan nantinya akan dibagikan untuk warga dusun dan sebagian diberikan untuk pakan hewan ternak maupun hewan peliharaan.Â
Masyarakat berbagi dan bersedekah sebagai perwujudan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan. Kemudian pada malam harinya warga dusun akan berkumpul untuk sekedar ngobrol sambil minum teh hangat sampai fajar, tidak lupa untuk makan daging ayam setelah tengah malam.Â
Namun sejak adanya pandemic covid19, belakangan ini tidak banyak warga yang datang untuk memperingati tradisi ini. Ngomong-ngomong jadi tidak heran kan mengapa biasanya orang Jawa bisa mudah akrab dengan siapa saja hehe setuju nggak?
Rasulan dilaksanakan setahun sekali dalam peringatan peringatan tertentu, dan per lima tahun sekali ritual ini akan dibarengi dengan pertunjukan wayang semalam utuh yang bertujuan untuk 'ngruwat' yakni mengusir segala malapetaka.Â
Akan tetapi rasulan tidak bisa dilakukan di sembarang hari. Terdapat perhitungan Jawa yang dapat menentukan kapan hari yang buruk dan kapan hari yang baik untuk bisa diadakan ritual pada hari itu.Â
Dulunya setiap rumah akan memasak untuk keperluan tumpeng, namun karena mungkin terlalu banyak, setiap RT mengirimkan perwakilan untuk berbelanja dan memasak sebelum hari H. Sedangkan warga lain hanya perlu menyumbangkan sejumlah uang untuk berbagai keperluan tersebut.
Terdapat suatu ketentuan dimana dalam ritual ini harus menggunakan daun kelapa yang disebut dengan 'janur'. Ketentuan ini sebenarnya memiliki makna yang cukup dalam.Â
Janur memiliki arti sejatine ana ing nur, dimaksudkan sebagai pengharapan supaya selalu ada cahaya yang menerangi jalan manusia dimanapun berada.
Selain itu ada juga satu 'pantangan' dimana tidak boleh ada tempe kedelai dalam penyajian tumpeng. "jare ndisik danyangane radoyan tempe" itu jawaban singkat yang saya dapatkan ketika saya mencoba menanyakan latar belakang adanya larangan tersebut kepada salah satu warga dusun yang masih melestarikan ritual ini.Â
Mitosnya, zaman ketika masyarakat jawa masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme, ada seorang perempuan yang sedang dalam masa haidnya mengolah kedelai menjadi tempe dengan cara diinjak injak. Secara tidak sengaja beberapa tetes darah haid perempuan tersebut tercampur kedalam tempe yang dibuatnya.Â
Kemudian pada saat sesajen dipersembahkan, singkat cerita roh halus pelindung yang berada di pohon beringin besar yang disebut 'danyangan' murka dan terjadilah 'pageblug' atau wabah penyakit dan juga krisis akibat gagal panen dalam waktu yang cukup lama. Maka sejak saat itulah tumpengan kondhangan tidak lagi ada sedikitpun tempe didalamnya.
Dulu saya sering mendengar orang-orang mengatakan untuk jangan dekat-dekat ke tempat yang konon dikeramatkan. Tidak melulu tentang sesuatu yang seram-seram, ini dikarenakan masyarakat mempercayai kekuatan alam semesta yang luar biasa dahsyat.Â
Sesuatu yang tersirat disini adalah bahwa manusia hendaknya hidup selaras dengan alam. Dan dengan begitu manusia tidak akan semena-mena merusak alam yang Tuhan ciptakan sebagai tempat tinggal kita.Â
Bedakan dengan manusia yang sudah tidak takut dengan alam, mereka cenderung akan berbuat kerusakan hanya untuk mendapat keuntungan pribadi. Seperti berburu satwa liar ataupun menebang pohon sembarangan. Â
Seperti peribahasa Jawa, "Desa mawa cara negara mawa tata" yang artinya setiap daerah mempunyai adat masing-masing yang tidak bisa disamakan, dan setiap negara memiliki peraturan yang mengatur tata kehidupan rakyatnya masing-masing pula yang berbeda satu sama lain.
Meskipun sebenarnya ada banyak sisi positif yang bis akita gali dari tradisi tradisi seperti ini, perdebatan mengenai ritual ini memang tidak bisa terelakkan dan tidak ada habisnya. Namun alangkah baiknya jika kita memaknai tradisi ini sebagai warisan budaya leluhur.Â
Kita harus bisa meresapi maknanya dari segala sisi agar kita tidak mudah menghakimi. Terlepas dari percaya dan tidaknya mengenai keharusan pelaksanaan ritual ini, hendaknya kita mampu toleransi dengan setiap kepercayaan selagi prakteknya tidak merugikan siapapun.Â
Dengan begitu kerukunan dan kelestarian alam akan tercipta sehingga alam nusantara ini akan lestari hingga di masa anak cucu kita nanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI