Mohon tunggu...
Tiara AprilianaArzeti
Tiara AprilianaArzeti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang

Kamu harus memulai untuk menjadi hebat tapi kamu tidak perlu hebat untuk memulai

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Praktik Suap Menyuap

25 April 2024   10:46 Diperbarui: 25 April 2024   10:47 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam masyarakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Kriminalisasi terhadap tindak pidana suap mempunyai alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter suap yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan). Secara internasional tindak pidana suap dalam jumlah yang signifikan dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat; dapat merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan; bersifat diskriminatif dan merongrong etika dan kompetisi bisnis yang jujur; mencederai pembangunan berkelanjutan dan tegaknya hukum.

Kriminalisasi terhadap tindak pidana suap secara mendasar sudah diatur dalam Pasal 209 KUHP yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri. Pasangan dari pasal ini adalah Pasal 419 KUHP yang mengatur tentang penyuapan pasif (passive omkooping atau passive bribery), yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji tersebut di atas. Selanjutnya Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat di pengadilan. Hakim dan penasihat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420 KUHP. Keempat pasal tersebut kemudian dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi melalui UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk retour-commissie atau gratifikasi diatur dalam Pasal 418 KUHP. Pasal ini kemudian juga diangkat menjadi tindak pidana korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001).

Menurut penulis pemerintah harus tegas dan jujur dalam memberantas tindak pidana suap menyuap dalam masyarakat agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan karena tindak pidana suap menyuap ini dapat merugikan banyak pihak. Bahkan di Indonesia dalam menghukum orang orang yang melakukan tindak pidana suap menyuap pihak yang menghukumpun masih bisa di suap. Sebagai warna negara yang baik seharusnya kita punya kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan hal hal tersebut maka dari itu kita harus tanamkan sikap jujur dalam diri.

Upaya pencegahan tindak dapat dilakukan secara preventif, detektif, dan represif. Strategi Preventif Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalisasi penyebab dan peluang seseorang melakukan tindak korupsi suap menyuap. Meneliti lebih jauh sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan. Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia atau SDM dan peningkatan kesejahteraan pegawai negeri. Mewajibkan pembuatan perencanaan strategis dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah. Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen. Penyempurnaan manajemen barang kekayaan milik negara atau BKMN. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Strategi Detektif Upaya detektif adalah Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat. Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu. Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik. Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di kancah internasional. Upaya represif dalam mencegah tindak pidana korupsi adalah penguatan kapasitas badan atau komisi anti korupsi. Penyelidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar dengan efek jera. Penentuan jenis-jenis atau kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas. Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik. Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus. Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak korupsi secara terpadu. Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya. Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil atau PNS, dan penuntut umum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun