Beberapa waktu lalu tak sengaja menemukan video di salah satu kanal TV. Judulnya 'Nasi Goreng Buatan Papa'. Video itu mengingatkanku pada sup buatan babe saat kami masih kecil.
Babe orang sibuk, kerja dari pagi buta hingga malam. Dari gelap hingga gelap. Berpakaian rapi jali, dan sesekali berdasi. Jika menyemprotkan parfum seperti orang berlatih kungfu. Jangan ditanya berapa botol parfum dalam sebulan yang sudah dihabiskan.
Setiap babe pulang selalu tampak lelah. Wajar, karena sebagai pekerja di belakang meja, babe lebih banyak menggunakan pikiran. Keadaan itu membuat kami tidak pernah bisa dekat dan ngobrol bersama.
Hari ini sebagian besar menceritakan Selasa yang sedang mereka lewatkan bersama bapak masing-masing. Mengesankan sekali membaca tulisan teman-teman satu persatu. Lalu bagaimana dengan Selasaku? Untukku tak ada Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, atau Senin. Kehadiran babe sebelumnya hanya jika harus membuatkan masakan untuk kami karena momy sedang tugas ke luar kota dan ART sedang tak ada.
Babe langsung ambil peran. Jurus andalannya adalah memasak sup. Sup buatan babe beda dengan nasi gorengnya papa dalam kanal TV yang pernah kutonton. Nasi goreng papa, hanya nasi, telur dengan kecap sebagai perasa. Kadang tidak karuan rasanya.Â
Tapi sup babe sangat sedap. Seharusnya. Ahhh, babe selalu lupa kalo kami masih anak-anak yang tidak suka pedas. Sup babe terlalu banyak merica. Namun itulah ciri khasnya. Tiap tersaji sup sederhana di atas meja makan, beraroma bawang goreng dan terasa merica, itulah sup hasil karya babe.
Aku menyebut sepanci kecil masakan babe sebagai sup lada karena rasa yang lebih dominan dari lada. Pedas pastinya. Tapi aku sangat menikmatinya. Makan semeja dengan babe terbilang langka sekali. Seperti yang sudah kukatakan, babe sangat sibuk. Dan jika ada waktu untuk makan di rumah sudah pasti kami makan terpisah.
Babe menyiapkan sup di meja makan sepulang kerja. Sedangkan aku dan saudaraku duduk dengan canggung di salah satu kursi agak jauh dari tempat duduk babe. Tak banyak percakapan apalagi senda gurau yang jelas jadi larangan besar dilakukan di meja makan. Suara yang terdengar selain beradunya sendok dan piring adalah obrolan ringan tentang "nambah lagi supnya", "keasinan kah?" atau "makannya jangan tercecer". Dan pastinya suara desis "ssshh hah ssshhh hahhh" dari lidah kecil kami yang kepedasan. Desis kepedasan dan kecapan dari mulut, mencipta dialog yang terdengar sedikit janggal.
Dari sup itu, kami bisa merasakan makan bersama semeja. Hal yang sangat langka bagi kami. Walau tidak terlalu bisa ngobrol dengan leluasa, bercakap-cakap satu atau dua kalimat sudah cukup melelehkan suasana. Kami bisa merasakan kehadiran babe yang sebenarnya.
Kesibukan babe membuatku merasa awkward. Sejak kecil, kami hampir tak pernah berkomunikasi. Saat babe berangkat bekerja, aku belum bangun. Dan ketika pulang, aku sudah tidur. Begitu seterusnya